Polemik Moratorium Kepailitan dan PKPU
Beberapa waktu lalu beredar wacana bahwa pemerintah akan mengkaji kemungkinan moratorium kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Latar belakang dari gagasan moratorium kepailitan dan PKPU tersebut adalah meningkatnya perkara kepailitan dan PKPU dalam tiga tahun terakhir. Pada sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) di portal Mahkamah Agung Republik Indonesia memang menunjukkan dalam tiga tahun terakhir secara year on year perkara kepailitan dan PKPU pada pengadilan niaga meningkat lebih dari 100%, meskipun angka tersebut tentu sangat dipengaruhi dampak pandemi Covid-19.
Tentu saja pertimbangan pemerintah pada gagasan moratorium kepailitan dan PKPU tidak saja disebabkan oleh meningkatnya jumlah perkara di pengadilan niaga, tetapi juga pertimbangan yang bersifat ekonomi lainnya, seperti kelangsungan usaha maupun upaya menghindari kepailitan dalam jumlah masal. De Haan (1991), menjelaskan bahwa moratorium adalah penghentian yang bersifat sementara dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang terkait.
Persoalan jika gagasan moratorium direalisasikan akan menimbulkan banyak masalah lainnya baik yang bersifat teknis penyelesaian sengketa maupun dampak ekonomi yang bersifat negatif. Dalam perspektif hukum, pengadilan niaga merupakan pengadilan yang bersifat khusus dan berbeda dengan peradilan perdata pada umumnya. Pengadilan niaga memiliki kewenangan menyatakan pailit, melakukan restrukturisasi utang dan piutang hingga mengesahkan perjanjian perdamaian (homologasi) berdasarkan pemungutan suara.
Tindakan di atas tidak dapat dilakukan melalui upaya hukum lainnya. Ciri khas perkara kepailitan dan PKPU adalah penyelesaian hutang debitur yang melibatkan banyak (lebih dari dua) kreditur dengan jangka waktu yang dibatasi oleh UU Nomor 37/2004 Tentang Kepailitan dan PKPU dan mekanisme yang secara khusus diatur dalam PP Nomor 10/2005 tentang Penghitungan Hak Suara Kreditur. Sebaliknya jika diberlakukan moratorium perkara kepailitan dan PKPU maka peradilan umum akan menjadi upaya terakhir pada penyelesaian sengketa utang – piutang jika tidak dapat dicapai kesepakatan restrukturisasi di antara para pihak.
Penyelesaian perkara utang-piutang melalui pengadilan umum akan membutuhkan waktu yang lebih panjang, perkara yang lebih banyak dengan banyak pihak dan kemungkinan terjadi putusan pengadilan yang bertolak belakang karena masing-masing hakim memiliki kekuasaan kehakiman. Sebaliknya kondisi tersebut tidak akan terjadi pada penyelesaian melalui pengadilan niaga mengingat pada perkara kepailitan dan PKPU di pengadilan niaga sesuai Pasal 281 UU Nomor 37/2004 dan PP Nomor 10/2005 dikenal penyelesaian melalui pemungutan suara (voting) untuk mencapai satu putusan yang akan berlaku bagi semua kreditur dan debitur.
Demikian juga dalam perspektif ekonomi, jika diberlakukan moratorium maka akan terjadi ancaman krisis ekonomi seperti 1998. Sebagaimana diketahui peraturan kepailitan pertama di Indonesia lahir pertama kali pada 1998 melalui peraturan pemerintah pengganti undang undang (perppu) dikarenakan adanya kegentingan yang mendesak karena adanya gangguan perekonomian sistematik akibat tiadanya solusi sengketa utang piutang yang implementatif dan efektif bagi kegiatan perekonomian itu sendiri.
Revisi Aturan
Jika gagasan moratorium kepailitan dan PKPU berawal dari meningkatnya perkara yang terdaftar di pengadilan niaga maupun dampak ekonomi lainnya maka sebenarnya dapat dikatakan moratorium bukanlah solusi yang tepat. Hadjon (2000), menjelaskan bahwa moratorium dapat dilakukan jika terjadi ketidakpastian keadaan dan jika moratorium dilakukan akan membawa kebaikan dan keteraturan bagi seluruh pihak.
Moratorium perkara kepailitan dan PKPU bukanlah solusi yang efektif, mengingat lembaga kepailitan dan PKPU lahir dari UU Nomor 37/2004. Artinya, gagasan moratorium harus melalui proses legislasi sehingga dapat sinkron dengan UU Nomor 37/2004, mekanisme ini tidaklah mudah dan akan membutuhkan waktu yang lama sehingga gagasan moratorium secara teknis perundang-undangan tidaklah mudah untuk diterapkan. Demikian juga secara teknis yudisial, gagasan moratorium ini berkaitan dengan pembatasan kompetensi pengadilan niaga sehingga perlu sinkronisasi fungsi legislasi dan yudikatif.
Meskipun pada awalnya memiliki semangat yang baik namun gagasan moratorium perkara kepailitan dan PKPU ini jika diimplementasikan selain akan menimbulkan banyak persoalan sehingga akan lebih efektif dan efisien dilakukan revisi UU Nomor 37/2004 beserta PP Nomor 10/2005. Dibandingkan melakukan moratorium perkara kepailitan dan PKPU maka melakukan revisi kedua aturan tersebut akan lebih efektif untuk menyelesaikan dampak negatif yang timbul sehubungan dengan perkara kepailitan dan PKPU di pengadilan niaga.
Saat ini urgensi dari revisi UU Nomor 37/2004 beserta PP Nomor 10/2005 adalah guna menghindari dimanfaatkannya lembaga kepailitan maupun PKPU untuk hal-hal di luar peruntukan lembaga kepailitan dan PKPU yang sebenarnya, seperti misalnya dimanfaatkan oleh kreditur maupun debitur yang beritikad tidak baik maupun sebaliknya dimanfaatkannya kedua lembaga tersebut untuk menciptakan kepailitan maupun restrukturisasi utang yang sifatnya by design yang pada akhirnya justru menyimpang dari tujuan lembaga tersebut.
Contoh penyimpangan yang sering terjadi adalah utang yang direncanakan (loan by design) guna menambah atau mengurangi hak suara mengingat persyaratan memiliki hak suara dale pemungutan suara sesuai PP Nomor 10/2005 dinilai sangat mudah untuk disalahgunakan karena nominal hutang yang diakui dan dapat dikonversi menjadi hak suara sangatlah rendah (10 juta rupiah/suara).
Demikian juga revisi UU Nomor 37/2004 juga diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan lembaga kepailitan dan PKPU yang pada akhirnya merugikan perekonomian nasional, seperti misalnya ketentuan dalam UU Nomor 37/2004 yang menyatakan bahwa selama proses perkara kepailitan dan PKPU di pengadilan niaga kreditur tidak dapat mengenakan bunga, denda, pinalti termasuk angsuran yang sedang berjalan. Revisi juga diperlukan terkait syarat jumlah kreditur maupun jumlah besaran piutang sehingga lembaga kepailitan dan PKPU tidak mudah untuk disalahgunakan.
Terakhir perlu diatur mengenai sifat perkara kepailitan dan PKPU apakah bersifat permohonan atau sengketa. Dalam hal ini guna menghindari penyimpangan, sebaiknya perkara kepailitan dan PKPU tidak dapat diajukan berdasarkan permohonan debitur terkait. Dengan adanya revisi pada hal-hal fundamental dalam UU Nomor 37/2004 beserta PP Nomor 10/2005 maka lembaga kepailitan dan PKPU dapat berfungsi sesuai peruntukannya. Jika kedua lembaga tersebut dapat difungsikan secara efektif maka tidak akan terjadi penumpukan perkara di pengadilan niaga yang tentu berdampak pada perekonomian, sebaliknya lembaga kepailitan dan PKPU akan berkorelasi positif pada perekonomian. (Rio Christiawan Pengamat Hukum Bisnis)
Tinggalkan Balasan