Pinamou: Tradisi yang Turut Menjaga Keberlangsungan Bahasa Daerah
Provinsi Maluku selama ini dikenal dengan sebutan “Negeri Para Raja”. Setiap negeri dipimpin oleh seorang raja yang biasanya juga menjabat sebagai kepala desa administratif. Di negeri-negeri itulah tersimpan berbagai kearifan lokal yang menjadi entitas jati diri masyarakat Maluku. Kekayaan budaya Provinsi Maluku juga membawa kekayaan bahasa daerahnya. Keragaman budaya dan suku tersebut membentuk masyarakat hidup dengan berbagai bahasa daerah. Sebagaimana data pada Peta Bahasa Daerah di laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, ada 62 bahasa daerah yang tercatat di Provinsi Maluku. Bahasa-bahasa daerah tersebut hidup berdampingan satu dengan yang lain. Tidak dimungkiri, pasti terjadi kontak antarbahasa daerah. Pada akhirnya, kondisi tersebut membawa wajah baru terkait kondisi bahasa daerah di Maluku.
Salah satu dampak negatif dari kontak budaya dan bahasa tersebut adalah melemahnya penguasaan bahasa daerah, terutama pada penutur muda bahasa daerah. Mobilitas dan interaksi antarsuku memaksa para penuturnya beralih pada media komunikasi lain yang mampu menjembatani komunikasi. Biasanya, mereka menggunakan bahasa Melayu Ambon dan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar komunikasi sehari-hari hampir di seluruh wilayah Maluku. Selain itu, pengaruh bahasa asing yang kian masif juga turut menjadi bagian menurunnya kemampuan berbahasa daerah para generasi muda di Maluku. Oleh karena itu, bahasa daerah di Maluku layak mendapat perhatian yang lebih serius dari masyarakat dan pemerintah.
Di tengah kondisi yang mengkhawatirkan itu, ternyata ada satu praktik baik yang mampu memberikan secercah harapan bagi keberlangsungan bahasa daerah. Salah satu praktik baik tersebut adalah menggunakan tradisi atau budaya sebagai upaya pelestarian bahasa daerah. Adapun salah satu tradisi tersebut adalah pinamou. Pinamou merupakan ritual adat suku Naulu bagi perempuan saat mendapatkan haid pertama. Pinamou menjadi salah satu jawaban terhadap tantangan keberlangsungan bahasa daerah, khususnya bahasa daerah Naulu. Bahasa tersebut dituturkan suku Naulu yang berada di wilayah tuturan Desa Sepa, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Sampai saat ini, suku Naulu bermukim dan tersebar di beberapa wilayah pedalaman pesisir selatan Pulau Seram, yaitu Dusun Bunara, Ahisuru, Hauwalan, Simalou, dan Rohua.
Suku Naulu dikenal dengan berbagai ritual tradisi yang mengiringi dalam setiap fase kehidupan, termasuk tradisi pinamou. Matakena (2021) dalam dokumen yang berjudul “Hutan Adat Warisan Leluhur Nuanea” yang ditampilkan di laman Balai Kehutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Maluku Papua menyampaikan bahwa tradisi ini menjadi simbol pengakuan sosial saat perempuan dianggap telah sempurna menjadi perempuan dewasa.. Prosesi tersebut dimulai saat hari pertama perempuan mendapat datang bulan. Sejak hari itu, perempuan pinamou harus tinggal terpisah dari keluarganya. Ia tinggal di rumah khusus yang disebut posune. Posune terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan berlantai anyaman bambu. Dahulu, masyarakat suku Naulu menganggap bahwa darah datang bulan tidak baik bagi lingkungan adat sehingga perempuan yang sedang datang bulan harus diasingkan. Namun, ternyata ada tujuan lain dari prosesi pemisahan perempuan pinamou dari keluarga, yakni agar ia belajar hidup mandiri. Di dalam posune, terdapat tempat mandi, tempat istirahat, dan peralatan masak tradisional sehingga perempuan pinamou dapat bertahan hidup dengan bekal yang sudah disiapkan oleh keluarganya. Sampai saat ini, nuansa tradisional di posune masih sangat kental.
Selama masa datang bulan, perempuan pinamou tetap berada di dalam posune. Setelah selesai datang bulan, perempuan pinamou baru bisa menjalani berbagai prosesi adat. Selama prosesi, perempuan pinamou akan didampingi oleh tetua adat berjenis kelamin perempuan yang disebut dengan mama biang.
Prosesi pinamou yang berlangsung selama beberapa hari tersebut memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk makin mengenal bahasanya. Hal ini karena perempuan pinamou harus melalui tahapan-tahapan yang sarat dengan bahasa daerah. Tahapan-tahapan tersebut berisi ritual, seperti kikir gigi, prosesi lulur menggunakan kelapa dan kunyit, bermalam di rumah adat untuk makang dulang (makan bersama), dan prosesi pemandian di mata air hatu pinamou. Setiap prosesi memiliki harapan dan nilai agar perempuan pinamou dapat tumbuh dengan segala hal baik yang menyertai.
Dipimpin oleh mama biang, perempuan pinamou melalui semua prosesi menggunakan bahasa Naulu. Akhirnya, mau tidak mau, perempuan pinamou makin lekat dengan kosakata bahasa Naulu. Adapun beberapa contoh kosakata budaya bahasa Naulu, yaitu nuhune upue ‘mama biang/perempuan yang memimpin prosesi pinamou’, niti ‘gelang dari batu untuk prosesi adat suku Nuaulu’, tihuiya ‘gayung yang terbuat dari bambu untuk prosesi pemandian perempuan pinamou’, dan nuite ‘susunan makanan yang dibuat meninggi seperti gunung’. Adanya beragam kosakata berbahasa daerah turut menjadi media pembelajaran bahasa daerah, khususnya bagi perempuan Naulu. Pinamou secara tidak langsung membentuk kondisi ideal dalam pembelajaran bahasa Naulu melalui lingkungan adat yang ketat. Kondisi ini juga memaksa gadis pinamou tidak hanya kenal dengan bahasa Naulu, tetapi juga memahami maknanya sekaligus mempraktikkan makna dari setiap bagian prosesi tersebut dalam kehidupan mendatang. Tradisi pinamou pada masyarakat Naulu menjadi salah satu contoh praktik dalam usaha menjaga keberlangsungan dan daya hidup bahasa Naulu. Pada akhirnya, tidak hanya budaya, tetapi juga bahasa dan jati diri masyarakat Naulu akan tetap hidup bersama. Hal ini sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (1989) dalam buku berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan yang mengungkapkan bahwa bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur budaya. Keberadaan bahasa tidak bisa dilepaskan dari kehidupan budaya. Makin besar ancaman terhadap vitalitas bahasa daerah, makin besar pula ancaman terhadap keberlangsungan suatu budaya. Jadi, tidak salah jika makin terjaga bahasa daerah, akan terjaga pula budayanya. Oleh : Zahrotun Ulfah, S.S.Widyabasa Ahli Pertama, Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Tinggalkan Balasan