Tiga Orang Jadi Tersangka Timbunan Fiktif RSUD Namrole
Jaksa Tetapkan Tiga
NAMLEA, Siwalimanews – Kejaksaan Negeri Namlea menetapkan tiga tersangka kasus dugaan korupsi proyek timbunan fiktif RSUD Namrole.
Tiga orang yang ditetapkan tersangka yaitu, pengusaha Rahman Karate dan Haris Tomia alias Ai, serta pejabat pembuat komitmen La Aca Buton dari RSUD Namrole.
Proyek fiktif tahun 2020 lalu merugikan negara sebesar Rp.329.613.687. tersangka Rahman Karate dan Haris menggunakan perusahaan CV SB dan CV N untuk mengerjakan proyek timbunan di RSUD Namrole. Namun proyek ini tak pernah dikerjakan alias fiktif.
“Kerugian keuangan negara ini dari pembayaran terhadap perusahaan yang dipakai oleh para tersangka. CV SB sebesar Rp.184 juta dan CV N sebesar Rp.175 juta. Kemudian ada biaya konsultan sehingga seluruhnya Rp.329 juta lebih,” jelas Kepala Kejaksaan Negeri Buru, Muhtadi saat jumpa pers dengan para wartawan di Kantor Kejaksaan Senin (3/9/) siang.
Penetapan tersangka ini dilakukan, setelah tim penyidik Kejari Ambon melakukan ekspos dan bersepakat menetapkan tiga orang ini sebagai tersangka.
Baca Juga: Kasasi Masuk MA, Alat Bukti Apa yang Dipakai Jerat FT & AGL“Tiga tersangka tersebut yakni inisial LA, PPK pada RSUD Namrole tahun 2020. Kemudian yang kedua berinisial RK seorang swasta. Yang ketiga berinisial MAB alias HT juga seorang swasta. Jadi dua orang swasta dan satu PPK,” lanjut Muhtadi.
Muhtadi menerangkan, kalau Rahman Karate, Haris Tomia dan La Aca Buton disangkakan melanggar pasal 2, pasal 3 UU Tipikor dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.
Selain itu, tim penyidik Kejari Namlea telah melakukan pemeriksaan terhadap 17 orang saksi yang dilanjutkan dengan ekspos perkara.
“Ekspos perkembangan kasus telah dilakukan tadi pagi (Senin-red) dari pukul 09.00 WIT hingga Siang pukul 12.00 WIT, dalam ekspose tersebut tim sepakat menetapkan tiga orang sebagai tersangka,” tuturnya.
Selama proses pemeriksaan, kejaksaan telah berhasil menyita uang sebesar Rp.130.075.000 dari tangan sembilan saksi termasuk pula para tersangka.
Salah satu saksi yang mengembalikan uang karena ikut menikmati hasil korupsi proyek fiktif, yakni Direktur CV Sinar Bupolo, Jefry Hukunala sebesar Rp.3 juta. CV Sinar Bupolo bersama CV Naila milik Alkatiri, telah dipakai untuk mencairkan dana proyek fiktif tersebut.
Sedangkan dari tiga oknum tersangka, La Aca Buton baru kembalikan Rp.3,5 juta, lalu Rahman Karate Rp.35 juta dan Haris Tomia Rp.20 juta.
Muhtadi dan tim kejaksaan masih terus mengupayakan agar sisa kerugian negara sebesar Rp.199 juta lebih dapat disita lagi dari ketiga tersangka.
“Masih ada yang belum berhasil kami selamatkan sejumlah Rp.199 juta lebih. Ini nanti kita upayakan pengembalian sisa kerugian negara sebelum penuntutan,” katanya.
Muhtadi optimis kalau kasus ini akan rampung dan sampai penuntutan pada tahun ini, sehingga tidak lagi ada tunggakan di tahun depan.
Ditambahkan, pihaknya akan memeriksa lagi para saksi untuk tiga tersangka ini. Modus dari korupsi ini berawal dari Rahman Karate dan Haris Tomia mengajukan pembayaran terkait dengan timbunan di RSUD Namrole yang menurut mereka telah dikerjakan pada tahun 2017 lalu.
Setelah melalui lobi-lobi, akhirnya PPK LA Aca dengan Rahman dan Haris kedua menandatangani kontrak yang melibatkan CV Sinar Bupolo.
Kejari menegaskan, pada tahun 2017 lalu ada terjadi penimbunan di halaman RSUD Namrole.Tetapi penimbunan itu merupakan sumbangan dari para kontraktor karena ada kegiatan MTQ Provinsi Maluku di Kota Namrole.
“Kenapa ada timbunan, karena saat itu di RSUD Namrole dijadikan tempat menginap para kafilah, sedangkan lahan pekarangan RSUD mengalami kebanjiran. Sehingga Dinas PU berinisiatif meminta bantuan kepada kontraktor yang saat itu sedang melakukan penggalian di pinggir ruas jalan untuk membuang tanah galian ke RSUD,” tuturnya.
Namun kedua tersangka, Rahman Haris memanfaatkan itu seolah-olah pemerintah daerah memiliki hutang, sehingga mereka menggunakan CV SB dan CV N untuk mengajukan pembayaran dan kemudian dibuat kontrak dengan PPK LA seolah-olah ada pekerjaan yang diperintahkan oleh RSUD Namrole, sehingga pada bulan Februari 2020 lalu diterbitkan surat perintah melakukan pembayaran.
Padahal saat itu di RSUD Namrole belum ada anggaran dan baru dianggarkan di anggaran perubahan Tahun 2020 sekitar bulan Desember tahun 2020.
Dijelaskan, jika tim penyidik sudah berkoordinasi dengan auditor BPKP untuk menghitung kerugian negara. Dari hasil koordinasi dan ekspose dengan BPKP yang dilaksanakan pada bulan lalu, pihak BPKP menyampaikan pendapat perkara ini bisa dilakukan perhitungan sendiri oleh penyidik karena tidak terlalu rumit.
Muhtadi berharap, bukan saja masyarakat mengetahuinya tetapi juga warning bagi pelaku-peaku lainnya supaya tidak melakukan kejahatan yang sama.
Ia berharap nanti akan ada perbaikan sistem, sehingga tidak ada lagi kegiatan korupsi pencurian keuangan negara. (S-31)
Tinggalkan Balasan