DAMPAK kekeringan ekstrem El Nino terhadap kinerja produksi pangan pokok mulai terungkap. Secara awam, masyarakat telah dapat merasakan dampak penurunan produksi pangan tersebut karena harga beras naik sangat tinggi, hingga hampir mencapai Rp15 ribu per kilogram.  Kenaikan harga pangan yang sangat tinggi dan signifikan berkontribusi pada laju inflasi dan penurunan daya beli masyarakat.

Rilis resmi produksi padi dan jagung, oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 16 Oktober 2023 dengan metode kerangka sampel area (KSA), menunjukkan penurunan produksi pangan dan produktivitas atau setidaknya stagnansi produktivitas selama dua tahun terakhir. El Nino sejak mid 2023 menambah beban atau menjadi akselerator percepatan penurunan produksi pangan pokok tersebut.

Kinerja produksi padi diperkirakan turun 1,12 juta ton (2,05%), dari 54,75 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2022 menjadi 53,63 juta ton GKG pada 2023. Luas panen padi turun 256 ribu hektare (2,45%), dari 10,45 juta hektare pada 2022 menjadi 10,20 pada 2023.

Produktivitas padi nyaris stagnan sejak dua tahun terakhir karena praktis tidak terdapat teknologi baru yang dikembangkan dan diaopsi petani. Indonesia akhirnya kembali harus menggantungkan pada beras impor, hingga mencapai rekor tertinggi selama lima tahun terakhir, yaitu sekitar 2,5 juta ton pada 2023.

Demikian pula, kinerja produksi jagung diperkirakan turun 2,8 juta ton (12,52%), dari 22,36 juta ton pipilan kering (kadar air 28%) pada 2022 menjadi 19,56 juta ton pipilan kering pada 2023. Produksi jagung selama ini menjadi penopang utama industri pakan ternak karena merupakan 60% dari seluruh elemen pakan ternak.  Anjloknya produksi jagung dan tingginya harga pakan telah memukul peternakan rakyat, yang sedang berusaha pulih dari kontraksi permintaan karena pandemi covid-19.

Artikel ini membahas strategi akselerasi, atau percepatan adopsi teknologi pertanian, khususnya varietas baru yang adaptif. Salah satu strategi akselerasi adopsi tersebut ialah penguatan fungsi penyuluhan pertanian, meliputi kelembagaan penyuluhan, ketenagaan, pembiayaan, administrasi dan dukungan kebijakan yang diperlukan.

Adopsi teknologi pertanian

Tingkat adopsi teknologi baru pertanian oleh petani Indonesia masih sangat rendah. Para peneliti sebenarnya telah menghasilkan beberapa varietas padi unggul, yang resisten terhadap kekeringan dan genangan air.  Akan tetapi, sebagian besar petani masih menanam padi varietas ciherang, yang berumur 23 tahun, karena varietas ciherang dirilis pada 2000. Para petani Indonesia yang masih menggunakan varietas ciherang mencapai 29,87% atau yang tertinggi. Pengguna varietas mekonga yang dirilis pada 2004 mencapai 12,60%.

Varietas tahan genangan seperti inpari 32 (inbrida padi irigasi seri 32) yang dirilis pada 2013 mencapai 7,47%. Varietas padi lama yang masih ditanam petani ialah jenis IR 64 yang telah berumur hampir 40 tahun mencapai 6,31%. Varietas inpari 30 mencapai 6,31% dan varietas situ bagendit mencapai 4,12%.

Rendahnya adopsi teknologi sangat berhubungan dengan efektivitas sistem penyuluhan pertanian, secara strategis, organisasional, dan operasional. Penyelenggaraan penyuluhan perlu disempurnakan mengikuti dinamika perkembangan teknologi, perubahan lingkungan, dan sistem nilai tatanan dalam masyarakat.

Selama ini, penyelenggaraan penyuluhan berpedoman pada Undang-Undang 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Sejak lahirnya Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kelembagaan penyuluhan pertanian menjadi tidak jelas.

Penyuluhan pertanian berada di bawah Dinas Pertanian atau dinas sejenis di daerah. Para penyuluh menjadi bagian dari sistem administrasi kedinasan, bahkan lebih banyak terlihat dalam program dinas jika dibandingkan tugas fungsionalnya.

Untuk itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden 35/2022 tentang Penguatan Fungsi Penyuluhan Pertanian, yang dilengkapi dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 27/2023 tentang Pelaksanaan Perpres 35/202 tersebut.

Akan tetapi, implementasi kedua peraturan itu tidak berjalan efektif karena problematika kelembagaan penyuluhan sangat kompleks. Cukup banyak program dan kegiatan operasional penyuluhan pertanian tidak ter-<i>delivered<p> dengan jelas, baik di tingkat provinsi, maupun di kabupaten/kota.

Selain dengan penguatan satuan administrasi pangkal dan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) tingkat kecamatan, opsi penguatan kelembagaan penyuluhan pertanian ialah peningkatan eksistensi keberhasilan penyuluhan pertanian dalam mendukung program strategis nasional, termasuk peningkatan produksi dan produktivitas pangan pokok.

Suatu format gerakan penyuluhan pertanian dapat segera dilaksanakan, misal melalui pemberdayaan penyuluh pertanian dalam proses pembelajaran, pendampingan, dan pengawalan usaha tani di petani, kelembagaan petani, dan kelembagaan ekonomi petani.

Gerakan keswadayaan penyuluhan untuk meningkatkan efektivitas penyuluh pertanian swadaya, yang terdiri dari petani maju dan tokoh masyarakat setempat. Secara formal, kompetensi para penyuluh pertanian swadaya itu perlu ditingkatkan melalui kerja sama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), perguruan tinggi, lembaga penelitian bereputasi, dan lain-lain.

Gerakan keswadayaan penyuluhan itu perlu juga mengefektifkan sekian program lapangan, seperti pusat pelatihan pertanian dan perdesaan swadaya (P4S), pos penyuluhan desa, kelembagaan ekonomi pertanian, dan gabungan kelompok tani.

Rekomendasi kebijakan

Berikut rekomendasi untuk mempercepat atau akselerasi adopsi teknologi pertanian. Pertama, pemerintah perlu segera melakukan pemetaan petani, berikut karakteristik mereka, prioritas tanaman yang sedang dan akan diusahakan, sekaligus melakukan pemutakhiran sistem penyuluhan pertanian (Simluhtan).

Pemerintah perlu juga melakukan pemetaan baik seluruh penyuluh pertanian, penyuluh swadaya, maupun penyuluh swasta, berikut peran langsung dalam meningkatkan ekstensi keberhasilan penyuluhan mendukung program strategis nasional.

Kedua, pemerintah perlu memprioritaskan peran langsung penyuluh pertanian sebagai ujung tombak dalam akselerasi adopsi teknologi pertanian, dengan meningkatkan kapasitas penyuluh sebagai insan pembelajar dan menjadikan petani terampil dan ahli di bidang mereka.

Ketiga, inisiasi penyuluhan kolaboratif untuk membuka ruang dan kesempatan bagi penyuluh swadaya untuk mengembangkan dan melaksanakan penyuluhan berorientasi pasar (market-led extension). Penyuluh swadaya yang terdiri dari petani sukses umumnya lebih berpengalaman dalam meningkatkan kualitas produk pertanian untuk tujuan ekspor serta persyaratan teknis dan administrasi yang harus dipenuhi petani yang masuk pasar ekspor.

Keempat, reformulasi dana alokasi khusus (DAK), baik fisik maupun nonfisik, untuk segera diintegrasikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2025-2029 yang sedang dirumuskan melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Prioritas dapat saja difokuskan pada petani khusus atau kawasan pertanian, misalnya dengan sinkronisasi dengan alokasi ketahanan pangan 20% dari dana desa dan alokasi dana desa (ADD), yang dirumuskan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertingal, dan Transmigrasi. Oleh: Bustanul Arifin Guru Besar Unila, Ketua Umum Perhepi, dan Ketua KPPN (*)