AMBON, Siwalimanews – Ditreskrimum Pol­da Maluku telah berupaya maksi­mal mengungkap­kan kasus dugaan pelecehan seksu­al Bupati Maluku Te­nggara, M Taher Hanubun, namun sa­yangnya saksi-saksi yang dipa­nggil tidak kooperatif.

“Tentu keberhasilan pengungka­pan kasus ini juga tergantung dari bagaimana keinginan dan koope­ratifnya pelapor berdasarkan bukti-bukti yang cukup untuk bisa diti­ngkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan,” ungkap Kabid Humas Polda Maluku, Kombes M Rum Ohoi­rat dalam rilisnya kepada Siwalima, Rabu (14/9) malam.

Tak kooperatif para saksi ini, lanjut Ohoirat, membuat penyidik Ditres­krimum mengalami kendala dalam menuntaskan kasus dugaan pele­cehan seksual yang dilaporkan TSA terhadap terlapor, Bupati Maluku Tenggara.

TSA merupakan, eks karyawan Café Again milik orang nomor satu di Kabupaten Malra itu pada 1 September 2023.

Dengan kondisi tersebut, Kabid Humas mengaku penyidik memiliki sejumlah kendala diantaranya, be­lum diperiksanya para saksi terma­suk pemeriksaan tambahan kepada pelapor.

Baca Juga: Terdakwa Pornografi Divonis 2,6 Tahun Penjara

“Kendala lainnya yaitu belum dilanjutkannya pemeriksaan psi­kiatri terhadap pelapor karena pe­lapor melalui pengacara mengaju­kan surat pernyataan menolak di­lakukan pemeriksaan psikiatrikum lanjutan,” katanya.

Selain itu, hingga saat ini pe­nyidik tidak dapat berkomunikasi dengan pelapor karena pihak ke­luarga tidak mau mempertemu­kan. Sehingga sampai saat ini penyidik tidak mengetahui kebe­radaan pelapor.

“Penyidik sudah sangat mak­simal dalam hal pendampingan terhadap pelapor, penyidik juga mendapat hambatan dari ayah pelapor yang dengan marah me­nolak pendampingan terhadap putrinya. Hambatan dan tidak kooperatifnya pelapor dan keluarga pelapor juga dirasakan dan disak­sikan langsung oleh pendamping Otte Patty yang selama ini ber­gabung dan ikut langsung bersama penyidik dalam tim pengungkapan kasus ini,” tuturnya.

Dalam memproses kasus ter­sebut, Kabid Humas menegaskan penyidik juga memperhatikan ketentuan Undang-Undang TPKS yaitu Pasal 22 antara lain menye­butkan penyidik, penuntut umum dan hakim melakukan pemerik­saan terhadap saksi, korban tetap menjunjung tinggi HAM, kehor­matan, martabat tanpa intimidasi.

“Polda Maluku merasa simpati kepada pelapor sebagai seorang wanita yang datang melaporkan kasus itu. Sejak awal kami sudah berusaha mengungkap kasus ini karena menghormati dan melindu­ngi yang bersangkutan sebagai wanita yang mencari keadilan,” ujarnya.

Polda Maluku, lanjut Ohoirat, sedari awal ingin mengungkap ka­sus ini secara terang benderang. Namun Polda juga menyayangkan pelapor mencabut laporannya dan sudah tidak lagi kooperatif dalam proses-proses hukum yang se­mentara berjalan.

“Penyidik tetap menghormati hak pelapor tetapi seharusnya koope­ratif karena pelapor sendiri yang mengangkat kasus dan mela­por­kan secara resmi untuk ditindak­lan­juti, dan kemudian menjadi so­rotan masyarakat luas,” sebutnya.

Kabid Humas menambahkan, Polda juga mendorong agar pen­cabutan perkara tidak hanya melalui surat tapi juga hadir se­cara resmi baik pelapor dan keluar­ganya, atau penasihat hukumnya ke Polda untuk dibuatkan berita acara pencabutan laporannya, sehingga jelas alasan pencabutan kasusnya tersebut.

Dijelaskan, penyidik Ditreskri­mum Polda Maluku telah mela­kukan gelar perkara kasus dugaan kekerasan seksual dengan terla­por Bupati Maluku Tenggara, MTH.

Gelar perkara tersebut dipimpin Irwasda Maluku, Kombes Pol Mar­thin Hutagaol. Turut hadir Direktur Reskrimum, Kabid Humas dan pe­jabat lainnya beserta para penyidik, di Mapolda Maluku, Rabu (13/9).

Kabid Humas mengungkapkan, sejak dilaporkan di SPKT Polda Maluku, perkara itu langsung ditangani sebagaimana laporan-laporan polisi lainnya.

Polda Maluku menepis asumsi dan opini yang mengatakan Polda lambat, karena sejak awal penyidik PPA langsung bertindak berdasar­kan protap dan tahapan pena­nganan kasus sesuai UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

“Penanganan juga dilakukan dengan melibatkan langsung Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Anak yang menunjuk saudari Otte Patty dalam pendampingan terhadap pelapor,” ujar Kabid Humas dalam rilisnya kepada Siwalima, Rabu (13/9) malam.

Kapolda sejak awal, lanjut Kabid, mengingatkan dan menekankan agar semua ditangani dengan transparan, sesuai aturan hukum dan menghargai hak hukum baik pelapor maupun terlapor.

“Tentu keberhasilan pengung­kapan kasus ini juga tergantung dari bagaimana keinginan dan kooperatifnya pelapor berdasarkan bukti-bukti yang cukup untuk bisa ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan,” ujarnya.

Selanjutnya, setelah dilaporkan pelapor pada Jumat (1/9), penyidik langsung melanjutkan dengan pemeriksaan visum et repertum ke Rumah Sakit Bhayangkara Ambon. Pelapor selanjutnya dilakukan wawancara oleh penyidik.

Selanjutnya, pada Sabtu (2/9) diterbitkan surat perlindungan sementara kepada pelapor yang berlaku selama 14 hari. Penyidik langsung melakukan perlindungan dan pendampingan kepada TSA atau pelapor.

“Jadi sejak dilaporkan, Dirkri­mum langsung menerbitkan Surat Perintah Nomor 392 tanggal 2 September 2023 tentang perlindungan dan pendampingan sementara kepada pelapor TSA. Penyidik ke­mudian setiap hari melakukan pendampingan,” tutur Ohoirat.

Setelah itu, lanjut Kabid, penyidik melakukan beberapa hal yaitu  Senin (4/9) membuat administrasi pe­nyelidikan, membuat surat un­dangan kepada empat saksi; dan penyidik berencana membawa pelapor melakukan visum psikia­trikum, namun pelapor dalam kon­disi sakit sehingga tidak dapat dilaksanakan.

“Pada hari Selasa (5/9) saksi-saksi yang diundang tidak meme­nuhi undangan. Penyidik juga mem­buat surat kepada RSKD Ambon untuk pelaksanaan visum psikia­trikum terhadap pelapor,” jelasnya.

Kemudian pada Rabu (6/9) pe­nyidik kembali membuat undangan ke­dua kepada empat saksi untuk di­mintai keterangan pada Jumat (8/9).

“Pada tanggal 6 September ini penyidik juga menerima surat per­mohonan pencabutan laporan po­lisi dari pelapor TSA,” ungkapnya.

Kendati demikian, proses pe­nyelidikan terus berjalan. Pada Kamis (7/9) penyidik menjemput pelapor untuk membawanya men­jalani pemeriksaan psikiatrikum (MMPI) di RSKD. Hasilnya invalid dan akan dilanjutkan pada tanggal (8/9) namun pihak keluarga me­minta untuk dilaksanakan tanggal 9 September.

“Pada hari Kamis ini penyidik juga menyerahkan undangan wawancara klarifikasi kedua kepada 5 saksi dan pelapor,” tuturnya.

Dari undangan yang dikirim ter­sebut, lanjut Kabid Humas, pada Jumat (8/9) hanya kakak kandung pelapor yang memenuhi undangan wawancara klarifikasi. Sementara pelapor, hingga orang tuanya tidak hadir. Pemeriksaan kakak pelapor juga sudah dituangkan dalam Berita Acara Wawancara (BAW).

“Pada hari yang sama yaitu Ju­mat, kuasa hukum pelapor Malik Tuasamu menemui Kasubdit 4 Re­nakta Ditreskrimum Polda Maluku dan penyidik pembantu untuk me­nyerahkan surat pernyataan pe­la­por menolak melanjutkan peme­rik­­saan visum psikiatrikum,” ujar­nya.

Di hari yang sama tersebut, sambung Kabid Humas, penyidik juga menyampaikan undangan wawancara klarifikasi kedua kepada 5 saksi dari pihak keluarga dan pelapor untuk hadir pada Senin (11/9) pukul 09.00 WIT.

Penyidik bahkan berkomunikasi dengan keluarga pelapor terkait pemeriksaan ulang tes psikia­trikum pada Sabtu (9/9). Namun menurut kakak kandung pelapor, adiknya itu (pelapor-red) tidak berada di rumah.

“Pada tanggal (11/9) semua saksi dan keluarga pelapor tidak hadir memenuhi undangan klari­fikasi kedua. Penyidik kemudian melakukan pengecekan dan di­dapati keterangan dari kakak kandung pelapor bahwa, pelapor dan ayahnya sudah berada di Ternate,” jelasnya. (S-10)