Aib (Calon) Guru Besar
CATATAN Ade Alawi, di Podium Media Indonesia berjudul Cermin Retak Guru Besar menulis keprihatinan terhadap sosok profesor yang seharusnya dihormati dan menjadi teladan, ternyata tidak sedikit yang terjerumus melakukan tindakan memalukan (Media Indonesia, 21/2). Tidak hanya terlibat dalam praktik korupsi, tidak sedikit dosen ketika mengejar jabatan guru besar ternyata melakukan berbagai cara yang kurang elok, yang menodai reputasi guru besar yang seharusnya. Untuk menjadi guru besar, aturan telah menetapkan bahwa calon profesor harus memiliki karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat di jurnal internasional bereputasi.
Untuk mencapai hal ini, disadari bukanlah hal yang mudah. Fakta di lapangan memperlihatkan praktik perjokian, dukungan tim sukses dan berbagai modus penulisan artikel di jurnal internasional bereputasi, tidak sekali-dua kali dilakukan sejumlah dosen yang ingin naik pangkat menjadi guru besar.
Sejak kebijakan penulisan artikel jurnal internasional ditetapkan sebagai syarat khusus kenaikan pangkat menuju guru besar, sejak itu pula ditengarai praktik lancung dalam penulisan karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi mulai muncul. Berbeda dengan era sebelumnya bagi seorang dosen, asalkan angka kredit yang dikumpulkan minimal sudah mencapai 850, dapat menjadi guru besar. Kini aturannya sudah berubah.
Seorang dosen yang memiliki angka kredit 1.000 lebih pun, sepanjang belum memiliki artikel di jurnal internasional bereputasi sebagai syarat khusus, ia tidak akan pernah lolos menjadi guru besar. Lebih dari sekadar telah memiliki artikel jurnal internasional sebagai syarat khusus kenaikan pangkat untuk dapat menjadi guru besar artikel ilmiah yang dihasilkan dosen yang bersangkutan juga dituntut memiliki relevansi keilmuan dengan penugasan dan bidang guru besar yang diusulkan.
Bukan tidak mungkin terjadi, seorang calon guru besar yang telah berhasil menembus jurnal internasional bereputasi, usulannya kemudian ditolak karena konten artikel yang diajukan ternyata berbeda dengan bidang penugasannya.
Baca Juga: Daniel Benarkan ada Penyegaran JabatanPercepatan guru besar
Menjadi guru besar adalah ujung karir yang selalu didambakan setiap dosen sebagai konsekuensi dari kinerja dan pengabdian yang mereka kembangkan selama ini. Tidak ada yang keliru jika semua dosen berkeinginan dapat segera menjadi guru besar. Dua faktor yang melatarbelakangi kenapa menjadi guru besar menjadi idaman para dosen adalah; pertama, selain tambahan penghasilan yang lumayan signifikan, daya tarik menjadi guru besar juga berkaitan dengan penghargaan sosial yang prestisius bagi dosen yang bersangkutan.
Di kampus maupun di luar kampus, jabatan guru besar ialah status yang reputatif, membanggakan dan karenanya dihormati banyak pihak. Ia niscaya akan mendapatkan berbagai hak istimewa yang menyebabkan suaranya cenderung lebih didengar dan dihargai pendapatnya.
Kedua, keinginan untuk segera menjadi guru besar sebetulnya bukan hanya keinginan pribadi dosen-dosen yang bersangkutan. Kehadiran guru besar juga menjadi kebutuhan institusi untuk mengejar pamor perankingan universitas di tingkat global maupun nasional. Artinya, menjadi guru besar bukan hanya cita-cita individu dari setiap dosen, melainkan juga menjadi kebutuhan dan nama besar institusi perguruan tinggi (PT) tempat sang dosen bernaung.
Di berbagai PT, yang banyak dilakukan dewasa ini ialah membentuk tim atau divisi untuk program percepatan guru besar. Hampir semua PT memiliki tim ini walau dengan nama yang berbeda-beda, tetapi tujuannya tetap sama, yaitu membantu dan memfasilitasi para dosen agar dapat lebih cepat naik pangkat ke lektor kepala untuk kemudian menjadi guru besar.
Dana yang disediakan masing-masing PT untuk program percepatan tersebut biasanya sangat besar. Disadari bahwa menghasilkan artikel di jurnal internasional bereputasi bukanlah hal mudah. Untuk itu, di berbagai PT ada banyak hal yang dilakukan dalam rangka mendorong dosen dapat segera menghasilkan artikel dan terbit di jurnal internasional yang memenuhi kualifikasi Dikti. Biasanya di berbagai PT, mereka bukan hanya membantu membiayai dana yang dibutuhkan untuk menterjemahkan artikel ke bahasa Inggris, tetapi juga membiayai program persiapan dan pelatihan bagi para dosen.
Program yang selama didanai mulai dari mengikutsertakan dosen dalam kegiatan pelatihan penulisan artikel jurnal, mengirim dosen ke luar negeri untuk mencari rujukan dan ikut kursus menulis, mengembangkan riset kolaborasi internasional agar dapat menulis bersama dengan dosen dari PT terkenal di luar negeri, mencari mitra penulis dari PT yang rankingnya termasuk 100 atau 200 besar dunia, menawarkan insentif yang menggiurkan untuk artikel jurnal yang terbit, dan lain-lain. Ini semua dilakukan, sekali lagi, agar para dosen dari berbagai PT itu segera menghasilkan artikel di jurnal internasional bereputasi. Kemudian dapat dijadikan syarat khusus untuk mengurus kenaikan pangkat ke guru besar.
Reputasi dosen
Jika pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah publikasi artikel Indonesia tercatat 8 ribu, di 2021 naik menjadi 50 ribu artikel per tahunnya. Dalam lima-enam tahun terakhir, produktivitas publikasi internasional para dosen di Indonesia meningkat luar biasa, lebih enam kali lipat artinya 600 persen dalam enam tahun terakhir.
Di salah satu PTN di Jawa Timur diketahui salah seorang dosen setiap tahun bisa menghasilkan artikel di jurnal internasional bereputasi hingga 30 artikel, dan bahkan ada pula yang mencapai 60 artikel lebih. Ini berarti setiap minggunya, dosen yang bersangkutan bisa menghasilkan 1-2 artikel jurnal.
Dari segi kepatutan, kemampuan seorang dosen menulis 1-2 artikel setiap minggunya tentu masih bisa diperdebatkan. Namun, kalau melihat insentif yang ditawarkan PT per artikel jurnal bisa mencapai Rp50 juta-Rp75 juta untuk jurnal Q1 dan top tier, sebetulnya bisa dipahami jika banyak dosen yang memiliki kemampuan menulis kemudian benar-benar berkonsentrasi untuk terus menulis artikel jurnal. Itu karena reward yang diterima jauh lebih besar daripada gaji bulanan sebagai PNS Golongan IV sekali pun.
Dibandingkan dengan menulis buku ajar atau buku referensi, saat diakui atau tidak, para dosen umumnya lebih tertarik untuk menulis artikel di jurnal internasional bereputasi. Di berbagai PT, insentif untuk menulis buku ajar atau buku referensi umumnya sangat kecil, hanya sekitar Rp10 juta per buku. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin seorang dosen berminat menulis buku ajar atau buku referensi ratusan halaman hanya dengan insentif yang jumlahnya lebih kecil dari insentif jurnal Scopus Q4 sekali pun?
Di berbagai event, saat ini dosen yang menjadi narasumber sebuah forum diskusi biasanya dikenalkan dan dibacakan CV-nya pada artikel jurnal yang dimiliki. Reputasi seorang dosen seolah hanya ditentukan dan tergantung pada berapa jumlah artikel jurnal internasional yang telah ditulis dan berapa H-Indeksnya sebagai author.
Seorang dosen yang kurang mampu menulis artikel jurnal internasional, tetapi menjadi pengajar yang menarik di ruang kuliah, niscaya bukan apa-apa. Demikian pula seorang dosen yang menulis sekian banyak buku ajar atau buku referensi, cuma menjadi dosen second class kalau ia tidak memiliki artikel jurnal internasional yang berjajar.
Di era ketika rezim Scopus masih mendominasi, dan reputasi seorang dosen masih ditentukan oleh berapa H-Indeksnya, jangan kaget jika profesi dosen akhirnya direduksi hanya menjadi dosen atau guru besar abal-abal hasil praktik perjokian daripada dikenang sebagai pendidik yang substansial.(*)
Tinggalkan Balasan