Polisi Maksimal Usut Kasus Bupati Malra, Pelapor Hambat
AMBON, Siwalimanews – Ditreskrimum Polda Maluku telah berupaya maksimal mengungkapkan kasus dugaan pelecehan seksual Bupati Maluku Tenggara, M Taher Hanubun.
Kasus ini dilaporkan TSA, eks karyawan Café Again milik orang nomor satu di Kabupaten Malra itu pada 1 September 2023.
Kabid Humas Polda Maluku, Kombes M Roem Ohoirat menjelaskan, penyidik Ditreskrimum Polda Maluku telah melakukan gelar perkara kasus dugaan kekerasan seksual dengan terlapor Bupati Maluku Tenggara, MTH.
Gelar perkara tersebut dipimpin Irwasda Maluku, Kombes Pol Marthin Hutagaol. Turut hadir Direktur Reskrimum, Kabid Humas dan pejabat lainnya beserta para penyidik, di Mapolda Maluku, Rabu (13/9).
Kabid Humas mengungkapkan, sejak dilaporkan di SPKT Polda Maluku, perkara itu langsung ditangani sebagaimana laporan-laporan polisi lainnya.
Baca Juga: Kejati Segera Ekspos Korupsi Simdes BurselPolda Maluku menepis asumsi dan opini yang mengatakan Polda lambat, karena sejak awal penyidik PPA langsung bertindak berdasarkan protap dan tahapan penanganan kasus sesuai UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Penanganan juga dilakukan dengan melibatkan langsung Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Anak yang menunjuk saudari Otte Patty dalam pendampingan terhadap pelapor,” ujar Kabid Humas dalam rilisnya kepada Siwalima, Rabu (13/9) malam.
Kapolda sejak awal, lanjut Kabid, mengingatkan dan menekankan agar semua ditangani dengan transparan, sesuai aturan hukum dan menghargai hak hukum baik pelapor maupun terlapor.
“Tentu keberhasilan pengungkapan kasus ini juga tergantung dari bagaimana keinginan dan kooperatifnya pelapor berdasarkan bukti-bukti yang cukup untuk bisa ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan,” ujarnya.
Selanjutnya, setelah dilaporkan pelapor pada Jumat (1/9), penyidik langsung melanjutkan dengan pemeriksaan visum et repertum ke Rumah Sakit Bhayangkara Ambon. Pelapor selanjutnya dilakukan wawancara oleh penyidik.
Selanjutnya, pada Sabtu (2/9) diterbitkan surat perlindungan sementara kepada pelapor yang berlaku selama 14 hari. Penyidik langsung melakukan perlindungan dan pendampingan kepada TSA atau pelapor.
“Jadi sejak dilaporkan, Dirkrimum langsung menerbitkan Surat Perintah Nomor 392 tanggal 2 September 2023 tentang perlindungan dan pendampingan sementara kepada pelapor TSA. Penyidik kemudian setiap hari melakukan pendampingan,” tutur Ohoirat.
Setelah itu, lanjut Kabid, penyidik melakukan beberapa hal yaitu Senin (4/9) membuat administrasi penyelidikan, membuat surat undangan kepada empat saksi; dan penyidik berencana membawa pelapor melakukan visum psikiatrikum, namun pelapor dalam kondisi sakit sehingga tidak dapat dilaksanakan.
“Pada hari Selasa (5/9) saksi-saksi yang diundang tidak memenuhi undangan. Penyidik juga membuat surat kepada RSKD Ambon untuk pelaksanaan visum psikiatrikum terhadap pelapor,” jelasnya.
Kemudian pada Rabu (6/9) penyidik kembali membuat undangan kedua kepada empat saksi untuk dimintai keterangan pada Jumat (8/9).
“Pada tanggal 6 September ini penyidik juga menerima surat permohonan pencabutan laporan polisi dari pelapor TSA,” ungkapnya.
Kendati demikian, proses penyelidikan terus berjalan. Pada Kamis (7/9) penyidik menjemput pelapor untuk membawanya menjalani pemeriksaan psikiatrikum (MMPI) di RSKD. Hasilnya invalid dan akan dilanjutkan pada tanggal (8/9) namun pihak keluarga meminta untuk dilaksanakan tanggal 9 September.
“Pada hari Kamis ini penyidik juga menyerahkan undangan wawancara klarifikasi kedua kepada 5 saksi dan pelapor,” tuturnya.
Dari undangan yang dikirim tersebut, lanjut Kabid Humas, pada Jumat (8/9) hanya kakak kandung pelapor yang memenuhi undangan wawancara klarifikasi. Sementara pelapor, hingga orang tuanya tidak hadir. Pemeriksaan kakak pelapor juga sudah dituangkan dalam Berita Acara Wawancara (BAW).
“Pada hari yang sama yaitu Jumat, kuasa hukum pelapor Malik Tuasamu menemui Kasubdit 4 Renakta Ditreskrimum Polda Maluku dan penyidik pembantu untuk menyerahkan surat pernyataan pelapor menolak melanjutkan pemeriksaan visum psikiatrikum,” ujarnya.
Di hari yang sama tersebut, sambung Kabid Humas, penyidik juga menyampaikan undangan wawancara klarifikasi kedua kepada 5 saksi dari pihak keluarga dan pelapor untuk hadir pada Senin (11/9) pukul 09.00 WIT.
Penyidik bahkan berkomunikasi dengan keluarga pelapor terkait pemeriksaan ulang tes psikiatrikum pada Sabtu (9/9). Namun menurut kakak kandung pelapor, adiknya itu (pelapor-red) tidak berada di rumah.
“Pada tanggal (11/9) semua saksi dan keluarga pelapor tidak hadir memenuhi undangan klarifikasi kedua. Penyidik kemudian melakukan pengecekan dan didapati keterangan dari kakak kandung pelapor bahwa, pelapor dan ayahnya sudah berada di Ternate,” jelasnya.
Alami Kendala
Dengan kondisi tersebut, Kabid Humas mengaku penyidik memiliki sejumlah kendala diantaranya, belum diperiksanya para saksi termasuk pemeriksaan tambahan kepada pelapor.
“Kendala lainnya yaitu belum dilanjutkannya pemeriksaan psikiatri terhadap pelapor karena pelapor melalui pengacara mengajukan surat pernyataan menolak dilakukan pemeriksaan psikiatrikum lanjutan,” katanya.
Selain itu, hingga saat ini penyidik tidak dapat berkomunikasi dengan pelapor karena pihak keluarga tidak mau mempertemukan. Sehingga sampai saat ini penyidik tidak mengetahui keberadaan pelapor.
“Penyidik sudah sangat maksimal dalam hal pendampingan terhadap pelapor, penyidik juga mendapat hambatan dari ayah pelapor yang dengan marah menolak pendampingan terhadap putrinya. Hambatan dan tidak kooperatifnya pelapor dan keluarga pelapor juga dirasakan dan disaksikan langsung oleh pendamping Otte Patty yang selama ini bergabung dan ikut langsung bersama penyidik dalam tim pengungkapan kasus ini,” tuturnya.
Dalam memproses kasus tersebut, Kabid Humas menegaskan penyidik juga memperhatikan ketentuan Undang-Undang TPKS yaitu Pasal 22 antara lain menyebutkan penyidik, penuntut umum dan hakim melakukan pemeriksaan terhadap saksi, korban tetap menjunjung tinggi HAM, kehormatan, martabat tanpa intimidasi.
“Polda Maluku merasa simpati kepada pelapor sebagai seorang wanita yang datang melaporkan kasus itu. Sejak awal kami sudah berusaha mengungkap kasus ini karena menghormati dan melindungi yang bersangkutan sebagai wanita yang mencari keadilan,” ujarnya.
Polda Maluku, lanjut Ohoirat, sedari awal ingin mengungkap kasus ini secara terang benderang. Namun Polda juga menyayangkan pelapor mencabut laporannya dan sudah tidak lagi kooperatif dalam proses-proses hukum yang sementara berjalan.
“Penyidik tetap menghormati hak pelapor tetapi seharusnya kooperatif karena pelapor sendiri yang mengangkat kasus dan melaporkan secara resmi untuk ditindaklanjuti, dan kemudian menjadi sorotan masyarakat luas,” sebutnya.
Kabid Humas menambahkan, Polda juga mendorong agar pencabutan perkara tidak hanya melalui surat tapi juga hadir secara resmi baik pelapor dan keluarganya, atau penasihat hukumnya ke Polda untuk dibuatkan berita acara pencabutan laporannya, sehingga jelas alasan pencabutan kasusnya tersebut.
Pernyataan JMS
Terpisah sejumlah aktivis, LSM maupun pemerhati kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta pendamping korban saat pelaporan, yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) Kawal UU TPKS dan Gerak Bersama Perempuan Maluku Untuk Kasus Kekerasan Seksual oleh Bupati Malra, menggelar aksi, menuntut pihak kepolisian untuk segera lindungi korban dari intimidasi.
JMS dalam pernyataan sikapnya di Monumen Martha Christina Tiahahu, Selasa (12/9) sore merasa sangat prihatin dengan adanya dugaan intimidasi dari terduga pelaku terhadap korban.
“Tanggal 11 September 2023 pelaku bersiasat menikahi korban secara siri dan memberikan mahar 1 miliar untuk melarikan diri dari pertanggungjawaban hukum. Dalam relasi kuasa yang tidak setara, korban berada dalam keadaan terpaksa menikah dengan pelaku,” ungkap Koordinator aksi, Lusi Peilouw saat membacakan pernyataan sikap.
Dijelaskan, berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menegaskan, pelaku perkawinan paksa dapat dipidana penjara paling lama sembilan tahun.
Dikatakan, pada 1 September 2023, pihaknya mendampingi korban membuat laporan polisi di SPKT Polda Maluku. Polda telah melakukan visum et repertum pada korban dan kasus masuk tahap penyelidikan.
Namun karena korban diduga mengalami intimidasi dari terduga pelaku, maka pada tanggal 6 September 2023 keluarga menyampaikan surat permohonan menarik laporan polisi kepada Polda Maluku.
“Sejak saat itu pula, keluarga tidak bersedia untuk korban didampingi oleh pendamping dan pendamping tidak berkontak sama sekali dengan korban,” paparnya.
Dia menegaskan, kekerasan seksual yang dilakukan oleh terduga pelaku seorang pejabat publik dengan memaksa korban untuk memenuhi hasrat seksualnya terjadi hingga berulang, harus menjadi perhatian bersama sebagai wujud dari urgensi UU TPKS.
Karena itu, JSM Kawal UU TPKS mendesak pertama, Polda Maluku segera berkoordinasi dengan Kapolda Metro Jaya untuk melacak keberadaan korban, lindungi korban dari intimidasi pelaku.
Kedua, pihak kepolisian Maluku tetap melanjutkan proses hukum kasus TSA, segera periksa dan adili Bupati Maluku Tenggara atas kasus perkosaan dan dugaan pemaksaan perkawinan.
Ketiga, pemerintah segera menuntaskan aturan turunan UU TPKS dengan memastikan mekanisme koordinasi dan pemantauan implementasi UU TPKS antara pusat dan daerah, mekanisme layanan terpadu pusat antar pulau atau wilayah, serta mekanisme berjejaring untuk perlindungan korban.
Keempat, mendorong LPSK segera mengintervensi kasus TSA dan berikan perlindungan bagi korban dan pendamping korban. (S-10)
Tinggalkan Balasan