AMBON, Siwalimanews – Forum Komunikasi Pengusaha Mardika (FKPM) menilai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku  tidak transparan dalam menunjukan PT Bumi Perkasa Timur (BPT) sebagai pemenang lelang pengelola ruko pertokoan Mardika Ambon.

“Kami yang tergabung dalam FKPM Ambon yang memiliki ang­gota 260 orang saat ini sedang ber­masalah dengan Pemprov Maluku terkait status hukum terhadap objek tanah dan bangunan Pertokoan Mardika. upaya yang dilakukan oleh kami untuk mendaatkan informasi terkait penunjukan PT BPT sebagai pemenang lelang pengelola Ruko Pertokoan Mardika, tidak ditanggapi oleh Pemprov Maluku,” ungkap Ketua FKPM Ambon, Mustari Muhammat, kepada wartawan, di Ambon, Rabu (7/12).

Dijelaskan, kepemilikan atas ta­nah dan bangunan Pertokoan Mardika adalah sah secara hukum karena diproses sesuai aturan dan keten­tuan yang berlaku, melalui jual beli dengan akta notaris maupun melalui proses lelang oleh Kantor Lelang Negara (KPKNL).

“Kami punya akta jual beli dengan PT BPT yang dibuat oleh notaris/PPAT atas pembelian bangunan, kami punya surat jual beli dibawah tangan dengan PT BPT atas pembe­lian bangunan, kami punya sertifikat SHGB yang dikeluarkan oleh instansi resmi BPN serta kami punya surat rekomendasi Gubernur Maluku terdahulu untuk perpanjangan SH­GB,” jelas Mustari.

Dikatakan, sebelum tahun 2017 proses jual beli yang dilakukan ter­se­but tidak pernah ada pembe­ritahuan terkait status tanah HPL atau larangan dalam bentuk apapun oleh Pemprov Maluku, dengan de­mikian yang membeli saat itu meya­kini bahwa status tanah tersebut adalah SHGB bekas tanah milik badan hukum atas nama PT BPT sehingga menjadi keheranan apabila saat ini baru Pemprov Maluku me­ngklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah HPL milik Pemprov.

Baca Juga: DPRD Warning Dinkes dan RS Haulussy Bayar Hak Nakes

“Selama konflik kerusuhan sosial yang terjadi di Kota Ambon yang mengakibatkan 80 persen bangunan ruko terbakar dan mengalami keru­sakan parah sampai hanya tinggal tiang-tiangnya saja dan yang mem­perbaiki atau membangun kembali adalah kami dengan biaya sendiri yang juga terpaksa harus pinjam di bank sedangkan Pemprov Maluku yang saat ini mengklaim sebagai miliknya tidak ada perhatian sama sekali bahkan kerusakan-kerusakan yang ada, itupun tidak pernah diper­baiki samai saat ini,” beber Mustari.

Menurut Kepala Dispenda Pro­vinsi Maluku, lanjut Mustari, pemutaran uang dan PAD sebesar 70 hingga 80 persen berasal dari Pertokoan Ruko Mardika, padahal sebagian besar pemilik ruko membeli melalui kredit bank dan proses kredipun tidak ada masalah karena semua bank tahu bahwa status tanah tersebut adalah bukan tanah HPL milik Pemprov karena kalau tanah HPL sejak awal pasti permo­honan kreditnya ditolak.

“Pada tahun 2017, Pemprov Ma­luku mengklaim tanah tersebut adalah tanah HPL milik Pemprov dan membuat pemilik ruko menjadi panik karena SHGB tersebut tidak bisa lagi dijaminkan di bank untuk menda­patkan modal usaha dan bank juga melakukan upaya supaya kredir dengan anggu­nan SHGB harus dilunasi atau jaminan SHGB Ruko Mardika ditukar dengan jaminan lain,” ujarnya.

Menjadi pertanyaannya, kata Mustari, bagaimana bisa pembeli awal pada tahun 1987 mendapat fasilitas kredit pinjaman ?, untuk itu pasti ada surat persetujuan jual beli oleh Pemprov yang dilakukan PT BPT kepada pembeli saat itu.

“Harusnya bila Pemprov sejak awal tahun 1987 menganggap status tanah tersebut tetap menjadi milik HPL Pemprov maka kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh Pemprov yakni melakukan pemblo­kiran ke BPN untuk tidak melakukan peralihan hak tanpa persetujuan Pemprov sebagai pemegang HPL sebagaimana diatur dalam UU atau memberikan surat pemberitahuan kepada pemilik atau masyarakat umum terkait status tanah HPL ter­sebut atau juga dengan memasang papan pengumuman tanah HPL di lokasi lahan tersebut sehingga tidak banyak orang yang dirugikan dan dikorbankan,” tandasnya.

Selain itu, mengapa Pemprov tidak melarang notaris/PPAT melakukan AJB/akta jual beli dan melarang BPN Ambon untuk tidak boleh menge­luarkan sertifikat SHGB selama 20 tahun terakhir ini.

“Klaim sepihak yang dilakukan oleh Pemprov telah emngakibatkan kerugian kepada pemilik ruko karena SHGB selain tidak bisa dijaminkan lagi di bank, pemilik ruko juga harus membayar kewajiban kredit atas bangunan ruko yang saat ini diklaim milik Pemprov.

Lebih parah lagi, kata Mustari, masalah antara pemilik ruko dengan Pemprov belum juga selesai dan masih dalam proses hukum di PN Ambon atau status quo, Pemprov secara sewenang-wenang dan tidak prosedur menujuk PT BPT untuk mengatur dan mengelola Ruko Mar­dika dengan cara premanisme de­ngan mengancam, mengintimidasi serta menggembok ruko-ruko sehi­ng­ga orang tidak dapat melakukan usaha lagi.

“Pemilik Ruko telah melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke PTUN pada tanggal 11 Oktober 2022 terkait dengan penun­jukan PT BPT sebagai pengelola Ruko Mardika namun selama proses persidangan dilakukan Pemprov tidak pernah hadir bahkan surat ke­putusan PT BPT sebagai pemenang lelang yang diminta untuk dibawa ke pengadilan juga tidak pernah ditanggapi sehingga terkesan Pem­prov Maluku sengaja untuk me­nyem­bunyikan informasi tentang penunjukan PT BPT yang dikuasa­kan oleh Kipe sebagai Pengelola Ruko Mardika,” cetusnya.

Turut mendampingi Tim Hukum Rudy Mahulette, Naftali Hatulely dan Hendro Waas. (S-08)

 

AMBON, Siwalimanews – Forum Komunikasi Pengusaha Mardika (FKPM) menilai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku  tidak transparan dalam menunjukan PT Bumi Perkasa Timur (BPT) sebagai pemenang lelang pengelola ruko pertokoan Mardika Ambon.

“Kami yang tergabung dalam FKPM Ambon yang memiliki ang­gota 260 orang saat ini sedang ber­masalah dengan Pemprov Maluku terkait status hukum terhadap objek tanah dan bangunan Pertokoan Mardika. upaya yang dilakukan oleh kami untuk mendaatkan informasi terkait penunjukan PT BPT sebagai pemenang lelang pengelola Ruko Pertokoan Mardika, tidak ditanggapi oleh Pemprov Maluku,” ungkap Ketua FKPM Ambon, Mustari Muhammat, kepada wartawan, di Ambon, Rabu (7/12).

Dijelaskan, kepemilikan atas ta­nah dan bangunan Pertokoan Mardika adalah sah secara hukum karena diproses sesuai aturan dan keten­tuan yang berlaku, melalui jual beli dengan akta notaris maupun melalui proses lelang oleh Kantor Lelang Negara (KPKNL).

“Kami punya akta jual beli dengan PT BPT yang dibuat oleh notaris/PPAT atas pembelian bangunan, kami punya surat jual beli dibawah tangan dengan PT BPT atas pembe­lian bangunan, kami punya sertifikat SHGB yang dikeluarkan oleh instansi resmi BPN serta kami punya surat rekomendasi Gubernur Maluku terdahulu untuk perpanjangan SH­GB,” jelas Mustari.

Dikatakan, sebelum tahun 2017 proses jual beli yang dilakukan ter­se­but tidak pernah ada pembe­ritahuan terkait status tanah HPL atau larangan dalam bentuk apapun oleh Pemprov Maluku, dengan de­mikian yang membeli saat itu meya­kini bahwa status tanah tersebut adalah SHGB bekas tanah milik badan hukum atas nama PT BPT sehingga menjadi keheranan apabila saat ini baru Pemprov Maluku me­ngklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah HPL milik Pemprov.

“Selama konflik kerusuhan sosial yang terjadi di Kota Ambon yang mengakibatkan 80 persen bangunan ruko terbakar dan mengalami keru­sakan parah sampai hanya tinggal tiang-tiangnya saja dan yang mem­perbaiki atau membangun kembali adalah kami dengan biaya sendiri yang juga terpaksa harus pinjam di bank sedangkan Pemprov Maluku yang saat ini mengklaim sebagai miliknya tidak ada perhatian sama sekali bahkan kerusakan-kerusakan yang ada, itupun tidak pernah diper­baiki samai saat ini,” beber Mustari.

Menurut Kepala Dispenda Pro­vinsi Maluku, lanjut Mustari, pemutaran uang dan PAD sebesar 70 hingga 80 persen berasal dari Pertokoan Ruko Mardika, padahal sebagian besar pemilik ruko membeli melalui kredit bank dan proses kredipun tidak ada masalah karena semua bank tahu bahwa status tanah tersebut adalah bukan tanah HPL milik Pemprov karena kalau tanah HPL sejak awal pasti permo­honan kreditnya ditolak.

“Pada tahun 2017, Pemprov Ma­luku mengklaim tanah tersebut adalah tanah HPL milik Pemprov dan membuat pemilik ruko menjadi panik karena SHGB tersebut tidak bisa lagi dijaminkan di bank untuk menda­patkan modal usaha dan bank juga melakukan upaya supaya kredir dengan anggu­nan SHGB harus dilunasi atau jaminan SHGB Ruko Mardika ditukar dengan jaminan lain,” ujarnya.

Menjadi pertanyaannya, kata Mustari, bagaimana bisa pembeli awal pada tahun 1987 mendapat fasilitas kredit pinjaman ?, untuk itu pasti ada surat persetujuan jual beli oleh Pemprov yang dilakukan PT BPT kepada pembeli saat itu.

“Harusnya bila Pemprov sejak awal tahun 1987 menganggap status tanah tersebut tetap menjadi milik HPL Pemprov maka kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh Pemprov yakni melakukan pemblo­kiran ke BPN untuk tidak melakukan peralihan hak tanpa persetujuan Pemprov sebagai pemegang HPL sebagaimana diatur dalam UU atau memberikan surat pemberitahuan kepada pemilik atau masyarakat umum terkait status tanah HPL ter­sebut atau juga dengan memasang papan pengumuman tanah HPL di lokasi lahan tersebut sehingga tidak banyak orang yang dirugikan dan dikorbankan,” tandasnya.

Selain itu, mengapa Pemprov tidak melarang notaris/PPAT melakukan AJB/akta jual beli dan melarang BPN Ambon untuk tidak boleh menge­luarkan sertifikat SHGB selama 20 tahun terakhir ini.

“Klaim sepihak yang dilakukan oleh Pemprov telah emngakibatkan kerugian kepada pemilik ruko karena SHGB selain tidak bisa dijaminkan lagi di bank, pemilik ruko juga harus membayar kewajiban kredit atas bangunan ruko yang saat ini diklaim milik Pemprov.

Lebih parah lagi, kata Mustari, masalah antara pemilik ruko dengan Pemprov belum juga selesai dan masih dalam proses hukum di PN Ambon atau status quo, Pemprov secara sewenang-wenang dan tidak prosedur menujuk PT BPT untuk mengatur dan mengelola Ruko Mar­dika dengan cara premanisme de­ngan mengancam, mengintimidasi serta menggembok ruko-ruko sehi­ng­ga orang tidak dapat melakukan usaha lagi.

“Pemilik Ruko telah melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke PTUN pada tanggal 11 Oktober 2022 terkait dengan penun­jukan PT BPT sebagai pengelola Ruko Mardika namun selama proses persidangan dilakukan Pemprov tidak pernah hadir bahkan surat ke­putusan PT BPT sebagai pemenang lelang yang diminta untuk dibawa ke pengadilan juga tidak pernah ditanggapi sehingga terkesan Pem­prov Maluku sengaja untuk me­nyem­bunyikan informasi tentang penunjukan PT BPT yang dikuasa­kan oleh Kipe sebagai Pengelola Ruko Mardika,” cetusnya.

Turut mendampingi Tim Hukum Rudy Mahulette, Naftali Hatulely dan Hendro Waas. (S-08)