AMBON, Siwalimanews – Kalau saja Kejati Maluku tidak mengusik lahan pembangunan proyek pembangu­nan PLTMG Nam­lea, saat ini masya­rakat di Kabupaten Buru dan Bursel su­dah hidup menik­mati pasokan listrik dari proyek dimak­sud.

Sejak Indonesia merdeka 76 tahun hingga saat ini, Ka­bupaten Buru dan Bursel belum sepenuhnya menikmati listrik. Olehnya itu, pemerintah pu­sat melalui PT PLN akhirnya me­nempatkan proyek PLTMG tersebut pada 2016 di Namlea. Proyek ini merupakan proyek strategis nasio­nal sebagai upaya pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.

Untuk memperoleh lahan guna pembangunan proyek dimaksud, PT PLN Maluku dan Malut melirik lahan milik Fery Tanaya di Dusun Jiku­besar Desa Sawa Kecamatan Namlea Kabupaten Buru.

Lahan milik Ferry dinilai PLN sangat  strategis untuk pembangu­nan proyek dimaksud. Sebagai anak daerah, Fery akhirnya mau mele­paskan lahan miliknya itu ke PLN, mengingat proyek tersebut untuk kepentingan umum.

Sayangnya, Kejati Maluku terusik karena Fery pengusaha besar. Kejati Maluku lalu melakukan pengusutan dengan segala cara untuk menjerat Fery Tanaya yang adalah pemilik lahan.

Baca Juga: Temui Kapolda, Duta Besar Australia Pererat Kerjasama

“Merujuk ke belakang, kalau saja jaksa tinggi Maluku tidak usik lahan pak Fery, katong di Buru dan Bursel sudah nikmati pasokan listrik dari proyek ini. Mungkin sekarang listrik di Buru dan Bursel nyala sampai pagi dan tidak padam-padam lagi. Nela­yan punya hasil-hasil laut sudah bisa disimpan di alat pendingin sehingga tidak rusak, Memang kalau bicara listrik di Buru dan Bursel sulit. Tapi mau bikin apa lagi, nasi sudah jadi bubur, ulah jaksa katong seng bisa nikmati listrik,” ungkap warga Buru di Namlea, Sudirman Bessy Rabu (27/4).

Dikatakan, mencermati persoalan hukum yang dituduhkan kepada Fery Tanaya dalam proyek PLMG 10 MW di Pulau Buru telah membuat banyak pihak kebingungan dan malah menjadi bahan tertawaan termasuk saya.

Sejak kasus ini sengaja digulirkan, Kejati Maluku  telah melakukan propaganda melalui media massa sejak 2017-2020, dengan menggunakan berbagai skenario untuk menjerat Fery Tanaya.

Mulai dari dugaan  mark up   harga tanah  yang sudah  terjawab saat si­dang praperadilan di Pengadilan Negeri Ambon beberapa waktu lalu,  adanya salah pembayaran,  hingga skenario menjual tanah milik negara.

Dijelaskan,  dari  fakta persidangan terungkap harga ganti rugi tanah yang diterima Fery Tanaya sama dengan pemilik lahan lainnya yaitu Rp. 125.000 / M2. Lebih anehnya   lagi, pihak Kejati Maluku sendiri turut serta dalam sosialisasi bagi pemilik lahan lainnya agar dapat menerima harga ganti rugi yang telah ditetapkan yaitu Rp. 125.000/M2.

Setelah gagal menjerat Fery Ta­naya dengan dugaan mark up, ske­nario lainnya yang diciptakan Kejati Maluku adalah  tentang salah pem­ba­yaran, seakan-akan  tanah yang dibebaskan pihak PLN tersebut bukan milik Fery Tanaya,  tetapi milik pihak lain.

Tuduhan ini dipakai berdasarkan dokumen yang disita pihak Kejati Maluku dari pihak BPN Buru. Ter­dapat Nomor Induk Bidang (NIB) yang adalah NIB lahan orang lain.

Padahal sudah dijelaskan oleh pihak BPN Buru, bahwa form yang dipakai oleh petugas BPN pada saat pengukuran adalah form copy paste yang NIB-nya belum dihapus. Ini hanya masalah teknis adminsitrasi   yang semestinya tidak perlu diper­ma­salahkan, karena sudah diklarifi­kasi juga oleh pihak BPN. Tudingan ini akhirnya gugur, karena saat pe­ninjauan lokasi ternyata tanah yang dibebaskan pihak PLN tersebut adalah milik Fery Tanaya.

Bessy menambahkan, lahan atau tanah yang NIB-nya dipersoalkan tersebut letaknya jauh dari tanah milik Fery Tanaya yang dibebaskan pihak PLN, sehingga  gagal lagi skenario kedua yang dipakai pihak Kejati Maluku.

Cara-cara tidak elegan yang dipa­kai Kejati ini sebenarnya  publik da­pat menilai oknum-oknum penyidik di Kejati Maluku dalam kasus ini sedang mencari-cari peluru untuk menembak Fery Tanaya.

“Kalau boleh beta bilang, masih banyak kasus lain yang dugaan ko­rupsinya jelas ada, kenapa tidak diusut, tapi mau mencari kesalahan orang di tanah yang adalah milik orang yaitu Fery Tanaya. Apakah begini caranya penegakan hukum yang diterapkan oleh suatu institusi penegak hukum dengan cara men­cari-cari kesalahan orang,” cetus­nya.

Lebih sadis ungkap Bessy,  jaksa penyidik itu tak habis akal menjerat Fery lahan yang dimiliki Fery milik negara. “Kalau para jaksa penyidik itu orang tuanya punya lahan, lalu tiba-tiba pemerintah datang dan bilang lahan orang tua mereka itu milik negara. Kira-kira reaksinya seperti apa ya. Logikanya begitu. Sekarang berlaku bagi Fery, semoga besok-besok mereka dan anak cucu tidak mengalaminya. Ini soal tanah milik orang, direkayasa untuk masuk penjara dengan tuduhan korupsi. Kasihan melihat proses penegakan hukum seperti ini,” jelasnya.

Masih kata Bessy, adanya ske­nario lain yang dimunculkan, bahwa  Fery Tanaya telah menjual tanah milik negara salah besar. Padahal tanah tersebut dibeli dari ahli waris Zadrach Wacanno pada tahun 1985 melalui Akta Jual Beli yang dibuat oleh Camat Namlea,  sekaligus seba­gai PPAT.

Zadrach Wacanno sendiri mem­beli tanah tersebut dari  Pemerintah Belanda pada tahun 1932 melalui Akta Nomor 19 tertanggal 9 April 1932.

Bessy tak habis pikir, pernyataan Kajati Maluku kala itu, Roro Zega bahwa hak erfpacht tidak bisa dipin­dah tangankan baik kepada ahli waris atau pihak lain, bahwa setelah pemegang hak meninggal maka selesai sudah hak atas tanah itu dan dikembalikan haknya  ke negara.

“Pak Zega itu bisa ngomong se­enak perutnya. Ini tanah punya orang. Bukan milik pak Zega dan para jaksa penyidik lalu asal bicara. Pakai UU yang mana,” tanya dia.

Ia berharap, kedepan kejati Ma­luku lebih professional lagi, karena masyarakat sangat mendukung pe­negakan hukum apalagi yang ber­kaitan dengan korupsi, tetapi ja­nganlah orang yang bukan koruptor dipaksakan untuk berstatus sebagai koruptor hanya karena yang ber­sangkutan punya nama besar atau karena ada pesanan.

Pernah Lapor ke Istana

Untuk diketahui, sebelumnya Bessy dan sejumlah tokoh Buru meminta pemerintah untuk meres­pons terkait persoalan terbengka­lainya proyek pembangunan Pem­bangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) 10 MW di Namlea.

Mereka meyakini pembangungan PLTMG adalah bukti nyata perhatian Presiden Joko Widodo kepada mas­yarakat di sana. Harapan masyarakat Pulau Buru itu disampaikan oleh para Raja Petuanan Lilialy berserta tokoh masyarakat setempat kepada Deputi I Kantor Staf Presiden (KSP) Febry Calvin Tetelepta di Gedung Bina Graha, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, 16 Maret 2021.

Dalam pertemuan itu mereka menyampaikan bahwa ketersedian listrik merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan masyarakat Pulau Buru yang selama ini sangat di­dambakan.

Tidak Terbukti

Sebelumnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ambon pada 6 Agustus 2021 menjatuhkan vonis bebas murni kepada Fery Tanaya. Dalam putusan majelis hakim yang diketuai Pasti Tarigan dan Felix Uwisan serta Jefri Sinaga selaku hakim anggota itu, amar putusannya mengatakan Fery Tanaya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan koirupsi anggaran pengadaan lahan pembangunan proyek PLTMG Namlea.

Selain itu, Hakim juga meme­rintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Maluku untuk mem­bebaskan Ferry Tanaya dari semua dakwaan. Ferry didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan  lahan untuk pembangunan proyek  PLTMG Namlea milik PT PLN Wilayah Maluku-Maluku Utara.

Dalam pertimbangan ketiga hakim pria ini, lahan seluas 48.645 meter persegi yang terletak di di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, itu, Fery Tanaya berhak  menerima ganti rugi pada bidang tanah di kawasan ter­sebut.

Untuk diketahui, kepemilikan lahan itu oleh Fery Tanaya sudah lebih dari 31 tahun. Kajati Maluku kala itu Rorogo Zega secara sepihak dengan arogansinya kepada media mengatakan lahan tersebut  milik negara. Rorogo Zega sangat beram­bisi memenjarakan Fery Tanaya meskipun tidak terbukti secara hukum.

MA Tolak

Mahkamah Agung secara sek­sama akhirnya mengeluarkan kepu­tusan menolak kasasi Kejaksaan Tinggi Maluku terkait korupsi pem­bangunan PLTMG Namlea yang menyeret Fery Tanaya selaku pemi­lik lahan.

Dengan begitu, ambisi Kejati Maluku untuk penjarakan Fery Tanaya kandas. Dalam amar putu­sannya, Mahkamah Agung  mene­gas­kan, menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi atau penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Buru dan membebankan biaya perkara pada seluruh tingkat peradilan dan pada tingkat kasasi dibebankan kepada negara.

“Iya benar, petikan putusan kasasi dari Mahkamah Agung terkait kasus korupsi PLTMG Namlea sudah turun dan amarnya itu menolak permo­honan kasasi dari pemohon kasasi atau penuntut umum. Jadi ini baru petikan. Salinan putusan lengkap masih kita tunggu dari mahkamah,” jelas Humas Pengadilan Negeri Ambon Ex Officio Pengadilan Tipikor Ambon, Kemmy E Leunufna kepada pers di Ambon, Kamis (21/4).

Petikan keputusan Mahkamah Agung tersebut menegaskan kalau Fery Tanaya tidak terbukti korupsi dana pengadaan lahan untuk pem­bangunan PLTMG Namlea. (S-07)