Resiliensi Sistem Pangan dan Pertanian
KETANGGUHAN sistem pangan dan pertanian Indonesia kembali mendapat cobaan berat. Setelah sempat menjadi bantalan (cushion) krisis ekonomi karena gempuran pandemi covid-19, sistem pangan dan pertanian ternyata tidak cukup tangguh dalam menghadapi kekeringan ekstrem El-Nino pada 2023. Kekeringan ekstrem yang melanda hampir seluruh sentra produksi di Indonesia telah berdampak sangat buruk pada sistem produksi pertanian, khususnya beras sebagai pangan pokok.
Mengacu pada tiga dimensi penting ketahanan pangan – ketersediaan, aksesibilitas dan utilisasi pangan – fenomena El-Nino 2023 memengaruhi ketiganya. Kekeringan ekstrem itu telah menurunkan produksi beras signifikan atau mempengaruhi ketersediaan pangan. Estimasi produksi pangan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan metode kerangka sampel area (KSA) menunjukkan bahwa produksi padi turun lebih dari 1 juta ton atau 2,26%, yaitu dari 54,75 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2022 menjadi 53,51 juta ton pada 2023. Produksi jagung turun 2 juta ton lebih atau 12,50%, yaitu dari 16,53 juta ton jagung pipilan kering (JPK) 2022 menjadi 14,46 juta ton pada 2023.
Penurunan produksi tersebut juga telah memengarahui aksesibilitas pangan karena harga beras meningkat sangat signifikan. Data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Bank Indonesia menunjukkan bahwa harga beras telah naik Rp2.150/kg selama setahun terakhir atau naik 17,13%, yaitu dari Rp12.550/kg pada akhir 2022 menjadi Rp14.700/kg pada akhir 2023. Harga jagung di tingkat konsumen, termasuk sebagai pakan ternak, naik Rp900/kg atau 13,43%, yaitu dari Rp6.700 pada akhir 2022 menjadi Rp7.600/kg pada akhir 2023.
Kasus ketidaktangguhan sistem produksi pangan pokok tersebut, seakan menjadi contoh betapa cukup fragil-nya sistem pangan dan pertanian Indonesia. Sistem pangan dikatakan tidak tangguh atau tidak resiliensi, jika hanya dengan gangguan kejutan (shock) sedikit, justru menimbulkan dampak yang cukup besar. Bahkan, hingga memengaruhi kebekerjaan suatu sistem sosial-ekonomi masyarakat yang telah lama terbangun.
Penurunan produksi dan kenaikan harga pangan pokok juga memengaruhi tingkat utilisasi atau pemanfaatan pangan. Kenaikan harga beras mengurangi tingkat diversifikasi konsumsi pangan, khususnya mengurangi konsumsi sayuran dan buah-buahan, yang telah telanjur mahal. Kenaikan harga jagung memengaruhi harga pakan ternak, berdampak sangat signifikan pada harga daging dan telur ayam sehingga memengaruhi kualitas konsumsi dan pemenuhan gizi masyarakat.
Baca Juga: Taubat Ekologis: Ikhtiar Hadirkan Keadilan PembangunanIndikator paling nyata dari buruknya pemanfaatan pangan ini adalah beban gizi ganda (double-burden malnutrition) yang terjadi di Indonesia, yaitu fenomena balita stunting (pendek) terjadi bersamaan dengan fenomena gizi lebih atau kegemukan (obesitas) pada orang dewasa. Bahkan, sekitar 68% dari penduduk Indonesia tidak mampu mengakses pangan sehat dan bergizi (Lihat Arifin, 2023).
Artikel ini menganalisis tingkat resiliensi atau ketangguhan dari sistem pangan dan pertanian Indonesia, dalam merespons beberapa perubahan yang berlangsung sangat cepat, baik secara internal maupun eksternal. Rekomendasi perubahan kebijakan untuk mewujudkan resiliensi sistem pangan dan pertanian masa mendatang menutup artikel ini.
Kinerja ekonomi pangan
Kinerja ekonomi pangan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari belum stabilnya kinerja pertumbuhan semua subsektor dalam sektor pertanian dalam arti luas. Ketika ekonomi makro mengalami kontraksi atau tumbuh negatif 2,07% pada 2020 atau puncak pandemi covid-19, sektor pertanian tumbuh positif 1,75%. Pemulihan ekonomi kini telah terjadi, walaupun belum terlalu baik. Pertumbuhan ekonomi naik menjadi 3,69 dan 5,31% pada 2021 dan 2022. Kinerja pertumbuhan sektor pertanian juga meningkat menjadi 1,84 dan 2,25% pada 2021 dan 2022. Akan tetapi, pada 2023, pertumbuhan ekonomi makro mencapai sekitar 5%, pertumbuhan sektor pertanian ternyata di bawah 2%.
Kinerja subsektor tanaman pangan masih mengalami kontraksi sepanjang 2023, atau menjadi subsektor yang paling terpukul karena kekeringan ekstrem El-Nino. Subsektor hortikultura telah mulai mencatatkan pertumbuhan positif pada kuartal 3 (Q3-2023), setelah sebelumnya mengalami kontraksi. Subsektor perkebunan dan peternakan telah tumbuh positif pada 2023, walau belum cukup tinggi.
Kinerja kelapa sawit dan perunggasan yang mulai membaik ikut berkontribusi pada pertumbuhan positif dua subsektor penghasil pangan strategis tersebut. Subsektor jasa pertanian akan mengalami pertumbuhan positif pada 2023, walau tidak terlalu besar. Kinerja sektor perikanan dan kehutanan sudah mulai pulih dan diperkirakan akan mencatatkan pertumbuhan positif pada 2023.
Salah satu persoalan serius pada sistem produksi padi Indonesia ialah sangat tingginya disparitas produktivitas menurut wilayah. Sebagian besar sentra produksi di Jawa dan Sumatra mampu menghasilkan produktivitas di atas 6 ton/ha, seperti yang tersebar di 38 kabupaten/kota di Jawa plus sebagian di Aceh, Sumatra Utara, dan Lampung. Demikian pula di Sulawesi, sebagian daerah mampu menghasilkan produktivitas padi 5-6 ton/ha, sebagian 4-5 ton/ha, dan sebagian lagi 3-4 ton/ha. Ada beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatra yang masih menghasilkan produktivitas padi di bawah 3 ton/ha.
Program pengembangan lumbung pangan skala (food estates) di daerah-daerah berproduktivitas rendah tersebut, tentu tidak dapat diharapkan segera menghasilkan tambahan produksi pangan dalam waktu singkat, apalagi tidak menggunakan inovasi tekologi produksi dan pertanian presisi seperti dipersyaratkan.
Pemerintah telah mencoba menjaga ketersediaan stok pangan untuk menjaga stabilisasi harga, dan mengurangi risiko sosial-ekonomi dan politik. Perum Bulog telah ditugaskan untuk mengimpor beras 2 juta ton sejak prakiraan El-Nino pada Maret 2023. Keputusan itu sempat menimbulkan kontroversi karena bersamaan dengan musim panen padi.
Hingga akhir 2023, impor beras yang telah masuk ke Indonesia diperkirakan mendekati 3 juta ton, suatu rekor tertinggi sejak 2018 yang mencapai 2,3 juta ton. Impor beras jumlah besar senantiasa muncul menjelang pemilu, suatu fenomena ekonomi politik yang menarik untuk dibedah lebih dalam.
ndonesia sebenarnya sedang mengadopsi dan mengembangkan sistem pangan dan pertanian berkelanjutan yang komprehensif, meliputi kegiatan sistem produksi, pengolahan, distribusi, perdagangan, dan sistem konsumsi pangan. Akan tetapi, proses adaptasi dan pengembangan sistem pangan dan pertanian itu masih perlu waktu lama untuk menjadi lebih stabil, dan menciptakan suatu keteraturan sistem yang dapat diprediksi dan dianalisis secara komprehensif. Pemerintah mendatang perlu serius mewujudkan adaptasi dan transformasi sistem pangan dan pertanian menjadi lebih modern, tangguh, dan berkelanjutan.
Rekomendasi perubahan kebijakan
Perubahan kebijakan berikut perlu dilakukan untuk mewujudkan resiliensi sistem pangan dan pertanian ke depan.
Pertama, pembangunan sistem pangan dan pertanian yang berdaya saing dan inovatif, dengan alokasi anggaran penelitian dan pengembangan (research and development/R&D) yang memadai.
Strategi itu diperlukan untuk mengembangkan ekosistem inovasi melalui sinergi dan kemitraan pemerintah, dunia usaha, akademik, dan masyarakat madani. Prioritas dapat diberikan pada peningkatan produktivitas pangan dan pertanian, yang lebih berkelanjutan melalui penggunaan input kimia yang lebih rendah dan pemberdayaan petani kecil.
Kedua, penguatan sistem dan manajemen cadangan pangan di pusat, daerah, dan masyakarat melalui pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi, skema kemitraan UMKM dengan usaha besar yang lebih beradab dan menguntungkan. Prioritas dapat diberikan pada pengembangan pangan beragam, bergizi, sehat, aman (B2SA), dan terjangkau, kerja sama antardaerah (KAD), terutama daerah sentra produksi dan sentra konsumsi pangan, untuk mencapai kemandirian pangan secara bermartabat.
Ketiga, penguatan hilirisasi pangan dan pengembangan pangan fungsional yang lebih komprehensif. Prioritas dalam penguatan hilirisasi pangan dan pangan fungsional ini wajib mempertimbangkan potensi sumber daya dan kearifan lokal, untuk meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja baru, dan berkontribusi pada pengembangan wilayah dan ekonomi lokal.
Hilirisasi industri pangan mensyaratkan kepastian hukum dan iklim usaha kondusif dalam suatu tata guna lahan, juga kejelasan zonasi, keseimbangan ekologis dalam pemanfaatan sumber daya berkelanjutan, berbasis Satu Data Indonesia yang lebih terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi yang lebih luas. (*)
Tinggalkan Balasan