PARA dosen aparatur sipil negara (ASN) di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi yang terus berjuang untuk memperoleh tunjangan kinerja (tukin) seperti pegawai pemerintah lainnya akhirnya bisa bernapas lega. Mulai 2025, dosen di lingkungan Kemendikti-Ristek akan mendapatkan tunjangan kinerja.

Tukin dibayarkan untuk dosen ASN di perguruan tinggi negeri (PTN) satuan kerja (satker) dan dosen ASN di perguruan tinggi negeri (PTN) badan layanan umum (BLU) yang tidak mendapatkan remunerasi. Kebijakan Kemendikti-Ristek pada 2025 untuk mulai membayarkan tukin dosen tentu disambut dengan baik. Selama ini, dosen ASN Kemendikti-Ristek dikecualikan untuk memperoleh tukin. Padahal, pegawai Kemendikti-Ristek mendapat tukin serta dosen kementerian atau lembaga pemerintah lainnya juga mendapat tukin.

Lalu bagaimana kira-kira untuk dosen di perguruan tinggi negeri-badan hukum (PTN-BH) yang jumlahnya kini mencapai 21 universitas? Selama ini PTN-BH dianggap sebagai perguruan tinggi papan atas yang tentunya kesejahteraan dosennya juga masuk kategori tinggi. Umumnya dosen di PTN-BH sebagian besar sudah mendapatkan tunjangan profesi dosen dan guru besarnya sudah memperoleh tunjangan kehormatan profesor. Namun, dosen-dosen negeri dan swasta (non-PTN-BH) juga mendapatkan tunjangan yang sama.

Selama ini ada insentif tambahan yang diberikan PTN-BH kepada dosen-dosennya dengan variasi besaran yang berbeda-beda. Pembayaran insentif di PTN-BH ada yang dilakukan tiap semester. Insentif itu umumnya diberikan karena adanya tugas-tugas mengajar dan penelitian yang dilaksanakan oleh setiap dosen dan dengan menggunakan sistem perhitungan masing-masing PTN-BH. Maka itu, insentif tersebut kemudian dibayarkan.

Besaran insentif itu yang seharusnya bisa disesuaikan dengan tukin yang akan dibayarkan pemerintah mulai Januari 2025. Sebagai contoh, dosen dengan jabatan lektor kepala akan memperoleh tukin senilai Rp12 juta dan profesor Rp19 juta tiap bulan. Mampukah PTN-BH mengeluarkan anggaran tukin untuk dosen-dosennya sesuai besaran tersebut? Pimpinan PTN-BH memang harus memutar otak untuk meningkatkan kesejahteraan dosennya.

Baca Juga: Kekerasan Seksual di Kampus

Niat pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dosen perlu diapresiasi. Dosen-dosen muda bergelar S-2 memperoleh gaji pokok Rp 3 juta–Rp 4 juta per bulan. Lulusan S-2 mungkin banyak yang menganggap tawaran menjadi dosen kurang menggairahkan. Apalagi kalau dibandingkan dengan fresh graduate S-1 yang menjadi pegawai Pemda DKI dengan gaji lebih dari Rp20 juta sebulan (gaji pokok plus berbagai tunjangan). Welfare excellence harus diakui menjadi pertimbangan anak-anak muda lulusan perguruan tinggi di dalam memilih pekerjaan yang dapat menunjang kesejahteraan hidup mereka.

Menjadi pendidik ialah panggilan jiwa. Harus ada passion yang kuat di dalam diri seorang dosen untuk suka mengajar, berinteraksi dengan mahasiswa, selalu sibuk mencari ide-ide baru untuk penelitian, dan segudang aktivitas lainnya yang menuntut dosen untuk berpikir dan berpikir. Tanpa aktivitas berpikir, mungkin dosen akan cepat bosan meniti karier dalam kehidupan mereka. Setelah dosen mendapat tukin di awal 2025 nanti, diharapkan kinerjanya semakin meningkat sehingga lulusan perguruan tingginya semakin baik.

Dosen ialah profesi yang secara langsung bersen­tuhan dengan upaya mencetak SDM berkualitas. Bidang pendidikan tidak boleh terbengkalai dan harus menggugah generasi muda untuk mau menekuninya. Adanya tukin yang besarannya cukup signifikan diharapkan bisa menjadi pemicu lulusan S-2 untuk mau menjadi dosen.

Awal merintis karier sebagai dosen memang memerlukan perjuangan karena honorarium atau gaji yang tidak besar. Tahun 1984 saya menjadi dosen muda dengan honor Rp40 ribu sebulan, padahal ketika menjadi mahasiswa saya biasa mendapat kiriman uang bulanan dari orangtua Rp75 ribu sebulan untuk indekos dan keperluan makan serta transportasi.

Untungnya, dalam waktu enam bulan saya langsung diangkat sebagai ASN dengan gaji sekitar Rp150 ribu ditambah beasiswa kuliah S-2. Ketika gaji saya menjadi Rp300 ribu sebulan, saya mendapat tambahan beasiswa kuliah S-3 di AS pada 1988 sebesar 600 dolar (Rp1.200.000). Kini beasiswa LPDP untuk studi lanjut di AS besarannya sudah mencapai 2.000 dolar sebulan.

Komitmen

Dosen harus mengajar dan meneliti. Dosen tidak akan pernah kekurangan pekerjaan selama yang bersangkutan memang memiliki komitmen untuk betah di kampus. Dalam mendukung perkuliahan yang up to date, dosen, apalagi guru besar, kini dituntut untuk menghasilkan karya tulis atau buku. Salah satu penciri dosen yang bermutu ialah seberapa banyak publikasi yang sudah dihasilkan.

Dosen ideal ialah mereka yang mampu menyeimbangkan kegiatannya di kampus. Kegiatan penelitian sama pentingnya dengan pengajaran. Penelitian ialah upaya untuk menghasilkan ipteks yang kemudian dapat digunakan untuk memperkaya materi kuliah. Oleh sebab itu, agak mengherankan kalau benar ada dosen yang hanya mengajar dan tidak melakukan penelitian.

Setiap tahun pemerintah meng­anggarkan bujet cukup besar untuk menampung rasa dahaga dosen yang mau meneliti. Tentu saja mereka yang mau meneliti dan ingin mendapatkan hibah Kemendikti-Ristek harus bersedia untuk berkompetisi dengan dosen lain. Hanya usulan penelitian yang baik yang akan dibiayai.

Hingga saat ini, kegiatan penelitian dosen masih dibebani dengan urusan administrasi pertanggungjawaban keuangan yang rumit. Peneliti tidak hanya harus berpikir keras tentang bagaimana kualitas data risetnya, dia juga harus trampil meng­elola urusan kwitansi dana riset yang harus dilaporkan pada institusinya.

Melakukan penelitian ialah satu langkah lebih dekat untuk menuju gerbang publikasi riset di jurnal ilmiah. Dosen yang banyak menulis karya ilmiah di jurnal merupakan dosen yang mumpuni. Prasyarat untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, hingga ke guru besar ialah adanya publikasi ilmiah. Kenaikan pangkat dan jabatan bagi dosen merupakan hak dan kewajiban yang harus diraih.

Diperlukan perjalanan waktu hingga 25 tahun saat seorang dosen menjadi guru besar di usia 50 tahunan. Pada saat pensiun nanti, gaji yang diterima dosen dan ASN lainnya akan merosot hingga tinggal senilai gaji pokok (sekitar Rp5 juta sebulan). Itulah sebabnya struktur penggajian ASN perlu dirumuskan agar gaji pokok dapat ditingkatkan, bukan hanya tunjangan yang dinaikkan. (*)  oleh: Ali Khomsan

(Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB, Wakil Ketua Klaster Kesehatan Asosiasi Profesor Indonesia (API)