BILA tidak ada halangan, beberapa hari mendatang presiden terpilih Prabowo akan dilantik menjadi Presiden Indonesia. Beliau akan menakhodai negeri berpenduduk terbesar ke empat di dunia. 280 juta jiwa sangat berharap Prabowo bisa membawa kemajuan signifikan di berbagai bidang, termasuk kesehatan. Untuk hal tersebut, penting bagi pemerintahan Prabowo untuk menatalaksanai sejumlah persoalan kesehatan serius yang mencengkeram bangsa ini.

Beban penyakit menular dan tidak menular

Meskipun Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan, penyakit-penyakit menular seperti tuberkulosis, malaria, dan HIV tetap menjadi ancaman serius. Saat ini, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita tuberkulosis tertinggi kedua di dunia setelah India, dengan prevalensi tuberkulosis mencapai 354 kasus per 100 ribu penduduk. Tahun lalu, terdapat lagi 800 ribu tambahan kasus baru. Itu momok besar yang membutuhkan penanganan serius.

Kasus malaria juga belum mereda. Dalam kurun tiga tahun, jumlah kasus malaria meningkat dari 254 ribu kasus menjadi 443 ribu. Progran eliminasi malaria belum berhasil dilakukan pada semua kabupaten dan kota di negeri ini. Pada 2022, terdapat 540 ribu kasus HIV di Indonesia atau 1,9 per 1.000 penduduk. Figur itu lebih dua kali lipat dari target yang ditetapkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, penyakit kardiovaskular, dan kanker menjadi ancaman serius. PTM itu memiliki angka kejadian, kronisitas, dan kematian tertinggi jika dibandingkan dengan jenis penyakit lainnya. Profil tersebut diperkirakan akan membengkak sejalan dengan gaya hidup yang semakin sedentari.

Baca Juga: Divisi Humas Polri Kunjungi Polda Maluku

Riset Kesehatan Dasar Kemenkes melaporkan bahwa dalam lima tahun, prevalensi hipertensi meningkat dari 25,8% menjadi 34,1%, penyakit jantung koroner dari 0,5% menjadi 1,5%, dan gagal ginjal kronis dari 0,2% menjadi 0,38%. Diabetes, penyakit kardiovaskular, dan kanker menyedot biaya kesehatan terbesar dan berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Sebuah penelitian melaporkan bahwa dampak ekonomi PTM di Indonesia diperkirakan sebesar US$4,47 triliun dalam bentuk kehilangan output ekonomi dari 2012 hingga 2030. Indonesia dapat mengurangi beban ekonomi hingga US$1,3 triliun (sekitar Rp16.900 triliun) dengan menekan angka kematian penyakit-penyakit tersebut. Sebaliknya, jika tidak ada tindakan hingga 2035, beban ekonomi bisa mencapai US$5,4 triliun (sekitar Rp70.200 triliun).

Kesenjangan akses dan pendanaan kesehatan

Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masih tidak seimbang. Di sebagian daerah, rakyat mudah memperoleh pelayanan kesehatan, sedangkan di daerah lain terdapat kendala serius. Pada 2023, dari 10.374 puskemas di Indonesia, baru 88,2% telah memperoleh akreditasi dengan level berbeda. Puskesmas juga mesti memiliki minimal sembilan tenaga kesehatan standar. Namun, hingga akhir 2022, hanya 56,1% puskesmas yang memenuhi kriteria tersebut.

Pada akhir 2022, lebih dari 400 puskesmas (4%) tidak memiliki dokter. Puskesmas tanpa dokter itu terbanyak berada di provinsi Papua (38,6%), Maluku (17,6%), dan Papua Barat (14,6%). Hingga saat ini, Indonesia masih berhadapan dengan isu maladistribusi tenaga kesehatan. Penyebabnya kompleks, termasuk minimnya kesejahteraan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di daerah-daerah. Tidak ada upah minimum profesi. Akibatnya, tenaga kesehatan lebih memilih bekerja di daerah basah.

Pada 2021, di DKI Jakarta terdapat 1 dokter untuk 680 penduduk, sementara di Sulawesi Barat 1 dokter untuk 10.417 penduduk. Artinya, akses terhadap dokter bagi penduduk Sulawesi Barat ialah 52 kali lipat lebih rendah daripada akses serupa di Jakarta.

Masyarakat sangat mengandalkan BPJS dalam pembiayaan kesehatan. Makanya, BPJS harus beroperasi efektif dan efisien. Iurannya tidak boleh membebani masyarakat, tetapi tetap menyediakan pelayanan kesehatan adekuat dan berkualitas. Selama 10 tahun terakhir, BPJS telah banyak membantu masyarakat, tetapibkinerjanya sangat perlu ditingkatkan.

Saat ini BPJS mengelola 260 juta penduduk Indonesia atau 93% populasi. Lima tahun pertama BPJS tidak berjalan lancar. Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, sempat meragukan kinerja BPJS karena mengalami defisit keuangan sejak 2014. Menteri Keuangan Sri Mulyani membuat kebijakan drastis dengan menaikkan iuran secara signifikan.

Dengan peningkatan jumlah iuran itu, BPJS perlahan stabil. Selama pandemi, kenaikan iuran dan penurunan kunjungan pasien membuat BPJS mengalami surplus dana dan mengumpulkan aset bersih sebesar Rp55 triliun. Pada 2024, pendapatan iuran BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp160 triliun. Namun, penerimaan iuran sekitar Rp157 triliun menunjukkan adanya tunggakan iuran.

Sejumlah ahli memperkirakan tahun-tahun berikut BPJS akan mengalami defisit serius seiring dengan meningkatnya pembiayaan PTM. Makanya, sejak sekarang BPJS perlu diperkuat dari segi pendanaan dan pengelolaan, terutama untuk memastikan keberlanjutannya dalam menghadapi peningkatan beban biaya perawatan.

Gizi tidak seimbang

Gizi seimbang merupakan kunci krusial kesehatan dan produktivitas. Tanpa gizi seimbang, individu rentan menderita gangguan kesehatan serius dan kehilangan produktivitas. Indonesia menghadapi persoalan sangat serius terkait isu tersebut.

Salah satu isu penting ialah gizi kurang. Pada 2014, satu dari tiga anak balita menderita stunting (tengkes). Dengan berbagai upaya, terjadi penurunan prevalensi tengkes. Namun, penurunan itu terlalu lambat dan tidak memenuhi target yang diharapkan. RPJMN menargetkan prevalensi stunting sisa 14% pada 2024. Faktanya, pada 2022, prevalensi tengkes masih berkisar 21,5%. Pada tahun tersebut juga prevalensi gizi kurang (underweight) ialah 7,7%, meningkat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.

Ironisnya, meski telah menggunakan dana Rp46 triliun, prevalensi tengkes pada 2023 hanya menurun 0,1% menjadi 21,4%. Itu masih sangat jauh dari target 14%. WHO menargetkan penurunan stunting mestinya sekitar 3,9% per tahun dengan target jangka panjang ialah tereliminasinya tengkes pada 2030. Itu tantangan yang sangat serius bagi Indonesia.

Gizi berlebih, dalam bentuk berat badan berlebihan dan obesitas, juga menjadi isu serius. Gizi berlebihanan merupakan faktor risiko utama berbagai penyakit serius seperti diabetes, hipertensi, strok, dan penyakit jantung koroner. Semua penyakit itu memiliki beban ekonomi dan morbiditas yang besar. Riskesdas menunjukkan kelebihan berat badan dan obesitas di Indonesia telah meningkat sejak beberapa dekade terakhir pada semua kelompok umur.

Pada 2018, 1 dari 5 anak usia sekolah (20% atau 7,6 juta), 1 dari 7 remaja (14,8% atau 3,3 juta), dan 1 dari 3 orang dewasa (35.5% atau 64.4 juta) di Indonesia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.

Survei Kesehatan Indonesia 2023 menemukan bahwa proporsi jumlah penduduk usia di atas 18 tahun yang memiliki kelebihan berat badan dan obesitas mengalami kenaikan dari 35,4% pada 2018 menjadi 37,8%. Dari figur itu, 23,4% mengalami obesitas dan 14,4% kelebihan berat badan. Bayangkan, betapa vulnerable masyarakat Indonesia ketika 1 dari 3 penduduknya mengalami kelebihan berat badan.

Tantangan teknologi dan digital kesehatan

Pandemi covid-19 meninggal­kan pelajaran penting tentang pentingnya pengobatan jarak jauh atau telemedisin. Sebelum pandemi, penggunaan teleme­dicine terbatas di daerah tertentu atau situasi khusus. Saat ini, penggunaan telemedicine se­-makin marak. Telemedicine me­-miliki manfaat dalam mengatasi ketimpangan distribusi tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, dan hambatan geografis dalam pelayanan kesehatan.

Banyak negara dan institusi kesehatan mulai mengadopsi telemedicine dalam sistem mereka. Selama dan setelah pandemi, banyak platform baru dikembangkan untuk mendukung telekonsultasi. Platform-platform itu dilengkapi dengan fitur seperti rekam medis elektronik, pengingat obat, dan layanan pengiriman resep yang meningkatkan kemudahan dan efisiensi pelayanan kesehatan. Telemedicine diperkirakan akan terus berkembang dengan kemajuan teknologi, termasuk integrasi dengan kecerdasan buatan dan analitik big data.

Perkembangan telemedicine di Indonesia relatif lambat jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Banyak tantangan yang perlu diatasi. Di antaranya ialah infrastruktur yang masih terbatas. Masih ada daerah di Indonesia yang sulit terjangkau oleh jaringan internet dan teknologi telekomunikasi. Regulasi yang belum memadai. Belum ada peraturan yang jelas dan tegas terkait dengan penggunaan teknologi telemedicine di Indonesia.

Akhirnya, banyak pihak merasa ragu mengembangkan layanan telemedicine secara optimal. Juga, keterbatasan teknologi dan aksesi­-bilitas. Belum semua masya­rakat memiliki akses terhadap teknologi dan perangkat elektronik. Itu mem­-buat layanan telemedicine hanya bisa diakses oleh sebagian kecil masyarakat. Juga tidak kalah penting ialah kurangnya pengeta­huan dan kesadaran masyarakat, termasuk cultural change.

Data kesehatan pasien ialah dokumen yang sangat vital. Ia mengandung informasi sensitif, seperti riwayat penyakit, hasil tes medis, diagnosis, perawatan, serta data pribadi lainnya seperti nama, alamat, dan identifikasi. Kebocoran data itu merupakan pelanggaran serius terhadap privasi dan dapat menimbulkan kerugian emosional, sosial, serta ekonomi bagi pasien. Data kesehatan yang bocor bisa disalahgunakan untuk penipuan asuransi, pemalsuan identitas, atau bahkan diperjualbelikan.

Penyalahgunaan semacam itu bisa berdampak buruk pada pasien, baik secara finansial maupun kesehatan. Dalam situasi yang lebih parah, data yang bocor bisa digunakan untuk diskriminasi atau eksploitasi di berbagai sektor, termasuk pekerjaan dan asuransi. Di era digital yang semakin terkoneksi, data kesehatan menjadi sasaran serangan siber, terutama oleh peretas yang berniat mencuri data untuk tujuan finansial atau manipulasi. Oleh karena itu, institusi kesehatan harus memiliki sistem keamanan yang kuat untuk melindungi data dari ancaman semacam tersebut.

Kemajuan teknologi meningkatkan risiko peretasan data kesehatan di rumah sakit. Berdasarkan penelitian, sektor kesehatan menempati urutan ketiga sebagai industri yang paling rentan mengalami kebocoran data. Indonesia telah beberapa kali digemparkan oleh kasus kebocoran data pribadi.

Baru-baru ini, sekitar 6 juta data nomor pokok wajib pajak (NPWP) dijual di situs. Kemen­terian Kominfo melaporkan dari 2019 hingga Mei 2024, terdapat 124 kasus dugaan pelanggaran perlindungan data pribadi de­-ngan 111 di antaranya merupa­kan kebocoran data. Setiap kebocoran itu bisa melibatkan ratusan juta data pribadi pen­duduk. Kebocoran meliputi data-data peserta BPJS Kesehatan, pemilih tetap Pemilu 2024, pelanggan PT PLN, hingga data wajib pajak.

Antisipasi dini

Persoalan kesehatan Indonesia tentu kompleks. Namun, sejumlah isu di atas merupakan isu krusial yang perlu prioritas penanggulangan. Bila tak tertangani dengan baik, isu itu dapat merebak dan memberi komplikasi serius pada isu-isu kesehatan lainnya.

Sangat penting bagi pemerin­tahan Prabowo memberikan perhatian penuh kepada se­jum­-lah persoalan kesehatan serius di atas. Pemerintah harus mem­-perkuat kebijakan kesehatan publik yang berkelanjutan, memastikan semua isu di atas ditangani profesional, adekuat, dan berkualitas.

Salah satu di antaranya ialah memilih orang yang profesional dan paham isu kesehatan sebagai nakhoda bidang kesehatan yang akan memimpin perbaikan status kesehatan negeri ini. Nakhoda itu mesti benar-benar profesional dan paham akar masalah kesehatan; bukan hanya sekadar orang yang berambisi memegang jabatan, dan tidak memiliki latar belakang profesional kesehatan yang solid. Tanpa nakhoda kesehatan yang profesional dan menguasai lapangan, Indonesia akan menghadapi ancaman serius dalam upaya mencapai Indonesia emas bidang kesehatan. Oleh: Iqbal Mochtar Ketua Klaster Kedokteran dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional dan anggota Dewan Etik Kohkarssi, Pengurus PB IDI, dan PP IAKMI. (*)