Rame-rame Kecam Kadis
Tuding Warga tak Paham Soal Limbah B3
AMBON, Siwalimanews – Warga dinilai tidak memahami mekanisme pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, yang berbeda dengan tempat pembuangan akhir.
Pemprov Maluku menuding sikap penolakan warga Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah terkait dengan rencana pembangunan insinerator untuk pengelolaan limbah B3, tidak berdasar dan terkesan belum memahami mekanisme dan prinsip kerja insinerator.
Demikian diungkapkan Kadis Lingkungan Hidup Roy Corneles Siauta dalam rilisnya yang diterima redaksi Siwalima, Rabu (27/10).
Kadis menyebutkan, prinsip kerja insinerator tidak dapat disamakan dengan tempat pembuangan sampah, karena memiliki perbedaan dalam pengoperasinya.
“Perlu kami jelaskan bahwa rencana pembangunan yang terlaksana di Desa Suli, adalah pembangunan fasilitas pengelolaan Limbah B3 medis berupa insinerator, bukan pembangunan tempat pembuangan akhir sampah,” jelas kadis.
Baca Juga: Simposium Akuntansi Harus Hasilkan Calon ProfesionalKata dia, Insinerator adalah alat pembakaran untuk mengolah limbah padat yang mengkonversi materi padat menjadi materi gas dan abu (botton ash dan fly ash).
Prinsip kerja insinerator katanya, adalah sebagai tempat pembakaran tertutup dengan suhu tinggi (> 800R” C) sehingga bahan yang dibakar tidak dapat didaur ulang lagi.
Dia menjelaskan, proses pengelolaan limbah B3 medis dengan insinerator limbah adalah dikemas dan ditutup/diikat rapat sejak dari sumber untuk kemudian dilakukan permusnahan melalu tahapan proses incinerasi pembakaran pada insinerator yaitu, satu mula-mula membuat kandungan air yang masih ada dalam limbah menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering yang akan siap terbakar pada suhu 105R” C.
Dua, selanjutnya terjadi proses pirolisis yaitu pembakaran tidak sempuran. Dimana temperatur belum terlalu tinggi 105R”C-300R”C.
“Dengan demikian pemberitaan tentang adanya pencemaran sumber air di lokasi kegiatan adalah tidak benar. Fasilitas yang dibangun adalah insinerator bukan TPA sampah dan sistem pengelolaan insinerator sebagai TPA limbah B3 adalah keliru. Dan tidak berdasar secara ilmiah,” ujar kadis.
Dilanjutnya, pembangunan fasilitas pengelolaan limbah menggunakan insinerator yang berlokasi di Desa Suli diperuntukan untuk pembangunan limbah B3 medis dari fasilitas pelayanan kesehatan di Provinsi Maluku.
Pembangunan ini merupakan kebijakan pemerintah sebagai upaya penanggulangan keadaan kedaruratan masa pandemi Covid-19 yang telah ditetapkan sebagai bencana non alam.
Ditetapkan dalam Keppres No. 12 tahun 2020 tentang penetapan Bencana Non Alam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional.
“Mengingat tingginya tingkat penyebaran Covid-19 yang mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah limbah B3 medis termasuk limbah Covid-19 yang harus dikelola, sehingga tidak memperpanjang mata rantai virus Covid-19, dan mengingat pula Provinsi Maluku tidak memiliki insinerator dengan kapasitas memadai untuk pengelolaan limbah dimaksud, serta kondisi wilayahnya yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang rentan terhadap pencemaran dan jauh dari pusat pengelolaan yang berada di Pulau Jawa, maka Pemerintah Pusat memprioritaskan Provinsi Maluku untuk membangun fasilitas dimaksud,” jelas dia.
Menurutnya, limbah B3 medis dari fasilitas pelayanan kesehatan yang diproses dalam insinerator adalah barang atau sisa hasil yang tidak digunakan kembali. Informasi yang beredar di masyarakat bahwa lokasi tersebut akan dijadikan TPA sampah yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan adalah tidak benar.
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup sebagaimana telah diubah dengan UU No 11 Tahun 2019 tentang Cipta Kerja, setiap usaha dan atau kegiatan yang berdampak penting bagi lingkungan wajib memiliki dokumen lingkungan. dengan demikian terhadap rencana pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 medis di Negeri Suli, wajib dilengkapi dengan dokumen lingkungan.
Dalam konteks ini terkait dengan pembangunan tersebut, maka Provinsi Maluku telah dilakukan sesuai dengan amanat lampiran 1 PemneLHK 04 tahun 2021 yang mana untuk kegiatan pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 medis termasuk dalam jenis kegiatan konstruksi bangunan yang wajib UKL-UPL.
Sedangkan untuk operasional fasilitas pengelolaan limbah B3 medis dengan menggunakan insenerator termasuk kegiatan yang wajib AMDAL. Sehingga sebelum pengoperasian fasilitas tersebut akan didahului dengan penyusunan dokumen AMDAL.
Kadis Siauta juga menuding kajian akademik yang dibuat oleh Majelis Pekerjaan Harian Sinode GPM, sangat tidak didasari pada kajian ilmiah. Hal ini terbukti dengan objek yang dikaji maupun pendapat ahli dan teori-teori yang dipakai adalah dalam konteks untuk pembangunan TPA sampah.
“Perlu disampaikan pula bahwa sebelum MPH Sinode GPM mempublikasikan hasil evaluasi lapangan dan kajian akademiknya di media, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku telah menyampaikan dan mengklarifikasi hal-hal sebagaimana dijelaskan dalam rilis diatas kepada tim kajian MPH Sinode tanggal 11 Oktober 2021 melalui Pdt Vicky Kainama antara lain, tentang rencana kegiatan, jenis limbah dan sistim penangganannya. kronologis pemindahan lokasi kegiatan. Proses penyusunan dokumen lingkungan, pelaksanaan keterbukaan informasi kepala masyarakat melalui kegiatan sosialisasi,” bebernya.
Kecam
Tudingan Siauta kalau penolakan warga Suli, tidak berdasar dan terkesan belum memahami mekanisme dan prinsip kerja insinerator, menuai kecaman warga.
Ketua Aliansi Peduli Lingkungan Masyarakat Suli, Mon Luhulima mengecam pernyataan Kadis LH.
Kata dia, pihaknya sangat memahami dan mengetahui pengelolaan limbah B3 dan TPA Sampah. Sehingga pernyataan kadis bahwa warga Suli menolak merupakan hal yang tidak mendasar karena warga memahami sebagai TPA sampah justru sangat keliru.
Ia mengecam pernyataan tersebut dan meminta agar proyek ini dialihkan ke lokasi lain karena sangat berdampak buruk bagi masyarakat.
“Kami tetap tolak. Pernyataan kadis sangat keliru, kami sangat paham soal TPA Sampah dan limbah B3 medis, dan pikiran-pikuran penolakan yang kami sampaikan sangat mendasar,” kecamnya.
Katanya, pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 medis harus sesuai dengan aturan jangan cacat prosedural. Apalagi masyarakat Suli secara keseluruhan tidak dilibatkan dalam sosialisasi sehingga kehadiran pembangunan yang sudah berjalan 10 persen ini harus dikaji lagi, dan dialihkan ke lokasi lain.
“Di situ dekat dengan pemukiman warga, lokasi kampus UKIM, kompleks Rindam, fasilitas umum, tempat wisata. Masyarakat sangat kena dampaknya,” cetusnya.
Di sisi yang lain, masyarakat Suli juga tidak pernah mengetahui soal AMDAL, bahkan dokumen UPL dan UKL tidak diketahui.
“Di Suli ada 57 RT, sosialisasi yang dilakukan hanya dengan 30 RT dengan alasan covid, sementara waktu itu juga tidak semua RT hadir, ini saja tidak maksimal,” tuturnya sembari menambahkan warga Suli tetap menolak pembangunan tersebut.
Ia mempertanyakan Pemprov mendapatkan izin dari siapa untuk membangun pengelolaan limbah B3 medis. Karena tidak ada transparansi terkait pembangunan ini.
“Kami aliansi mempertanyakan dari Pemerintah Negeri Suli terkait soiapa yang memberi izin pembangunan tempat pengelolaan B3, namun pemerintah desa tidak mengetahui dan melepaskan tangan dari proyek ini,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Rina Putunela mengaku pihaknya sangat paham soal perbedaan limbah B3 dan TPA sampah.
“Pak kadis kira kami tidak paham soal limbah B3 dan TPA sampah. Minimal hal-hal kecil kami paham. Sosialisasi yang digelar tanggal 14 Juli lalu hanya libatkan 30 RT, sementara di Suli ada 57 RT. Jika Dinas LH beralasan karena Covid, ini juga kami tidak terima karena awal-awal muncul Covid itu baru ya, tetapi saat kondisi sudah mulai normal saat aktivitas sudah mulai berlangsung kan bisa disosialisasi beberapa tahap supaya RT bisa sampaikan ke warganya, ini kan tidak jadi tiba-tiba proyek sudah dikerjakan,” tuturnya.
Ia menegaskan, SDM di Suli sangat tahu dan warga Suli bukan warga yang berada di wilayah pedalaman yang tidak memahami limbah B3 dan TPA Sampah. Sehingga pernyataan Kadis LH Provinsi Maluku sangat tidak tepat dan keliru.
“Di Suli SDM banyak, ada S1, S2. S3. Apalagi perkembangan iptek saat ini bisa dengan cepat dicari sumber-sumber informasi itu. Kami sangat paham perbedaan TPA sampah dan limbah B3. Kami tetap tolak,” tegasnya.
Sedangkan warga lainnya, Feery Pieris juga menyesalkan pernyataan kadis yang justru tidak mendasar.
Jangan Cari Pembenaran.
“Bagaimana beliau katakan warga pahami itu TPA sampah. Kita paham, sekarang inikan teknilogi sudah maju hanya dengan jari saja kita bisa mengakses untuk mencek pengelolaan tersebut,” ujarnya.
Dia menilai, Kadis LH hanya cari pembenaran dengan alasan warga memahami pengelolaan limbah B3 medis sebagai TPA Sampah, karena warga sangat tahu itu berbeda.
“Beta pikir pernyataan pak kadis ini cari pembenaran. Karena yang kami menolak itu sangat mendasar., teknologi makin canggih, TPA Sampah dan limbah B3 medis berbeda, masalah ini terjadi pengelolaan limbah B3 medis, tidak transparan, lahan sebelum dibongkar itu ada lahan minyak kayu putih yang warga disekitar lahan pengelolaan limbah B3 itu 90 persen hidup dari situ, jika dipaksanakan untuk bangun maka itu sangat berdampak,” tegasnya.
Dia menilai, pemprov tidak transparan dalam rencana pembangunan poengelolaan limbah B3. Dan lahan sebelum dibongkar sudah ada lahan minyak kayu putih yang lumayan besar dan lahan itu digunakan sebagai mata pencaharian masyarkat pengungsi Banda dan pengungsi dari Leihutu.
“Yang sangat disayangkan kok bisa membangun di lokasi itu, saya bukan orang ahli Kimia, tetapi kita bisa tahu kalau gas emisi dibuang dan kalau emisi saat beracun keluar tidak 110 persen disaring melalui proses luikuidasi. Cairkan dalam bentuk cair baru masuk ke IPAL. Nanti IPAL itu mau masuk ke tanah atau ke mana kita tidak tahu, tetapi yang jalan yang keluar lewat udara itu masih banyak emisi, keluar itu oke lah 35 meter mereka bilang, tetapi waktu keluar 35 meter pada saat keluar ada hujan atau gerimis, dan jatuh di daun-daun menempel dan didaun-dayun disarut kalau orang Kimia bilang di sarut maka proses sulingnya itu langsung masuk di taruh dalam dandang di masak, bayangkan saja semua karbonmonoksida dan dan saat-saat beracun masuk ke situ lalu otomatis dia menguap bersama dengan air dengan komponen minyak kayu putih itu sendiri, tersuling masuk, dan proses penyulingan itu kan pisahkan air dengan minyak, dan saat itu menempel di minyak. Itu kalau jatuh di tanaman dan sayur-sayur yang ada disitu, kan ada kebun sayur, kalau hewan langsung makan sayur itu, karena itu banyak kita banyak artikel yang tolak insinator ini karena ditakutkan masalah ini,” katanya.
Ia lalu meminta Siauta untuk tidak membodohi masyarakat dan pihaknya tetap menolak pembangunan tersebut.
Copy Paste di UKL UPL
Kepala Biro Lingkungan Hidup MPH Sinode, Vecky Kainama mengakui jika dokumen upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL), merupakan dokumen copy paste, karena penyesuaian dokumen dari dokumen yang lain.
“Makanya ada beberapa poin yang lupa diedit sehingga ketahui copy paste,” ungkap Kainama.
Menurutnya, terhadap persoalan ini pihaknya telah selesai melakukan telaah lapangan terhadap dokumen dan telah diserahkan kepada MPH Sinode untuk dilakukan langkah secara organisasi.
“Temuan dan telaah beta serahkan kepada MPH untuk melakukan tindakan selanjutnya yang dinyatakan dalam petisi yang diekspos ke publik,” tegasnya.
Majelis Pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku, sudah merilis penolakan terhadap proyek tersebut. Penolakan itu didasari dokumen UKL UPL yang diterima dari Dinas Lingkungan Hidup Maluku.
Dengan UKL UPL yang diterima, GPM lalu melakukan kajian mendalam, terhadap proyek yang rencananya menghabiskan anggaran Rp7,7 miliar, kemudian dijabarkan secara terlulis dalam dokumen resmi yang bertajuk Evaluasi Lapangan dan Dokumen UKL UPL Pembangunan TPA Limbah B3 Fasilitas Kesehatan Provinsi Maluku di Suli, Kabupaten Maluku Tengah.
Dalam dokumen yang salinannya juga diterima Siwalima, dijelaskan kalau sikap GPM itu didasari kajian dan evaluasi terhadap dokumen UKL UPL proyek dimaksud, dimana ditemukan adanya pelanggaran pada ketentuan dan peraturan yang berlaku, diantaranya indikasi ada copy-paste pada dokumen UKL UPL tersebut.
Sikap GPM yang ditandatangani oleh Ketua Sinode Pendeta ET Maspaitella dan Sekum Pendeta SI Sapulette, dengan gamblang menulis adanya tindakan copy-paste yang dilakukan, dimana pada lembaran dokumen, tertulis daftar tabel rencana kerja pembukaan lahan Tanaman Pisang Abaka, tapi di isi dokumen tidak terdapat informasi tentang daftar tabel tersebut, apalagi substansi dokumen tidak berhubungan dengan pembukaan lahan Tanaman Pisang Abaka. Artinya dokumen tersebut tidak melalui proses penilaian atau pemeriksaan.
Karenanya, Sinode GPM berkesimpulan dokumen UKL UPL tersebut, tidak sesuai pemeriksaan standar PPLH. Dimana berdasarkan PP. 22 Tahun 2021, pemrakarsa harus mengajukan perubahan dokumen ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta.
“Sinode GPM menilai proyek tersebut tidak harus diteruskan, karena memiliki dampak yang merugikan masyarakat dan lingkungan hidup secara tetap dan dalam waktu yang panjang. Di sisi yang sama, pembangunan tersebut akan berdampak langsung pada proses pencerdasan sumber daya manusia Maluku, melalui Kampus UKIM, Suli yang sedang dalam proses pembangunan”.
Untuk itu, Sinode GPM meminta Pemprov Maluku melakukan langkah yang tidak berdampak pada pelanggaran ketentuan hukum yang berlaku, dan semata-mata menimbulkan efek jangka panjang kepada derita masyarakat.
“Artinya, pembangunan TPA B3 fasilitas kesehatan di Suli, telah menyalahi seluruh ketentuan peraturan yang berlaku sehingga tidak harus diteruskan. Pemerintah perlu mencari lokasi lain dengan ketentuan menjalankan secara prosedural sejak awalnya mekanisme yang diwajibkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” tegas GPM. (S-19)
Tinggalkan Balasan