RUU Sisdiknas dan Kepekaan
PERUBAHAN masyarakat yang dinamis, dari pola relasi konvesional dengan pertemuan fisik menyertai kebermaknaan dan produktivitas menuju serbahibrida, digital, dan mobile, dan tidak selalu mensyaratkan pertemuan fisik, tetapi tetap memiliki output produktif, lalu diakselerasi secara radikal oleh pandemi covid-19, membuat dunia pendidikan kita tergagap dalam mengikuti perubahan yang serbadisruptif ini. Sebagaimana ditegaskan Charles Darwin: “It is not the most intellectual of the species that survives; it is not the strongest that survives; but the species that survives is the one that is able best to adapt and adjust to the changing environment in which it finds itself.” Kita memang perlu bergerak adaptif dan bergerak cepat dalam merespons perubahan, tetapi ini tidak mudah diterapkan di dunia pemerintahan yang penuh jejaring peraturan dan jebakan akuntabilitas. Itu bukan berarti dunia birokrasi antiinovasi dan perubahan. Namun, ada logic tersendiri yang perlu diikuti agar perubahan yang diharapkan dapat diterapkan dan betul-betul membawa common good untuk kemaslahatan masyarakat luas. Di samping itu, di dunia pemerintahan, apalagi pada sektor pendidikan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pelibatan masyarakat dalam setiap perumusan kebijakan merupakan hal mutlak yang tidak boleh dilewatkan.
Peta jalan Saat ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) menggulirkan pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Namun, disayangkan, pembahasan peta jalan pendidikan sebelumnya dihentikan dan melompat ke pembahasan RUU Sisdiknas. Padahal, peta jalan sangatlah penting untuk menjadi kompas bersama akan ke mana arah pendidikan kita. Bagaimana mungkin RUU Sisdiknas yang akan menjadi rujukan hukum dirumuskan tanpa adanya peta jalan yang menunjukkan akan dibawa ke mana pendidikan kita? Dalam dunia kebijakan pendidikan, ada asas irreversible, yang mana ketika kebijakan diambil dan dilaksanakan, akan sangat sulit untuk menariknya kembali. Bisa dibayangkan, ketika sebuah kebijakan dirumuskan dengan tergesa dan ternyata implementasinya membawa dampak luas yang tidak diharapkan, akan sulit untuk memperbaikinya. Pembahasan uji publik RUU Sisdiknas juga sangat singkat, terkesan tergesa-gesa dan tidak sepenuhnya terbuka untuk masyarakat luas. Tidak setiap yang diundang mendapatkan akses penuh kepada dokumen yang akan dibahas.
Para pemangku kepentingan tidak cukup punya waktu untuk mempelajarinya secara mendalam terlebih dahulu lalu menyampaikannya pun dalam sesi yang terlalu singkat. Padahal, banyak rancangan pasal-pasal yang problematik. Beberapa kebijakan jalan pintas yang berpotensi bermasalah secara hukum juga dapat kita telusuri. Salah satunya, Kemendikbud-Ristek menggulirkan kebijakan memberikan pilihan tiga penggunaan kurikulum. Pilihan pertama, Kurikulum 2013 secara penuh. Pilihan kedua, kurikulum darurat, yaitu Kurikulum 2013 yang disederhanakan. Pilihan ketiga, Kurikulum Merdeka. Namun, kementerian menerbitkan Permendikbud-Ristek No 7/2022 yang menyebutkan permendikbud sebelumnya sudah dicabut, dengan demikian pengunaan Kurikulum 2013 menjadi tidak ada dasar hukumnya. Dengan demikian, sebenarnya sudah ada paksaan untuk menggunakan Kurikulum Merdeka. Sementara itu, tidak semua sekolah siap menggunakannya, hanya beberapa yang mengikuti Program Sekolah Penggerak.
Disparitas Disparitas kualitas pendidikan di Indonesia juga masih sangat nyata. Lalu, bagaimana sekolah di daerah terpencil memilih dan menerapkan pilihan kurikulumnya? Mereka tentu tidak akan mampu memilih yang terbaik terlebih dalam kondisi pandemi saat ini. Padahal, seorang fisikawan Amerika Bill Frist mengatakan, “Every child should have the opportunity to receive a quality education.” Semangat luhur dan mulia itu tentu sama diyakini kita semua. Dengan demikian, dalam situasi darurat pandemi saat ini, tentunya lebih bijak menerapkan kebijakan tunggal Kurikulum 2013 yang disederhanakan dengan protokol kesehatan masih akan memengaruhi proses and output pedagogi yang berlangsung. Berikutnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 57 tentang Standar Nasional Pendidikan dan PP No 4 /2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang mengembalikan kemandirian sebuah badan standar nasional pendidikan. Namun, Kemendikbud-Ristek mengeluarkan Permendikbud-Ristek No 4/2022 tentang Standar Kompetensi Lulusan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah dan Permendikbud-Ristek No 7/2022 tentang Standar Isi pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah. Seharusnya, badan standar nasional pendidikan yang mandiri dibentuk terlebih dulu sebagaimana amanah peraturan pemerintah.
Sebagaimana kita temui di negara maju, sebuah badan standardisasi hendaknya bersifat independen. Sebagai contoh, di dalamnya lamannya disebutkan bahwa ‘International Organization for Standardization (ISO) is an independent, non-governmental international organization with a membership of 167 national standrads bodies’. Di Amerika, ada United States Board of Education Standardization (USBES) yang memberikan akreditasi kepada institusi pendidikan, kaum profesional, dan individu dengan tujuan memberikan quality assurance. Merumuskan standar secara sepihak oleh kementerian, bukan oleh badan yang mandiri, terlebih dalam waktu singkat tanpa proses penelaahan yang komprehensif dan pelibatan publik yang memadai, tentu berpotensi memberikan pengaruh bagi kualitas pendidikan kita. Dalam situasi pandemi yang belum usai, Kemendikbud-Ristek perlu memiliki kepekaan nurani untuk sementara menghentikan pembahasan RUU Sisdiknas dan berbagai kebijakan jalan pintasnya.
Baca Juga: Etika dalam Penelitian Tindakan KelasPembaruan UU Sisdiknas memang diperlukan, kurikulum juga perlu untuk terus dikembangkan, tetapi belum untuk situasi darurat saat ini. Yang sangat dibutuhkan saat ini ialah ikhtiar pendampingan bagi para guru dan siswa dalam upaya memulihkan learning loss di masa pandemi yang dampaknya sangat berat bagi dunia pendidikan kita, baik untuk saat ini maupun masa yang akan datang. oleh: Nurani Alpha Amirrachman Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan Koordinator Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia
Tinggalkan Balasan