TENTU saja berbeda antara identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political of identity). Yang pertama merujuk pada keadaan subjek pada sebuah komunitas politik, dengan beralaskan identitas untuk menegaskan jati diri dan memperjuangkan kepentingan bersama yang diyakininya bisa membawa perbaikan bagi publik. Sementara itu, politik identitas sebagaimana ditulis Agnes Heller adalah gerakan politik yang perhatian utamanya diacukan pada perbedaan sebagai suatu kategori politik. Perbedaan sebagai garis penegas untuk membuat blok yang berhadapan satu dengan lainnya. Pakar politik dari Universitas Duke, Donald L Morowitz (1999), menjelaskan politik identitas ialah pemberian distingsi untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak.

Politik identitas sebagai siasat untuk mengental­kan garis kawan dan lawan, siapa yang menjadi ba­gian dariku dan mana yang menjadi kelom­pokmu. Cressida Heyes (2007) mendefinisikan politik identitas sebagai penandaan aktivitas politik dalam pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalaman ketidakadilan yang dialami anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial tertentu. Politik identitas dianggap penting untuk semakin mengokohkan ‘keakuan’ sekaligus menisbahkan bahwa ‘orang lain’ tidak penting karena tidak terhubung dengan ‘keaslian’, ‘bukan pribumi’, ‘tidak seagama’, dan lain seba­gainya.

Politik identitas menjadi jalan efektif dalam memobilisasi besar-besaran mereka yang dipandang sehaluan demi meraih keuntungan politik dan ekonomi. Sering kali dijadikan sebagai pemanipulasi kesadaran dalam meraup politik elektoral. Parsudi Suparlan memaknai politik identitas harus dilekatkan pada konsep identitas itu sendiri, atau disebut juga sebagai jati diri. Menurutnya, identitas atau jati diri adalah pengakuan terhadap seorang individu atau suatu kelompok tertentu yang dikaitkan dengan serangkaian ciri-ciri tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh yang menandainya masuk satu kelompok atau golongan tertentu (2004).   Menimba identitas Dari mana identitas itu berasal? Minimal tiga pintu masuk yang menjadi sumur identitas yang dilekatkan pada politik. Pertama, diperoleh secara alamiah begitu saja dan langsung menempel pada seseorang atau sebuah kelompok (primordialisme). Kedua, identitas yang dibentuk secara sosial dan sengaja dikonstruksi untuk sebuah kepentingan (konstruktivisme). Ketiga, identitas yang direkayasa dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk melanggengkan motif para elite (instrumentalisme).

Dalam konteks lebih luas ‘identitas’ itu, biasanya dibelah dalam dua kategori utama. Pertama, identitas sosial dan kedua, identitas politik. Identitas sosial meliputi identitas keagamaan, kelas, ras, etnik, gender, dan seksualitas, se­dangkan identitas politik meliputi nasionalitas dan kewarganegaraan.

Agama dan nasionalisme  Dalam latar keindonesiaan, sejak Indonesia dirumuskan terutama oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia/Dokuritsu Junbii Chosakai) sampai hari ini, identitas yang sering kali mengharu biru dan terus melakuan kontestasi, negosiasi, dan terkadang konfrontasi ialah identitas keagaman dan nasionalisme. Sebuah kategori yang tidak sepenuhnya menggambarkan realitas, tetapi selalu tampil ke permukaan, tentu saja, dengan banyak kepentingan di belakangnya. Dialektika kelahiran Pancasila mulai 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 yang melahirkan Piagam Jakarta, sampai kemudian disahkan PPKI (Komite Persiapan Kemerdekaan Indonesia), pada 18 Agustus 1945, mencerminkan upaya bagaimana para pendiri bangsa itu melakukan percakapan yang panjang dalam upaya menempatkan secara tepat agama pada ruang publik kenegaraan, di satu sisi, dan di sisi lain bagaimana nasionalisme yang menjadi roh kebangsaan tidak kemudian menganulir keberadaan agama. Saya kira, disepakatinya Pancasila sebagai falsafah negara harus dibaca sebagai jalan tengah untuk menjem­batani antara kutub identitas agama dan identitas nasionalisme. Atau, dalam istilah Bung Karno “…nasionalisme di dalam kelebaran dan keluas­annya, mengasih tempat cinta pada lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu, yang perlu untuk hidupnya, segala hal yang hidup … nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam roh’ …” Soekarno menempatkan agama (Islam) pada kedalaman sumur spiritualisme (api) dan nasio­nalisme sebagai alas negara tidak semestinya mengurus salah satu agama saja, sebagaimana agama menjadi tidak tepat kalau sampai melakukan intervensi terhadap urusan profan negara. Kata Bung Karno, “. . . Agama itu perlu dimerdekakan dari asuhannya supaya menjadi subur.

Baca Juga: Revisi UU Pajak dan Gaduh PPN Sembako

Kalau Islam terancam bahaya pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus pemerintah, tetapi justru diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintahan. Hal ini adalah suatu halangan besar sekali buat kesuburan Islam di Turki, dan bukan saja di Turki, tetapi di mana-mana saja, karena pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ menjadikan ia satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan.”   Untuk kebaikan bersama Tentu, baik identitas sosial atau pun identitas politik dibangkitkan kembali bukan untuk menciptakan biopolitik yang ekslusif. Namun, justru sebaliknya, politik identitas itu harus digeser menjadi identitas politik yang produktif dan mengarah ke upaya perwujudan masyarakat sipil yang berkeadaban. Keragaman agama, budaya, dan etnik menjadi alasan utama untuk memperkaya keindonesiaan yang heterogen. Suku, agama, rasa, dan antar­golongan (SARA) sebagai fakta sosial yang semestinya menjadi akar yang kian mengukuhkan kenusantaraan.

Politik identitas tidak berbahaya selama semua berangkat dari semangat integrasi bangsa dan menguatkan sendi-sendi bernegara, dengan Pancasila hadir sebagai ideologi yang menjadi titik temu, titik tumpu, dan titik tujunya. Menjadi menarik hasil temuan riset Founding Fathers House (FFH) dan Surabaya Survey Center (SSC) bahwa mayoritas publik tidak setuju menjadikan isu SARA sebagai amunisi dalam kontestasi politik pilkada, pilgub, dan pilpres. Sebuah temuan yang kian menegaskan masyarakat yang semakin dewasa dalam melihat peristiwa politik lengkap dengan dinamika yang mengitarinya. oleh: Asep Salahudin Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya dan Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat.