Sebelum Belajar Tatap Muka, Sebaiknya Belajar dari Negara Tetangga Dulu
SEIRING dengan menurunnya jumlah kasus baru COVID-19 dan level PPKM, kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di berbagai sekolah di Indonesia sudah mulai diterapkan. Dalam pelaksanaannya, masing-masing sekolah menerapkan metode tersendiri yang dinilai paling aman dan sesuai untuk kondisinya. Salah satu boarding school di Bogor menerapkan sekolah tatap muka dengan jumlah siswa naik secara bertahap. Sementara salah satu sekolah swasta di Jakarta menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan mewajibkan seluruh tenaga pendidik divaksinasi, bahkan setiap siswa membawa hasil swab antigen negatif apabila siswa mendapat giliran sekolah tatap muka. Di lain sisi, ada pula berbagai sekolah di pedalaman dengan berbagai macam keterbatasan fasilitas sehingga sekolah tatap muka yang dilaksanakan tidak sesuai dengan protokol kesehatan yang ditentukan pemerintah. Berdasarkan data statistik pendidikan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun ajaran 2020/2021, di Indonesia terdapat hampir 25 juta siswa SD, sekitar 10 juta siswa SMP, sekitar 5 juta siswa SMA dan 5 juta siswa SMK.
Di Jakarta sendiri terdapat hampir 1,6 juta pelajar dari jenjang SD sampai SMA untuk tahun ajaran 2020/2021. Terhitung sejak 19 Oktober 2021 lalu, pembelajaran tatap muka (PTM) sudah diberlakukan hingga tingkat SMA. Hal ini berarti 1,6 juta pelajar di Jakarta kembali melakukan sekolah tatap muka. Bagaimana dengan di negara tetangga? Sejak munculnya COVID-19 yang berawal di Wuhan, Tiongkok, di sanalah tempat pertama kalinya sekolah tatap muka kembali diterapkan, lalu mulai merambah ke kota-kota lainnya di Tiongkok pada akhir April 2020. Di Tiongkok, semua murid wajib mengikuti sekolah tatap muka, namun guru memeriksa suhu setiap murid di gerbang sekolah, dan meja siswa dibatasi dengan pembatas akrilik. Berbeda dengan di Jepang, orang tua murid diwajibkan untuk mengecek suhu anak secara mandiri dan mengisi kartu kesehatan (berisi data kesehatan meliputi suhu dan gejala yang dialami anak setiap hari) yang akan dikumpulkan murid di sekolah setiap hari. Selain itu, Jepang memberlakukan jadwal masuk kelas berselang di beberapa sekolah untuk membatasi jumlah murid yang masuk per harinya. Di Thailand juga menerapkan aspek physical distancing pada PTM dengan mengatur jarak antar tempat duduk siswa, dan menutup kantin untuk mencegah kerumunan sehingga siswa diwajibkan memakan bekal di meja masing-masing.
Pada faktanya ada beberapa negara yang sudah memulai sekolah tatap muka, namun harus ditutup kembali karena adanya peningkatan kasus COVID-19. Sebagai contoh, di Malaysia PTM dimulai pada bulan April 2021, namun sekolah harus kembali ditutup pada bulan Agustus 2021 dikarenakan adanya lonjakan kasus pada kelompok anak dan remaja. Sementara di Thailand PTM, sempat berjalan hampir setahun dari Juli 2020 sebelum akhirnya sekolah kembali ditutup pada bulan April 2021. Di negara maju seperti Amerika yang telah memulai PTM sejak Januari 2021, akhirnya kembali mengkombinasikan dengan sekolah daring dari rumah 1 kali seminggu. Di Inggris, yang sudah mulai sejak bulan Maret 2021, hingga saat ini untuk kelanjutannya masih dalam tahap evaluasi. Adakah negara yang berhasil menjalankan PTM sampai saat ini? Denmark, negara pertama di Eropa yang kembali memulai PTM di sekolah pada bulan Mei 2020 lalu, adalah negara yang dinilai cukup berhasil menjalankan PTM dan dijadikan percontohan bagi negara-negara maju seperti Inggris atau Amerika dalam membuat regulasi terkait PTM di negaranya masing-masing.
Denmark melakukan sistem bubble (gelembung), yang merupakan sebuah sistem pembelajaran di mana siswa terbagi dalam bubble atau kelompok-kelompok kecil. Satu bubble terdiri dari kurang dari 10 orang murid yang memiliki jadwal kelas yang sama, menggunakan ruang kelas yang sama, area bermain yang sama dan diajar satu guru yang sama. Satu bubble tidak berinteraksi dengan bubble yang lain, sehingga mempermudah contact tracing apabila muncul kasus COVID-19. Selain itu, apabila terdeteksi COVID-19 pada salah satu guru atau murid, cukup dilakukan isolasi pada satu bubble saja dan tidak perlu lockdown satu sekolah sehingga kegiatan belajar mengajar dapat tetap berjalan seperti biasa.
Bagaimana sebaiknya PTM di Indonesia? World Health Organization (WHO) menganjurkan agar sekolah segera dibuka setelah lebih dari 18 bulan ditutup, karena dikhawatirkan adanya learning loss atau ketertinggalan pembelajaran pada generasi muda. Tambahan pula, sekolah dari rumah juga dinilai memberikan berbagai dampak perubahan perilaku pada anak misalnya malas beraktivitas fisik, menggunakan gawai elektronik lebih lama, hinggga perubahan emosi dan psikologis seperti cemas dan bahkan depresi. Tentunya setelah mempelajari bagaimana PTM berlangsung di negara tetangga dan dengan pemikiran yang matang,
Baca Juga: Pemuda dan Pahlawan TerdidikPemerintah Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri telah mengeluarkan peraturan mengenai PTM yaitu dimulai secara bertahap pada sekolah-sekolah dengan tenaga pendidik sudah divaksinasi lengkap. Pemerintah juga memberikan kebebasan bagi orangtua atau wali untuk memutuskan apakah anak diizinkan untuk sekolah tatap muka atau tidak. Dalam SKB 4 menteri, pemerintah sudah mengatur bagaimana seharusnya PTM dilakukan di sekolah; dari jarak antar siswa di kelas harus minimal 1,5 meter, protokol kesehatan wajib (memakai masker 3 lapis atau masker bedah, mencuci tangan, dan etika batuk), hingga kapan boleh kembali dibukanya kantin dan berlangsungnya kegiatan ekstrakurikuler.
Pemerintah juga sudah merancang surveilans dan deteksi kasus yang menjadi dampak dari PTM. Bila dalam pelaksanaannya ditemukan kasus Covid-19 maka sekolah tatap muka dihentikan sementara. Pengalaman sekolah tatap muka di Denmark memang terkesan sangat ideal untuk bisa diterapkan di Indonesia.
PTM diselenggarakan sedemikian rupa sehingga tetap aman bagi murid-murid dan adanya temuan kasus hanya mengisolasi satu kelompok kecil saja dan tidak serta-merta langsung menghentikan kegiatan belajar mengajar satu sekolah. Akan tetapi, perlu diingat bahwa penerapan sistem bubble ini akan memerlukan banyak sekali tenaga pendidik, sementara jumlah guru hanya sekitar 2,4 juta untuk total 45 juta pelajar se-Indonesia berdasarkan statistik Kemendikbud tahun ajaran 2020/2021. Ini berarti harus ada minimal 4,5 juta tenaga pendidik sebelum Indonesia bisa mengadopsi sistem bubble untuk PTM. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan kemampuan masing-masing daerah yang bervariasi, penerapan PTM menjadi tantangan tersendiri yang menuntut sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri, dan kita, sebagai warga negara, untuk turut aktif dan kreatif dalam menyukseskan PTM yang efektif dan aman.( dr. Ditia Gilang Shah Putra Rahim, SpA, Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Administrasi RS FKM UI)
Tinggalkan Balasan