Rame-rame Praktisi Media Kecam
AMBON, Siwalimanews – Langkah Gubernur Maluku, Murad Ismail dengan melaporkan Harian Pagi Siwalima ke polisi mendapat kecaman keras dari insan pers di negeri ini.
Tokoh-tokoh pers menilai Murad Ismail sebagai pejabat publik atau pejabat negara menunjukan arogansi kekuasaannya untuk mengkriminalisasi pers.
Padahal sesungguhnya ada mekanisme atau jalur yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa dengan pers.
Asosiasi Media Saiber Indonesia (AMSI) Wilayah Maluku dan Maluku Utara mengecam keras langkah gubernur.
Dalam rilisnya Rabu (28/4), AMSI menyatakan sikap yakni, mendesak pejabat pemerintah atau warga negara yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa untuk menggunakan mekanisme penyelesaian yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Baca Juga: Caketum Kadin Indonesia Berinvestasi di MalukuCaranya dengan mengirimkan permintaan hak jawab maupun koreksi ke media terkait. Jika tidak mendapat respon yang diharapkan, silahkan mengadukan masalahnya ke Dewan Pers.
“Sejak era reformasi 1998, inilah mekanisme yang telah disepakati secara hukum untuk menyelesaikan sengketa pers tanpa mengganggu independensi media, maupun kebebasan pers,” tegas Ketua AMSI Maluku dan Maluku Utara, Hamdi Jempot.
Hamdi meminta, Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease menyelesaikan masalah laporan Murad Ismail yang juga Gubernur Maluku kepada Siwalimanews.com lewat jalur sengketa pers sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers pasal 15 ayat 2 (c).
Selain itu, meminta Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease untuk berkoordinasi dengan Dewan Pers atas penanganan laporan Murad Ismail, yang juga Gubernur Maluku lewat kuasa hukumnya.
Hal ini merujuk pada MoU Dewan Pers dan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017 Nomor : B/15/II/2017 tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
Dalam MoU itu disebutkan, aparat kepolisian apabila menerima pengaduan dugaan perselisihan/sengketa pers dengan masyarakat mengarahkan yang berselisih atau pengadu untuk melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang, mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke Dewan Pers.
Koordinasi aparat kepolisian dengan Dewan Pers, karena Dewan Pers yang akan menilai dan menyimpulkan pemberitaan media tersebut tindak pidana atau pelanggaran kode etik jurnalistik.
“Kami minta sengketa gubwrnur dengan Harian Pagi Siwalima diselesaikan lewat mekanisme UU Pers,” tegas Hamdi.
Hal yang sama juga diungkapkan, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Maluku, Dino Umahuk.
Dino mengatakan, polisi seharusnya tidak menerima laporan Murad Ismail, mengingat MoU Polri dengan Dewan Pers.
‘Mestinya kalo ada laporan atau pengaduan terkait karya jurnalistik, polisi menyarankan kepada pelapor atau pengadu itu untuk menggunakan mekanisme UU Pers. Kan Murad juga tidak menyampaikan hakn jawabnya. Karena itu dalam kasus ini UU Pers harus dikedepankan,” jelas Dino.
JMSI kata Dino sangat menyayangkan langkah gubernur lapor Siwalima ke polisi.
“Kita sangat sayangkan langkah lapor media massa ke polisi. Harusnya gunakan hak jawab sesuai mekanisme pers,” kata Dino.
Ditempat berbeda, mantan Kabag Humas Pemprov Maluku, Boby Palapia menyayangkan langkah yang diambil gubernur dengan mempolisikan media.
Menurutnya, seharusnya bagian humas Pemprov Maluku berperan aktif karena lebih memahami kerja media, sehingga jalur yang bisa ditempuh yaitu menggunakan hak jawab atau koreksi sebagai Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Ya humas memberikan pemahaman bagaimana kerja dari jurnalis, karena humas bersama-sama dengan media, sehingga jalur hak jawab harus lebih awal dilakukan, selanjutnya laporkan ke dewan pers jika media tidak membuat hak jawab atau hak koreksi,” ujarnya.
Murad Arogan
Praktisi Hukum, Rony Samloy juga menyayangkan sikap arogansi Murad Ismail.
“Memang benar hak melapor adalah hak konstitusi seseorang ketika orang tersebut merasa dirugikan. Akan tetapi dalam ranah pers sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi hak yang disediakan dalam konteks sengketa pers adalah hak jawab, hak koreksi,” sebut Samloy
Menùrutnya, bagi khalayak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan sebuah perusahaan pers in casu surat kabar harian, harian umum dan nomenklatur lainnya, sepanjang hak jawab atau hak koreksi tidak dimanfaatkan orang yang merasa dirugikan karena pemberitaan pers dan langsung dilakukan upaya hukum melaporkan media massa tersebut ke pihak kepolisian, maka itu dapat dikualifisir dalam dua hal. Pertama, jika itu dilakukan masyarakat awam, maka langkah itu merupakan bagian dari pelampiasan ketidaktahuannya tentang prosedur atau mekanisme penyelesaian sengketa pers.
Kedua, jika itu dilakukan seorang pejabat publik atau pejabat negara, maka itu perwujudan dari arogansi kekuasaan yang ingin mengkriminalisasi pers.
Sangat ironis kata Samloy, jika seorang pejabat publik tidak memahami bagaimana jalan keluar menyelesaikan sengketa pers.
Seharusnya seorang pejabat publik yang tidak alergi kritik menempuh mekanisme pers untuk menyelesaikan sengketa pers melalui norma teknis menggunakan hak jawab di media bersangkutan pada halaman dan kolom serupa.
“Nah, jika hak jawab tidak dilayani masih ada prosedur secara hirarki dengan melaporkan media massa tersebut ke Dewan Pers untuk menguji apakah media yang dipolisikan itu melanggar kode etik jurnalistik atau tidak. Sepanjang belum ada keputusan Dewan Pers sesuai amanat Pasal 15 ayat (2) huruf b dan c UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers oleh media yang dipolisikan, maka upaya memidanakan media massa tersebut adalah kekeliruan besar dan bagian dari pembungkaman kemerdekaan pers sesuai Pasal 15 ayat (2) huruf b dan c UU No.40 tahun 1999 tentang Pers,” jelasnya.
Samloy yang juga praktisi pers ini menegaskan, pers tetap berdiri di atas kepentingan umum. Pers adalah mata, telinga dan mulut publik.
Olehnya memidanakan pers dengan mengacu pasal 310 ayat 1 KUHP adalah keliru sebab pada pasal 310 ayat 3 secara eksplisit menempatkan pers sebagai Lex spesialis dan memiliki hak imunitas.
Dasar memidanakan pers dengan MoU Dewan Pers, Kepolisian RI dan lembaga lain tidak dapat dijadikan norma khusus, karena sifat MoU itu tidak dalam kedudukan Lex specialis dari UU Pers yang sifatnya Lex spesialist
“Tugas media yang dipolisikan adalah membuktikan seluruh pemberitaan dengan data dan fakta yang valid dan benar,” pungkasnya.
Selain itu, mantan Ketua Maluku Media Center Vonny Litamahuputty mengatakan, sikap Gubernur Maluku yang secara langsung melaporkan media kepada kepolisian merupakan bentuk pengekanan kebebasan pers.
“Tindakan gubernur telah mengekang kebebasan pers ketika ada pemberitaan,” ujarnya
Menurutnya, gubernur seharusnya menggunakan hak-hak yang telah diatur dalam UU Pers salah satunya hak jawab yang nantinya dimuat pada media yang bersangkutan bukan langsung melaporkan.
Litamahuputty lantas mempertanyakan ada apa dibalik sikap gubernur yang melaporkan media ke pihak kepolisian. “Sebenarnya apa dibalik sikap gubernur seperti ini,” tanya Litamahuputty.
Gubernur katanya, tidak perlu merasa takut dengan pemberitaan yang dilakukan oleh media, karena UU Pers telah menyediakan sarana untuk melakukan hak jawab atau hak koreksi.
Anti Kritik
Sejumlah OKP menilai sikap Gubernur Maluku Murad Ismail Anti kritik terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh media harian pagi Siwalima.
Ketua GMKI Cabang Ambon Jose Tiven menilai yang dilakukan sama dengan tindakan kriminalisasi Pers
Hal ini menandakan bahwa Gubernur Maluku anti kritik. main lapor tanpa melihat mekanisme yang dapat ditempuh terlebih dahulu dengan mengunakan hak jawab dan hak koreksi terhadap pemberitaan yang dilakukan.
“Kalau sampai hari ini dirinya merasa bahwa media menyampaikan informasi yang tidak benar, kan ada mekanismenya untuk menanggapi jika merasa bahwa pemberitaan tersebut merugikan nama baik. Yaitu, bisa melalui hak jawab untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitan. Ataupun pengaduan ke dewan pers.
“langkah yang di ambil oleh gubernur dan tim hukum untuk melapor Siwalima ke polisi, ini adalah hal yang keliru.Ini terkesan karena punya kekuasaan sehingga melakukan segala cara karena memiliki kekuasaan,” katanya.
Ia menambahkan, tim hukum harus profesional, jangan hanya ikut perintah dengan alur yang dibuat padahal salah mekanisme. (S-32/S-50/S-51)
Tinggalkan Balasan