Warga Miskin Jadi Komoditas Kampanye
MENGAPA masalah kemiskinan selalu menjadi komoditas politik selama pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah ?
Dalam konteks pemilihan umum, partai politik maupun kontestan Pilkada seringkali menjadikan warga miskin sebagai komoditas kampanye.
Selain menjadi bahan program kampanye, warga miskin juga menjadi sumber suara yang mudah disetir dengan iming-iming uang atau material tertentu.
Data BPS menunjukkan Provinsi Maluku per 30 Juli 2024 sebesar 16,05 persen dan kabupaten yang tertinggi angka kemiskinan yakni Kepulauan Tanimbar 23,66 persen.
Kerap kali angka kemiskinan tersebut menjadikan masyarakat sebagai daerah yang rawan terhadap praktik politik uang.
Baca Juga: Sanksi Netralitas ASNSistem pemilu di Indonesia pasca 2014 menjadikan calon wakil rakyat maupun kepala daerah dengan suara terbanyak menjadi pemenang, bukan lagi calon dengan nomor urut teratas. Perubahan sistem tersebut memang menjadikan pemilih memiliki kuasa yang besar atas calon yang akan mereka menangkan. Bukan calon yang diatur nomor urutnya oleh partai politik. Namun konsekuensi lain yang harus ditanggung adalah mengganasnya praktik politik uang.
Setiap kandidat dengan mudahnya menukar suara pemilih dengan sejumlah uang atau material lain seperti sembako untuk memenangkan pemilu. Bagi caleg politik uang adalah jalan pintas meraih suara pemilih. Di lain pihak masyarakat miskin mengangga[ politik uang adalah rezeki, karena material ataupun uang lebih menguntungkan daripada program-program kerja yang dijanjikan saat kampanye.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), praktik politik uang dilakukan dengan modus pemberian secara prabayar dan pasca bayar.
Praktik politik uang menunjukkan tren yang meningkat semenjak reformasi.
Tingkat kemiskinan yang tinggi, kesadaran yang rendah dari warga Indonesia dalam memilih penerima mandat rakyat serta lemahnya instrumen hukumuntuk menjerat pelaku dan penerima politik uang yang menjadikan praktek politik uang semakin marak terjadi.
Dengan melihat penyebab utama politik uang tersebut maka untuk mengatasinya bisa dilakukan dengan beberapa cara.
Pertama, partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam upaya mengurangi praktek politik uang dalam proses pemilu. Pemerintah dan partai politik harus melihat masyarakat miskin sebagai mitra sejajar untuk merencanakan dan menyelesaikan masalah kemiskinan, karena penerima manfaat program pengentasan kemiskinan adalah mereka sendiri. Dengan demikian kedudukan mereka tidak hanya menjadi objek politik, tetapi juga menjadi subjek politik yang dapat mempengaruhi kebijakan, sehingga program pengentasan kemiskinan bisa tepat sasaran.
Kedua, melalui gerakan untuk menyadarkan warga. Upaya mengurangi praktek politik uang tanpa inisisatif gerakan masyarakat, akan menjadi hal yang percuma. Desa Anti Politik Uang yang menyasar hingga tingkat keluarga merupakan inovasi yang bisa meminimalisir dan menangkal praktik politik uang. Gerakan ini menjadi contoh bagaimana setiap pihak baik dari pemerintah, organisasi masyarakat dan calon legislatif terlibat untuk melawan budaya politik uang.
Ketiga, yaitu dengan penguatan instrumen hukum untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan penerima manfaat politik uang juga harus dilakukan.
Politik uang seharusnya sudah masuk kejahatan luar biasa seperti korupsi, terorisme dan tindak perdagangan manusia sehingga pelapor ataupun saksi dari tindak pidana tersebut harus dilindungi secara formal oleh negara. Dengan adanya upaya dari berbagai pihak tersebut, diharapkan masalah politik uang yang terjadi pada proses pemilihan umum setiap lima tahun sekali bisa diminimalkan. (*)
Tinggalkan Balasan