AMBON, Siwalimanews – Pengadilan Tipikor Ambon kem­bali mengelar sidang peninjauan kembali (PK) korupsi proyek pe­ngadaan alat-alat laboratorium pengawetan di Politeknik Negeri Ambon pada 2009, Kamis (22/10)

Sidang dipimpin Jenny Tulak dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy OS Hiariej, yang dihadirkan oleh pemohon PK, Irfin Latuconsina.

Ahli menyebutkan, putusan ka­sasi enam tahun penjara kepada Irfin Latuconsina menabrak asas hukum. Pasalnya, dalam hukum acara pidana harusnya putusan kasasi tidak melebihi putusan pengadilan.

“Dalam proses ini terlalu banyak menabrak asas hukum. Sebenar­nya sebelum putusan mahkamah konstitusi, dimana jaksa tidak bisa langsung melakukan kasasi,” kata Hiariej..

Baca Juga: Dua Kasus Libatkan Walikota Mengendap di Polisi

Katanya, delik pernyataan yang didakwakan harusnya jelas. Di­mana jaksa, tidak pernah merin­cikan apa itu tugas dan perbuatan terdakwa dalam melakukan tindak pidana korupsi. Karena itu dak­waan jaksa keliru karena tidak terbukti dan tidak dibuktikan

“Harusnya jelas kedudukannya sebagai apa, apa dia orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan,” tegas Hiariej.

Sementara itu, pemohon menye­but ada tindakan kesewenang-wenangan pihak kejaksaan. Menu­rut mereka, perkara ini harusnya sanksi administratif bukan dipida­nakan.

“Saat BPKP mengaudit kan pe­kerjaannya belum selesai, harus­nya dikeluarkan pembayaran den­da. Jadi, ketika dasarnya hasil audit BPKP itu keliru,” jelas pena­sehat hukum Irfin Latuconsina, Afif Amrullah.

Amrullah mengatakan, perkara ini hanya persoalan barang yang dikirim dari Amerika, bukan kekura­ngan volume. Tidak logis, bila per­kara ini dibebankan kepada Irfin.

Sebelumnya, Amrullah mengaku telah menyerahkan kepada majelis hakim diketuai Jenny Tulak tiga bukti yang merupakan bukti baru alias novum.

“Ada bukti serah terima barang, pengembalian bunga, dan aden­dum,” ujar Amrullah.

Saat penyidikan itu, lanjutnya, adendum belum selesai, tapi jaksa sudah penyidikan. Amrullah me­nuturkan, proyek itu harusnya selesai pada Desember 2009, lalu diperpanjang hingga Maret 2010.

Hal tersebut karena barang belum tersedia. Lalu, ada permo­honan dari PT Citra untuk perpan­jangan menyediakan barang. Saat proses itu, uang yang ditransfer diblokir.

“Pihak politeknik yang blokir, jadi tidak bisa digunakan. Saat itu juga dikenai bunga sekitar Rp 13 juta, uang yang diblokir itu Rp 500 juta,” lanjutnya.

Lanjutnya, padahal surat me­ngirimkan belum bisa menyedia­kan barang. Lanjutnya, setelah ada putusan bebas, barang lalu tersedia.

“Hal yang ingin saya sampaikan adalah dalam surat perjanjian kerja mengatakan ketika terjadi keterlambatan maka berlaku denda,” tutur Amrullah.

Irfan Latuconsina, terpidana korupsi dalam anggaran proyek pengadaan alat-alat laboratorium pengawetan di Politeknik Negeri Ambon pada 2009, mengajukan peninjauan kembali (PK) atas kasusnya.

Alasan Latuconsina mengaju­kan PK, karena ditemukannya bukti baru atau novum ada pertentangan putusan dengan yang lain; dan terakhir “ada kekhilafan hakim.”

Dia berharap lewat PK ini bisa bebas. Pada sidang nanti dia akan mem­buktikan dakwaan tidak terbukti dan dakwaan yang dianggap terbukti itu salah.

Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini membantah dalil dari bukti yang diajukan pemohon.

“Novum mereka itu ada adendum kontrak. Tapi itu kan sudah melewati tahun anggaran. Proyeknya 2009, bukti mereka ini tahun 2012. Makanya kami tolak,” kata Ruslan Marasabessy, Jaksa sekaligus Kasi Pidsus Kejari Ambon itu.

Seperti diketahui, Latuconsina merupakan terdakwa kasus korupsi dalam anggaran proyek pengadaan alat-alat laboratorium pengawetan di Politeknik Negeri Ambon pada 2009. Kejaksaan pernah menahan Latuconsina pada tahun 2010.

Namun, hakim Pengadilan Negeri Ambon memutuskan dia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana.

Kejaksaan lalu mengajukan kasasi  terhadap ke Mahkamah Agung. Pada 16 Januari 2013, Majelis menerima kasasi itu.

Majelis hakim memvonis Latuconsina 6 tahun penjara denda Rp 200 juta, uang pengganti Rp 533.064.543 atau subsider dua tahun penjara.

Setelah putusan tersebut, pihak kejaksaan belum menerima salinan putusan. Sehingga tidak menahan Latuconsina. Setelah mendapat putusan itu, Latuconsina diketahui berada di Namrole.

Pihak kejaksaan pun pergi ke Namrole dan mengeksekusi Latuconsina. Latuconsina lalu ditahan di rutan Ambon sejak 30 Agustus 2020 lalu.

Namun, Latuconsina mengajukan PK secara langsung ke PN Ambon. Sidang yang dipimpin majelis hakim Jenny Tulak Cs itu ditunda pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi dari termohon. Pihak Latuconsina akan menghadirkan dua orang saksi. (Cr-1)