Aktivis Kecam Dugaan Pelecehan Seksual Bupati Malra, Polisi Serius Usut
AMBON, Siwalimanews – Polisi berjanji akan serius mengusut laporan pelecehan seksual, yang diduga dilakukan Bupati Maluku Tenggara HM Taher Hanubun.
Demikian dikatakan Kabid Humas Polda Maluku, Kombes M Roem Ohoirat kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Senin (4/9) malam.
Hanubun dilaporkan ke Polda Maluku, karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap wanita 21 tahun berinisial TSA, di Cafe Agnia, milik Hanubun, di Air Salobar, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.
Dikatakan Ohoirat, dalam penanganan kasus-kasus kekerasaan seksual, kekerasaan fisik maupun fisik terhadap perempuan dan anak akan tangani pihaknya secara profesional.
“Pak Kapolda sudah menegaskan, bahwa dalam penanganan kasus kekerasaan baik itu kekerasaan fisik maupun kekerasan seksual akan ditangani secara profesional dan tidak beda-bedakan,” tegasnya.
Baca Juga: Menhan Resmikan 11 Sarana Air Bersih di Pulau MoaDalam penanganan kasus ini, lanjut Kabid, pihak Ditreskrimum Polda Maluku telah memeriksa pelapor dan selanjutnya akan mengundang pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan.
“Jadi pelapor pada hari Jumat itu sudah diperiksa, dan selanjutnya sudah divisum. Kemudian akan diundang pihak-pihak terkait,” ujar Kabid.
Ditanya apakah akan mengundang pihak-pihak terkait itu juga termasuk Bupati Malra, Kabid Humas menegaskan hal itu tergantung klarifikasi pihak-pihak terkait tersebut.
“Nanti tergantung klarifikasi,” ujar kabid tanpa menyebutkan siapa nantinya pihak-pihak terkait tersebut yang akan diundang untuk dimintai keterangan.
“Kasusnya ini masih penyelidikan sehingga kita belum bisa sebutkan pelapor itu korban karena prosesnya masih penyelidikan. Dan kita sangat serius dalam menangani kasus-kasus kekerasaan serta tidak beda-bedakan,” tegasnya.
Dikecam Aktivis Perempuan
Sementara itu sejumlah aktivis perempuan rame-rame mengecam dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan Hanubun.
Direktur Mutiara Maluku, Lusi Peilouw menyesalkan tindak tidak terpuji yang diduga dilakukan oleh seorang kepala daerah.
“Sebagai seorang aktivis perempuan kami sesalkan seorang kepala daerah, yang pada dia itu melekat kewajiban untuk melindungi, mengayomi masyarakat siapapun bukan saja masyarakat di daerahnya saja, tetapi masyarakat siapapun, tetapi dimanapun dia berada melekat di dia itu sebagai pengayom masyarakat dan sampai ini dilakukan oleh seorang kepala daerah, maka pasti sebagai aktivis perempuan marah,” ujar Peilouw saat diwawancarai Siwalima melalui telepon selulernya, Senin (4/9).
Menurutnya, tindakan pelecehan seksual yang diduga dilakukan Bupati Malra tentu saja sangat melanggar etika, melanggar norma budaya sebagai masyarakat Maluku, apalagi sebagai Bupati Malra, dimana wilayah tersebut sangat menjunjung dan menghargai harkat dan martabat seorang perempuan.
“Harusnya harkat dan martabat perempuan itu dihargai tetapi sangat disesalkan seorang kepala daerah diduga melakukan tindakan seperti itu. Tentu sangat kami sesalkan,” tegasnya.
Menurutnya, sesuai dengan UU nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasaan Seksual telah mengisyaratkan agar kasus-kasus seperti ini tidak boleh diselesaikan secara restorative justice atau secara kekeluargaan.
“Salah satu hal yang diatur dengan sangat tegas dalam undang-undang itu adalah kasus kekerasaan seksual tidak boleh diselesaikan secara restorastis justis. Dan ini dilarang sehingga diharapkan oleh pihak kepolisian seharusnya benar-benar berdiri diatas aturan tersebut,” pintanya.
Menurut dia, terlapor dalam hal ini Bupati Malra pasti saja sebagai seorang kepala daerah dengan kekuasaan yang ada bisa melakukan berbagai upaya agar kasus ini dihentikan atau ditutupi, karena itu guna mengantisipasi langkah tersebut, maka sangat diharapkan aparat penegak hukum dalam hal ini bisa serius usut hingga tuntas.
Peilouw juga berharap, Polda Maluku konsisten dalam penegakan hukum terutama dalam menangani kasus dugaan seksual yang diduga dilakukan Bupati Malra, dengan tidak diintervensi oleh kekuasaan yang ada.
“Kami berharap kepala daerah sebagai orang yang memegang kekuasaan. Bisa melakukan apa saja, sehingga kami berharap kepolisian tidak “jual diri” atas nama apapun dan mengabaikan hak korban, dan berkompromi dengan kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang punya kuasa dan yang punya uang. Itu yang kami harapkan,” pintanya.
Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh terduga pelaku, lanjutnya, maka segala cara bisa dilakukan untuk melepaskan diri dari jerat hukuman itu, sehingga diharapkan polisi tetap konsisten usut kasus ini supaya bisa sampai ke pengadilan.
“Karena pasti terduga pelaku akan melakukan segala cara untuk melepaskan diri dari jeratan hukuman, dan kami punya bukti yang sangat kuat, tetapi bukti yang kami pegang itu tidak bisa dipakai untuk menjustis bahwa orang ini salah, karena kewenangan itu ada di aparat penegak hukum,” ujarnya.
Karena itu, jika kasus ini mandek, maka dirinya meyakini dan menduga bahwa ada perselingkuhan antara kekuasaan dan kewenangan aparat penegak hukum.
“Kalau aparat penegak hukum lurus maka kasus ini akan diusut sampai tuntas. Karena itu kami harapkan bisa tuntas, apalagi Kapolda juga mendapatkan penghargaan dari Kementerian Perempuan dan Anak sehingga kami yakin kasus ini ditangani dengan serius,” katanya.
Hukum Berat
Terpisah, Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia Provinsi Maluku meminta aparat kepolisian untuk memberikan hukuman berat dan mengharapkan kasus seperti ini tidak boleh diselesaikan secara kekeluargaan supaya ada efek jera.
“Jangan sampai ada intimidasi dan tekanan yang mempengaruhi sehingga kasus ini berhenti. Kasus ini sudah berproses. Kami juga mendorong Polda Maluku untuk harus benar-benar serius terhadap dugaan pelecehan seksual. Ini harus diproses sampai tuntas,” harap Ketua Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia Provinsi Maluku, Ketua Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia Provinsi Maluku, Vonny Litamahuputty.
Polda Maluku lanjutnya, sebelumnya telah memberikan perhatian serius terhadap masalah seperti ini.
Dengan itu, atas nama seluruh aktivis perempuan di Maluku, pihaknya memberikan apresiasi kepada Kapolda, dan meminta agar tidak saja serius pada satu kasus, tetapi juga kasus yang sama saat ini yang diduga dilakukan Bupati Malra, juga harus diproses hingga tuntas sesuai dengan UU TPKS.
“Meskipun di daerah belum ada Perda yang mengatur soal turunan TPKS, tapi Kapolda sudah mengambil langkah dengan menerapkan UU TPKS dalam kasus DK kemarin. Itu artinya, harus juga berlaku bagi semua tanpa pandang bulu, apalagi Kapolda juga mendapat penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak karena sudah menerapkan UU tersebut dalam kasus DK kemarin, maka harus juga diterapkan dalam kasus yang sama ini,” tandasnya.
Dia juga meminta bagi perempuan-perempuan yang mengalami peristiwa seperti ini, jangan takut, segera melapor agar dapat memberikan efek jerah bagi pelaku.
“Apalagi peristiwa yang melibatkan Bupati Malra ini informasinya sudah sejak bulan April, namun baru dilaporkan sekarang ini. Beta menduga, ada ketakutan dan sekarang dia mendapat dorongan dan dukungan sehingga baru berani melapor. Jadi kami menghimbau agar jika ada terjadi hal demikian bagi siapapun perempuan di Maluku, harus berani melapor, karena sudah diterapkan UU TPKS,”pintanya.
Menanti Perkembangan
Sementara itu, Divisi Pidana Lembaga Bantuan Hukum dan Klinik Hukum Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, Iqbal Taufik meminta agar kasus ini harus menunggu perkembangan penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian.
Iqbal lebih mengedepankan asas praduga tak bersalah sepanjang itu masih melekat dugaan pelecehan seksual dan sebagainya. Untuk itu, juga harus menanti perkembangan dari proses yang telah dilaporkan itu.
“Jadi kami juga belum bisa memberikan pendapat yang lebih banyak, namun dalam segi bukan pada subjek orang-perorangan, atau bukan pada terduga pelakunya, tetapi dilihat pada kapasitas jabatannya selaku bupati,” paparnya.
Jika memang itu terbukti, lanjutnya, tetapi di kepolisian itu ada peraturan Kapolri terkait dengan upaya damai dalam penyelesaian kasus-kasus pidana, khusus untuk pelecehan seksual yang ancaman hukuman pidananya diatas 7 tahun, ada beberapa ketentuan yang memang tidak bisa menggunakan proses perdamaian.
Terkait perilaku seksual yang diduga dilakukan Bupati, menurutnya, siapapun dia walaupun itu bupati yang berkedudukan selaku Bupati Maluku Tenggara, namun bisa dilihat rekam jejak penanganan perkara yang sudah ditangani oleh Polda Maluku, termasuk pada kasus yang sama sebelumnya yang melibatkan DK yang sempat mendapat apresiasi. Dengan itu, maka pihaknya tidak bisa berasumsi bahwa kasus ini akan berakhir damai.
“Artinya peraturannya Restorative Justice atau penyelesaian perkara lewat perdamaian atau pemulihan angka korban itu dimungkinkan, namun itu diatur. Dan ada catatannya untuk perkara-perkara yang ancaman hukumannya diatas 7 tahun, tidak bisa seperti itu. Ada ketentuannya,”jelasnya.
Bupati Dipolisikan
Sebagaimana diberitakan, Hanubun, dilaporkan ke Polda Maluku, karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap TSA.
Sebagaimana dilansir Siwalimanews, pelecehan terjadi di Cafe Agnia, milik Hanubun, yang terletak di kawasan Air Salobar, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.
Tak terima atas perlakuan Bupati Hanubun, korban yang merupakan karyawan cafe tersebut memilih melaporkan perbuatan majikannya itu ke Polda Maluku.
Laporan dilayangkan TSA Jumat (1/9) sore di SPKT Polda Maluku.
Usai pelaporan, korban diarahkan menuju Subdit PPA Ditreskrimum Polda Maluku untuk menjalani pemeriksaan lanjutan.
Belum diketahui secara pasti kronologis serta pelecehan seksual yang dialami korban.
Korban dan keluarganya, maupun polisi belum mau buka mulut terkait kronologis kasus itu.
Namun begitu, Dirkrimum Polda Maluku, Kombes Andri Iskandar membenarkan adanya laporan tersebut.
Hanya saja dirinya enggan berkomentar lebih jauh lantaran kasus itu masih diselidiki. “Pelapor sudah dimintai keterangan,” jelas Iskandar singkat. (S -05/S-25)
Tinggalkan Balasan