AMBON, Siwalimanews – Polisi memastikan kasus dugaan pelecehan seksual Bupati Maluku Tenggara M Taher Hanubun tetap diproses hingga tuntas.

Demikian ditegaskan Direktur Re­serse Kriminal Umum, Kombes Andri Iskandar, saat menerima perkumpulan Gerakan Bersama Perempuan Maluku, di ruang Kerjanya, Kamis (7/9).

Menurutnya, berdasarkan UU No­mor 12 pasal 23 tentang Tindak Pidana Kekerasaan Seksual, kasus ini tidak dapat diselesaikan diluar peradilan kecuali, pelakunya anak.

“Intinya sikap kita adalah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan. Untuk informasi pencabutan laporan saya belum menerima suratnya, karena itu kita menunggu instruksi Kapolda. Saya juga telah memerintah anak buah untuk melakukan pendampingan kepada korban dan keluarganya,” tegas Iskandar menyikapi informasi kasus tersebut akan dicabut.

Menurutnya, pihaknya telah me­manggil tiga saksi yang meru­pakan rekan kerja korban pada Selasa kemarin, namun mereka tidak hadir dan akan dihadirkan pada Jumat (9/9).

Baca Juga: Akademisi: Tepat Kejati Usut Remunerasi Bank Maluku

“Kami telah mengundang tiga orang saksi untuk meminta klarifikasi mereka terkait laporan kasus dugaan kekerasan seksual dengan terlapor Bupati Maluku Tenggara. Tapi me­reka meminta untuk ditunda sampai besok Jumat,” ujarnya.

Berikan Dukungan

GBPM mendatangi Polda Maluku untuk memberi dukungan kepada polisi untuk mengusut kasus keke­rasan yang diduga dilakukan oleh Bupati Hanubun. Hal itu diungkapkan aktivis pe­rem­puan Lusi Lusi Peilouw, bersama Insany Syahbarwati kepada Siwa­lima.

Dikatakan, Gerak Bersama Perem­puan Maluku hari ini memberikan bentuk dukungan kepada pihak kepolisian memasukan surat per­nyataan dukungan.

Hal itu juga menjawab informasi yang beredar di kalangan masya­rakat terkait adanya upaya pencabutan laporan kekerasan seksual tersebut.

“Hari ini kami memasukan surat pernyataan sikap yang langsung diterima Ditkrimum Andri Iskandar. Kami menilai korban berada pada posisi lemah karena adanya ketim­pangan relasi kuasa antara dirinya yang adalah karyawan dan terduga pelaku sebagai boss.

Sehingga korban tidak memiliki kekuatan dan perlawanan saat pe­ristiwa tersebut terjadi,” ujarnya.

Akibat dari semua peristiwa itu, lanjut dia, korban mengalami gang­guan psikologi berupa trauma dan depresi. Dari sisi terduga pelaku, ja­batan publik sebagai seorang kepala daerah dengan kekuatan ke­kuasaan dan uang, berpotensi sangat besar untuk menghambat proses hukum, membungkam suara korban dan saksi.

Karena itu, GBPM menyatakan dukungan dengan beberapa poin yang diterima  Direktur Reserse Kriminal Umum, Kombes Andri Iskandar yaitu pertama, mengapre­siasi dan menaruh harapan sepe­nuhnya pada profesionalitas Polda Maluku dalam penanganan kasus ini hingga tuntas.

Kedua, kami akan terus mendu­kung aparat penegak hukum untuk teguh menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalitas, tidak akan lemah dan lengah memberikan keadilan yang menjadi hak korban.

Ketiga, mengingatkan Polda Ma­luku tentang salah satu mandat UU Nomor 12 tahun 2022, yakni tidak membenarkan penerapan restorative justice pada kasus kekerasan sek­sual, karena ini sama halnya dengan membunuh jiwa Korban

Keempat, kami mendorong keha­diran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI untuk meng­intervensi kasus ini sesuai kewe­nangannya, mengingat ancaman teror sudah menimpa korban, ke­luarga korban dan pihak-pihak pe­duli pada penegakan hukum ter­hadap terduga pelaku.

“Kami mendesak Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak dan Dinas Pemberdayaan Perem­puan dan jajaran sebagai represen­tasi ne­gara hadir memberikan perlin­dungan pada korban dan saksi, pe­mulihan kor­ban secara kompre­hensif dan me­mastikan reintegrasi sosial,” ujarnya.

Lebih lanjut kata dia, terkait isu pen­cabutan laporan pihaknya akan mem­pertanyakan sikap pihak kepo­lisian yang menangani perkara dimaksud.

“Kalau seandainya keluarga kor­ban berupaya untuk mencabut lapo­ran dan menghentikan proses hukum kasus tersebut, maka kami akan pertanyakan komitmen Polda Maluku karena merujuk pada UU kekerasan seksual Nomor 12 Tahun 2022 dimana salah satu mandatnya adalah tidak membenarkan adanya restorative justice,” tuturnya.

Kata dia, pasal ini adalah pasal perjuangan para aktivis soal keke­rasan terhadap perempuan. Dan ini lex specialis sehingga dalam KUHP tidak ada percobaan pencabutan laporan yang akan dilakukan, meski masih bersifat informasi maka Polda harus menerapkan norma dan aturan hukum yang berlaku.

Ditanya soal indikasi pencabutan laporan dirinya menjelaskan bisa saja ada indikasi indikasi intimasi korban dan keluarganya.

“Pengalaman kami ada beberapa intimidasi terhadap korban dan hal yang sama juga kemungkinan demi­kian terjadi pada kasus ini, dikare­nakan kekuatan jabatan, uang dan sebagainya dan ini adalah tindakan melemahkan hukum apalagi seorang bupati yang punya kuasa,” katanya.

Untuk diketahui, Bupati Maluku Tenggara M Thaher Hanubun dila­porkan  pada 1 September 2023 atas dugaan kekerasan seksual terhadap perempuan berinisial TA (21), yang merupakan karyawan Cafe Agnia, miliknya, yang terletak di kawasan Air Salobar, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.

Dalam laporan itu, peristiwa yang menimpa TA terjadi di kafe milik istri  bupati tersebut di Kecamatan Nusa­niwe, Kota Ambon pada April 2023 sekitar pukul 15.00 WIT.

Saat itu korban dipanggil dan di­minta untuk memijat terduga pelaku di kamar yang terletak di lantai tiga, yang berlanjut pada tindakan pele­cehan seksual. Setelah itu, terjadi lagi tindakan yang lebih dari pele­cehan pada Juli 2023.

Perbuatan yang sama berupaya di­lakukan pada Agustus 2023 na­mun korban berhasil melarikan diri. Hal ini kemudian berujung pada pemecatan dirinya.

Laporan dugaan kekerasan sek­sual dilaporkan korban  ke SPKT Polda Maluku pada Jumat (1/9/2023) dengan nomor laporan TBL/230/IX/2023/MALUKU/SPKT.

Jangan Ada Intervensi

Kapolda Maluku Irjen Pol Lotharia Latif telah memerintahkan penyidik untuk menangani kasus tersebut secara profesional. Semua proses pe­nanganan dilakukan secara trans­paran dengan melibatkan instansi terkait, baik psikolog dan Pusat Pe­layanan Terpadu Pemberdayaan Pe­rempuan dan Anak (TP2TPA) sehi­ngga hasilnya dapat dipertang­gung­jawabkan secara hukum.

Kapolda menegaskan, jangan ada pihak yang coba-coba menginter­vensi pihaknya dalam penyelidikan kasus ini. Orang nomor satu di Polda Maluku ini bahkan mengingatkan siapapun yang mengancam atau menekan pelapor.

“Kami juga mengingatkan kepada siapa pun untuk jangan coba-coba mengancam atau menekan pelapor, atau coba-coba intervensi kasus yang sedang ditangani ini. Bahkan siapa pun yang akan menghambat proses ini kami tidak segan-segan untuk menindaknya,” tegas Kapolda di Ambon, Rabu (6/9).

Kapolda juga meminta agar jangan ada pihak yang mencoba meman­faatkan kasus ini untuk kepentingan siapa pun, atau kelompok-kelompok manapun dengan motif-motif lain.

“Polda Maluku akan menangani kasus ini secara profesional dan be­kerja sama dengan instansi terkait da­lam penanganan kekerasan terha­dap perempuan sesuai aturan hu­kum yang berlaku, untuk memberi­kan penegakan hukum yang ber­keadilan,” tegasnya.

Penyelidikan perkara yang dila­porkan, lanjut Kapolda, merupakan bentuk dari Polda Maluku meng­hargai hak hukum pelapor. Apabila penyidik menemukan alat bukti maka kasus tersebut akan diting­katkan ke tahap penyidikan.

Namun sebaliknya bila laporan itu tidak benar, maka pihaknya mem­persilahkan terlapor untuk menggu­nakan hak hukumnya.

Di sisi lain, Kapolda juga mene­gaskan agar jangan ada yang mencoba memanfaatkan kasus ini untuk kepentingan siapa pun atau kelompok-kelompok manapun dengan motif-motif lain.

“Polda Maluku akan menangani kasus ini secara profesional dan bekerja sama dengan instansi terkait dalam penanganan kekerasan terha­dap perempuan sesuai aturan hu­kum yang berlaku untuk memberi­kan penegakan hukum yang berke­adilan,” tuturnya.

Sebelumnya, Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol M Rum Ohoirat dalam rilisnya kepada Siwalima mengungkapkan, terkait kasus ini pada Selasa (5/9) pihaknya telah mengundang tiga orang saksi untuk meminta klarifikasi namun diminta tunda Rabu (6/9).

“Kami mengundang tiga orang saksi untuk meminta klarifikasi mereka terkait laporan kasus dugaan kekerasan seksual dengan terlapor Bupati Maluku Tenggara, Selasa (5/9). Tapi mereka meminta untuk ditunda sampai Rabu (6/9),” tuturnya.

Kabid Humas menyebutkan, tiga orang yang diundang itupun tidak hadir, sehingga pihaknya akan melayangkan panggil selanjutnya pada Jumat (8/9).

Dikatakan, sehari sebelumnya, tim penyidik juga akan melakukan pemeriksaan psikologi sekaligus memberikan pendampingan kepada pelapor, namun yang bersangkutan masih dalam kondisi tidak sehat.

“Polda Maluku tetap akan mela­kukan pendampingan psikologi kepada pelapor, termasuk memberikan rasa aman, dan nyaman kepada yang bersangkutan,” ungkapnya.

Bupati Hanubun sejak kasus ini me­ngemuka hingga saat ini belum bisa di­konfirmasi. Siwalima sudah beru­lang kali menghubunginya me­lalui pesan tertulis dan sambungan tele­pon, namun belum memperoleh bala­san hingga berita ini naik cetak. (S-26)