TERHITUNG 24 November, kita sudah memasuki masa tenang. Perhelatan Pilkada serentak akan berlangsung 27 November namun tak dapat dipungkiri jika potensi kampanye negatif bisa saja terjadi di masa tenang.

Koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykuruddin Hafidz mengemukakan enam potensi pelanggaran yang dapat terjadi menjelang pemungutan suara. Satu, maraknya ujaran kebencian dan berita hoax di media sosial.

Menurut Masykur, kecepatan kampanye hitam yang dilakukan di me­dia sosial tak bisa diimbangi dengan baik oleh pengawasan Ba­waslu. Yang dilakukan Bawaslu dalam mengawasi penyebaran berita bohong ini tidak bisa menjangkau pelaku penyebar berita bohong. Be­rita bohong menyebar dalam kecepatan diluar kemampuan Bawaslu.

Dua, logistik pemungutan suara yang bermasalah. Pada dasarnya, logistik mesti sampai di kelurahan  tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat kualitas. Logistik tak boleh datang terlambat atau terlalu cepat. Logistik yang datang terlalu cepat menimbulkan tiga potensi yang patut diwaspadai, yaitu, keamanan, tempat penyimpanan yang dikhawatirkan mengurangi kualitas logistik, dan terganggunya independensi penyelenggara pemilu.

Tiga, alat peraga kampanye yang masih muncul di tempat-tempat publik. Untuk mengantisipasi hal ini, masyarakat mesti membantu Bawaslu untuk membersihkan semua alat peraga kampanye di tempat-tempat publik mulai 12 Februari 2017.

Baca Juga: Jangan Siakan Hak Suara

Empat, politik uang. Di daerah dengan kompetisi pasangan calon (pas­lon) yang ketat, politik uang akan semakin tinggi. Masykur menjelaskan bahwa bentuk politik uang saat ini beragam dan terselubung. Lima, potensi masyarakat kehilangan hak pilih akibat penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik sebagai basis data Daftar Pemilih Tetap (DPT). Penyelenggara pemilu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) harus memastikan tak ada satu pun warga yang kehilangan hak pilih karena tak berhasil mendapatkan Surat Keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).

Enam, dana kampanye yang tak transparan. Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon. Modusnya beragam seperti melalui acara pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acara- acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon. Dalih yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah pengganti uang transportasi.

Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri. Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian, sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang. Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi. Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya.

Kegagalan Badan Pengawas Pemilu dalam konteks Gakumdu dalam rangka membawa dugaan politik uang ke ranah hukum menjadi fenomena umum. Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu tidak dapat melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan. Ketiadaan alat bukti menyebabkan penindakan  hukum praktik politik uang gugur di tengah jalan. (*)