AMBON, Siwalimanews – Anggota BPK RI Sulistyo, disebut menerima Rp350 juta, untuk mengamankan status WTP Kabupaten Kepulauan Tanimbar, tahun 2020.

Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan tindak pi­dana korupsi surat perintah perja­lanan dinas fiktif di Badan Penge­lolaan Keuangan dan Aset Daerah, Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

Dalam sidang yang digelar di Ruang Tirta Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (27/11), dipimpin Harris Tewa JPU Kejari Kepulauan Tanimbar menghadirkan dua orang saksi yakni Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Apolonia Laratmase dan Kepala Inspektorat, Jeditya Huwae.

Dalam keterangannya, Huwae mengaku, dirinya merupakan orang yang dimintai untuk mem­bantu mengantarkan uang senilai Rp 350 juta Kepada Sulistyo yang merupakan anggota BPK RI untuk mengamankan WTP tahun 2020 Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

“Benar, saya yang mengantarkan uang Rp 350 juta kepada Sulistyo, Anggota BPK RI Bidang Pengendali Teknis Tim Audit, karena mereka yang minta. Saya antar di Hotel Biz di Ambon setelah diantar kepada saya oleh Saksi Albyan Touwelly,” akui Huwae.

Baca Juga: Jaksa akan Hadirkan Dua Pejabat KKT di Pengadilan

Dikatakan, uang Rp 350 juta itu sebagai pemulus untuk meraih predikat wajar tanpa pengecualian tahun 2020.

“Benar, mereka sendiri yang meminta saya untuk memfasilitasi pertemuan dengan Kepala BPKAD Jonas Batlayeri. Katanya, tolong bantu kami,” ujar Huwae.

Setelah itu, majelis hakim meng­konfrontir keterangan Huwae dengan terdakwa Yonas Batlayeri selaku Kepala BPKAD Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

Terdakwa mengaku nilainya Rp 450 juta tetapi terjadi tawar-menawar hingga persetujuan diangka Rp 350 juta.

“Apa yang disampaikan pak Edi (Kepala Inspektorat-red) tidak benar soal nilainya. Yang diminta awal adalah Rp 450 juta akan tetapi saya sampaikan bahwa apakah tidak terlalu mahal, lalu jawab Sulistyo, kalau gitu bisa dikurangi sehingga kami setuju diangka Rp 350 juta. Hari itu dan besoknya, saya perintahkan Sekretaris, Maria Gorety untuk siapkan dan Albyan Touwelly yang mengantarkan,” beber terdakwa.

Selanjutnya, majelis hakim, Ant­honius Sampe Samine mengatakan, tindakan BPK sebagai lembaga audit yang bersih ternyata dilakukan dengan cara-cara kotor.

Ia pun bertanya kepada Huwae, apakah tindakan BPK RI ini salah atau benar. Huwae pun menjawab bahwa itu tindakan yang salah.

“Jika model seperti ini maka tindakan audit yang mesti dilakukan supaya bersih ternyata dilakukan dengan cara kotor,” ujar hakim.

Anthony Hatane, selaku kuasa hukum terdakwa pun bertanya ke­pada Huwae, apakah daerah meng­alami defisit? Huwae pun mengaku, jika saat itu sementara defisit. “Ia benar, alami defisit,” jawab Huwae.

Sementara itu Saksi Apolonia Laratmase membantah semua per­nyataan saksi Albian dan Jonas Batlayeri Cs.

Menurut Apolonia, dirinya tidak pernah di tahun 2020 diantarkan uang senilai Rp 450 juta atau ber­komunikasi dengan Jonas Batlayeri, Cs.

Ditanya soal nilainya, Ketua Komisi B Tanimbar itu mengaku senilai Rp 90 juta kemudian ditambah Rp 10 juta di tahun 2021.

“Memang pernah tetapi itu tahun 2019 dan nilainya Rp. 90 juta dan ditahun 2021 tambahan 10 juta bagi kami partai pendukung,” terangnya.

Dalam sidang tersebut juga terungkap nama-nama terbaru anggota DPRD turut menikmati uang korupsi SPPD fiktif, sehingga kuasa hukum terdakwa minta majelis hakim untuk dapat memerintahkan JPU menghadirkan mereka.

“Majelis hakim yang mulia, kami minta untuk nama-nama yang dise­butkan sebelumnya seperti, Jaflaun Batlayeri, Markus Atua, Wan Lek­runa dan Ivone K Sinsu untuk dihadirkan dalam persidangan tetapi ada juga anggota DPRD yang menerima juga sehingga harus dihadirkan,” tandasnya.

Mereka yang turut menerima uang korupsi BPKAD ialah, Godlief Si­letty, Ambrosius Rahanwatty, Dedi­son Titirloloby, Fredek Kormpaulun dan Samuel Lilimwelat. Ada juga wartawan-wartawan yang terima harus dihadirkan juga.

Mendengar permintaan kuasa hukum, hakim langsung perintahkan JPU untuk melist nama-nama pene­rima uang tersebut.

“Pak jaksa, tolong list semua nama-nama yang terima untuk di­hadirkan pada sidang tanggal 4 Desember nanti. Tidak perduli dia siapa, kami tidak peduli, harus dihadirkan. Jika mereka tidak hadir, jaksa tolong kurung selama 14 hari jika melawan perintah pengadilan,” tegas Hakim Harris Tewa.

Usai mendengarkan keterangan ke­dua saksi, sidang kemudian ditun­da hingga Senin (4/12),dengan agen­da mendengarkan keterangan saksi.

Beberkan Peran

Diberitakan sebelumnya, JPU Kejari Tanimbar, Stendo B Sitania, mengungkapkan peran enam terdak­wa yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi anggaran perjalan dinas pada BPKAD Kabupaten Kepulauan Tanimbar di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (11/10) lalu.

Enam pejabat BPKAD Kabupaten Kepulauan Tanimbar  tersebut yaitu, Yonas Batlayeri, Kepala BPKAD Tahun 2020, Maria Gorety Batlayeri, Sekretaris BPKAD tahun 2020, Yoan Oratmangun, Kabid Perbendaharaan BPKAD Tahun 2020, Liberata Malir­masele Kabid Akuntansi dan Pelapo­ran BPKAD tahun 2020, Letharius Erwin Layan, Kabid Aset BPKAD tahun 2020 dan Kristina Sermatang, Bendahara BPKAD tahun 2020.

Persidangan tersebut dipimpin majelis hakim yang diketuai Harris Tewa didampingi dua hakim anggo­ta, Wilson Shriver dan Antonius Sampe Samine. Sementara para terdakwa didampingi kuasa hukum­nya Anthony Hatane Cs.

JPU Kejari Tanimbar Stendo B Sitania dalam dakwaannya menje­laskan, tindak pidana yang dilaku­kan para terdakwa terjadi pada awal Januari sampai Desember 2020.

Saat itu anggaran perjalanan dinas sebesar Rp9 miliar lebih dikelola para terdakwa untuk membiayai  perja­lanan dinas dalam daerah maupun di  luar daerah.

Namun, atas perintah pimpinan anggaran itu digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Akibatnya atas perbuatan 6 terdakwa itu, ne­gara mengalami kerugian keuangan negara sebesar Rp.6.682.072.402.

Dari nilai kerugian tersebut ter­nyata ada nama anggota Komisi B DPRD Kabupaten Kepulauan Tanim­bar yang menerima uang sebesar 450 juta, dan beberapa anggota DPRD yang tak disebutkan namanya menerima sejumlah uang dan pihak lainnya.

Kata JPU, saat dilakukan pemba­hasan APBD Perubahan 2020 di bulan November 2020, terjadi deadlock belum ada kesepakatan terkait rancangan APBD Perubahan yang diajukan oleh pemerintah daerah.

Beberapa hari kemudian, Saksi AL, salah satu anggota DPRD Ka­bu­paten Kepulauan Tanimbar da­tang menemui terdakwa Jonas Batlayeri di Kantor BPKAD dan saat itu saksi menjelaskan bahwa kapasitas sebagai perwakilan ang­gota DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar menyampaikan “Jika ingin APBD Perubahan 2020 segera dite­tapkan maka diminta untuk me­nyiap­kan uang sejumlah Rp400.000.000 dan saat itu karena dana yang ter­sedia hanya Rp200.000.000.”

Terdakwa kemudian menyam­paikan kalau permintaannya sebesar itu tidak mampu dipenuhi, akhirnya saksi mau dan sepakat dengan Rp200.000.000 tersebut.

Selanjutnya, terdakwa berkon­sultasi dengan sekda dan setelah mendapat persetujuan untuk menye­rahkan dana tersebut, kemudian terdakwa mengarahkan sekretaris untuk menyerahkan uang Rp200. 000.000 tersebut kepada saksi AL dan penyerahan uang tersebut dilakukan kediamanan saksi di Desa Olilit Saumlaki.

Kemudian sekitar bulan Desember 2020, saat itu terjadi deadlock/belum ada kesepakatan terkait rancangan APBD Induk 2021 yang diajukan oleh Pemkab KKT, beberapa hari kemudian, saksi menemui terdakwa kembali di Kantor BPKAD dan menjelaskan bahwa kapasitas sebagai perwakilan anggota DPRD KKT.

Saksi menyampaikan jika ingin APBD Induk 2021 segera ditetapkan maka saksi meminta untuk menyiap­kan uang sejumlah Rp250.000.000 dan atas permintaan tersebut ter­dakwa menyetujuinya.

Selanjutnya, terdakwa menga­rahkan sekretaris yakni Maria Go­rety Batlayeri untuk menyerahkan uang Rp250.000.000 tersebut kepada saksi dan penyerahan uang tersebut dilakukan kediaman saksi di Desa Olilit Saumlaki.

Uang sejumlah Rp450.000.000 tersebut seluruhnya diambil dari anggaran kegiatan perjalanan dinas pada BPKAD Tahun Anggaran 2020 yang bersumber dari anggaran perjalanan dinas yang dikelola oleh sekretaris dan masing-masing bi­dang, yang dalam teknik pengum­pulannya dikoordinir langsung oleh Saksi Maria Goretty selaku sekre­taris dan saksi Kristina Sermatang selaku bendahara pengeluaran ber­dasarkan arahan terdakwa selaku Kepala Badan.

Selain itu sebagian anggota DPRD yang tak disebutkan nama nama mereka juga menerima sejumlah uang sekitar 195 juta dan pihak lainya.

Terhadap hal itu, JPU menjerat para terdakwa dengan  dakwaan primair, pasal  2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Un­dang Nomor 31 Tahun 1999 seba­gaimana diubah dan ditambah dengan Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Serta dakwaan subsider, Pasal 3 Jo. Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Usai membacakan dakwaan, hakim ketua dengan tegas dan lantang meminta para  terdakwa agar buka-bukaan menyangkut soal aliran dana kepada pihak-pihak yang diduga  terlibat dalam menikmati anggaran tersebut.

“Saya ingatkan kepada para ter­dakwa ya, kalian harus buka-bukaan. Ada anggota DPRD terima Rp200 juta ya. Saya minta kalian harus buka di sini, kalau tidak kalian salah orang. Saya ingatkan itu. Kalian ini sudah tergelincir sebenarnya. Tapi tidak apa-apa, buka saja lah. Mau bupati terima atau sapa terima uang, buka saja, kalau kalian tidak buka kalian salah orang,” tandas ketua majelis hakim.

Usai mendengarkan dakwaan JPU, majelis hakim kemudian menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda eksepsi/keberatan dakwaan JPU dari kuasa hukum terdakwa. (S-26)