Tim PH Kepsek SMPN 9, Minta Hakim Batalkan Dakwaan

AMBON, Siwalimanews – Tim Penasehat Hukum Kepala SMP Negeri 9 Ambon Lona Parinusa, meminta agar majelis hakim membatalkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dalam kasus dugaan korupsi dana BOS tahun anggaran 2020-2023.
Permintaan itu disampaikan Jack Wenno selaku penasehat hukum Lona Parinusa, dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor, Senin (24/3) dengan agenda penyampian eksepsi.
Dalam eksepsinya, tim penasehat hukum menyatakan, berdasarkan surat dakwaan yang disusun oleh penuntut umum, maka menurut pihaknya ada beberapa hal yang perlu ditanggapi secara seksama, mengingat di dalam surat dakwaan tersebut terdapat berbagai kejanggalan dan ketidakjelasan yang menyebabkan pihaknya mengajukan keberatan.
Pada dasarnya alasan yang dapat dijadikan dasar hukum mengajukan keberatan agar surat dakwaan dibatalkan, apabila surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan pasal 143 atau melanggar ketentuan pasal 144 ayat (2) dan (3) KUHAP.
“Berdasarkan uraian diatas kami selaku tim penasehat hukum terdakwa ingin mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan yang telah didakwakan oleh penuntut umum dengan alas an, bahwa ketidakadilan dalam proses hokum, dimana langkah penyidik pada Kejari Ambon dalam pemeriksaan terdakwa Lona Parinusa dengan membuat ketidakadilan dalam proses hokum, dimana penyidik Kejari Ambon selama proses penyidikan yang dilakukan oleh tim penyidik terdakwa tidak pernah diperiksa terlebih dahulu sebagai saksi, sebagaimana yang seharusnya dilakukan dalam prinsip pemeriksaan yang adil,” tutur Wenno.
Baca Juga: Jetty Likur Lengser, Sahusilawane Jabat Direktur Umum Bank Maluku MalutHal ini terbukti dimana pada tanggal 27 Februari 2025 lanjut Wenno, terdakwa dijemput paksa oleh penyidik Kejari Ambon dan tanpa ada pemeriksaan sebagai saksi. Tetapi pada 3 Maret 2025 terdakwa langsung diperiksa sebagai tersangka dan hal ini bukan saja sangat bertentangan dengan KUHAP, tetapi juga melanggar prinsip universal HAM a sebgaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil (pelanggaran Due Process Of Law) dan pasal 50 dan 51 KUHAP setiap tersangka atau terdakwa berhak mendapat perlakuan yang adil.
“Sehingga surat dakwaan JPU harus dibatalkan. Hal ini diperkuat dengan putusan MK No.21/PUU-XII/2014, yang menegaskan pentingnya terhadap hak-hak prosedural tersangka dan terdakwa dalam setiap tahap proses hokum jo Putusan MA No. 123 PK/Pid/2012, yang membatalkan penetapan persangka karena prosedur yang tidak sesuai aturuan, ” jelas Wenno.
Selanjutnya, JPU dalam menyusun surat dakwaan berdasarkan pada BAP yang cacat formil yaitu tidak pernah diperiksa terlebih dahulu sebagai saksi dan hal ini bertentangan dengan pasal 116 ayat (1) KUHAP, dimana prosedur ini diabikan oleh jaksa penyidik untuk tidak menjamin transparansi dan keadilan dalam proses penyidikan.
Bahwa berdasarkan pasal 143 ayat (2) KUHAP surat dakwaan harus memenuhi syarat formil dan materil dan apabila surat dakwaan tidak memenuhi syarat materil, maka surat dakwaan yang demikian adalah batal demi hukum. Bahwa setelah mempelajari surat dakwaan JPU terhadap terdakwa dalam perkara a quo, maka sudah seharusnya surat dakwaan batal demi hukum karena uraian perbuatan di dakwaan subsidair dan lebih subsidair dalam surat dakwaan perkara a quo adalah sama dengan dakwaan primair.
Selain itu, uraian perbuatan dalam dakwaan subsidair dan lebih subsidair menyalin ulang (copy paste) dari uraian dakwaan primair, sedangkan tindak pidana yang didakwakan dalam masing-masing dakwaan tersebut secara prinsip berbeda satu dengan yang lain.
Atas dakwaan penuntut umum yang demikian, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 600/K/Pid/1982 menyebabkan batalnya nomor surat dakwaan tersebut karena obscuur libele atau kabur.
“Bahkan Kejaksanaan Agung sendiri melalui surat No. B-108/E/EJP/02/2008 tanggal 4 Februari 2008 juga telah mengingatkan agar penuntut umum dalam menguraikan dakwaan subsidair atau lebih subsidair tidak menyalin ulang (copy paste) uraian dakwaan primair. Oleh sebab itu sudah sepatutnya dakwaan penuntut umum batal demi hukum,” tandas Wenno.
Selain itu, Wenno juga menekankan, bahwa dakwaan penuntut umum tidak cermat, dimana unsur tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan primair, subsidair dan lebih subsidair adalah sama, sedangkan pasal pidana yang didakwakan berbeda.
Rumusan tindak pidana dalam dakwaan primair tidak sama atau berlainan dengan unsur tindak pidana yang terdapat dalam dakwaan subsidair dan lebih subsidair yang dinyatakan penuntut umum telah dilanggar oleh terdakwa.
“Atas fakta rumusan dakwaan penuntut umum pada dakwaan primair, dakwaan subsidair dan dakwaan lebih subsidair tersebut, maka jelaslah dakwaan penuntut umum adalah dakwaan yang kabur dan tidak cermat serta cacat hukum dan karenanya sudah seharusnya batal demi hukum,” tegas Wenno.
Usai mendengar eksepsi yang diajukan oleh tim penasehat hukum, majelis hakim kemudin menunda siding pada, Kamis (27/3) dengan agenda tanggapan dari JPU atas eksepsi terdakwa.(S-29)
Tinggalkan Balasan