INDONESIA pernah berada di urutan ke-64 dari 65 negara yang ikut dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2012. PISA mengukur kemampuan akademik siswa berusia 15 tahun di berbagai negara. Sejak dimulainya PISA pada 2000, saat ini telah dihasilkan delapan kali siklus penilaian. Pada 2022, skor PISA anak Indonesia untuk kemampuan membaca ialah 359, terpaut 117 poin dari skor rata-rata global yang sebesar 476. Skor kemampuan matematika 366 dan sains 386. Secara keseluruhan, anak-anak Indonesia berada di peringkat 15 terendah berdasarkan skor PISA 2022.

Setiap hari siswa di Indonesia dari tingkat dasar sampai menengah harus ‘menelan’ berbagai mata pelajaran. Meski demikian, UNESCO menyebutkan literasi anak-anak Indonesia masih di urutan bawah dengan minat baca yang rendah. Jumlah anak Indonesia dengan kategori lower order thinking skills ialah 78%, Korea 10%, Singapura 12%, Taiwan 14%, dan Hong Kong 15%. Tantangan ke depan sungguh berat karena performa seperti itu menjadi kendala untuk mendapatkan SDM berkualitas guna menyongsong Indonesia maju 2045.

Pendidikan di Indonesia harus dapat mengarahkan anak-anak Indonesia untuk memiliki kemampuan analitis, berpikir efektif, dan efisien. Pendidikan juga harus membekali siswa Indonesia untuk mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, dapat berkomunikasi dengan baik, berpikir kreatif, memiliki jiwa kepemimpinan, serta motivasi yang tinggi.

Kalau performa akademik belum menggembirakan, bagaimana dengan performa fisik? Tengkes (stunting) ternyata tidak hanya menghinggapi anak balita. Prevalensi anak usia 5-12 tahun penderita tengkes ialah 18,7%, usia 13-15 tahun 24,1%, dan usia 16-18 tahun 23,7% (SKI 2023).

Kondisi tengkes sejak balita rupanya terbawa terus saat anak memasuki usia SD hingga sekolah menengah. Kesenjangan tinggi badan (gap) anak laki-laki usia 18 tahun dengan standar WHO mencapai 12,5 cm dan untuk anak perempuan 9,8 cm. Problem status gizi pada remaja putri masih ditambah lagi dengan masalah anemia.

Baca Juga: Dualitas Kepercayaan dalam Novel Kemarau

Saat ini pemerintahan Prabowo-Gibran sedang menyiapkan program besar yang menjadi janji politik, yakni program makan bergizi gratis, yang rencananya akan dimulai pada awal Januari 2025. Becermin dari negara-negara maju, baik AS, Eropa, maupun Asia, yang telah mengimplementasikan program sejenis, program makan bergizi gratis berpeluang akan memberikan dampak positif terhadap performa akademik siswa, mengurangi angka ketidakhadiran di sekolah, serta memperbaiki status gizi siswa.

Tantangan di depan mata sungguh tidak ringan. Sasaran program makan bergizi gratis berjumlah lebih dari 80 juta penerima manfaat terdiri atas siswa SD-SMA, para santri, anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Implementasinya di lapangan memerlukan persiapan yang matang, menyangkut aspek ketersediaan bahan baku, yaitu komoditas pangan berupa sayuran, buah, aneka lauk-pauk (daging ayam, daging sapi, telur dan ikan), serta susu.

Lain daripada itu, proses penyiapan dan pemasakan makanan juga harus dilakukan secara kolosal karena saking banyaknya sasaran yang akan dijangkau. Kelembagaan Badan Gizi Nasional di tingkat pusat yang sudah terbentuk harus segera diikuti pembentukan kelembagaan baru di daerah atau memanfaatkan keberadaan organisasi perangkat daerah (OPD) yang selama ini sudah berkiprah dalam urusan pangan, misalnya dinas ketahanan pangan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah menginisiasi pemberian makanan tambahan untuk anak sekolah berupa kudapan dan susu, nama programnya ialah Genius (Gerakan Edukasi Pemberian Pangan Bergizi untuk Siswa). Pada 2023, di Provinsi Jabar telah dilakukan program Genius di lima kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Indramayu, dan Kota Bogor.

Dengan biaya sebesar Rp25 ribu per siswa dan frekuensi pemberian tiga kali seminggu, siswa-siswa SD mendapatkan kudapan kaya protein hewani seperti satai telur puyuh, rolade ayam, udang goreng tepung, batagor ikan, dll. Evaluasi dari sisi manfaat gizi dan ekonomi menunjukkan bahwa program Genius disambut positif baik di kalangan siswa, guru sekolah, orangtua, dan penyelenggara katering. Guru-guru mengamati kehadiran siswa yang menjadi lebih baik.

Malaysia dan Thailand sejak 1980-an telah menyelenggarakan School Milk Program. Program itu meningkatkan konsumsi susu di kalangan siswa. Usia sekolah merupakan salah satu fase penting untuk menabung kalsium di dalam tubuh sehingga minum susu secara rutin menjadi sangat penting.

Program pemberian susu untuk anak-anak SD dan madrasah ibtidaiah telah dilaksanakan di beberapa provinsi di Indonesia sejak 2000-an. Program itu didanai oleh Departemen Pertanian AS (USDA) dengan tujuan meningkatkan status gizi dan kesehatan siswa sekolah di Indonesia. Namun, program tersebut hanya berjalan selama beberapa tahun dan kemudian terhenti karena bantuan dari AS berakhir.

Upaya mendorong kebiasaan minum susu dapat menjadi salah satu langkah penting untuk menciptakan SDM yang berkualitas. Investasi dalam bidang gizi merupakan investasi jangka panjang sehingga hasilnya mungkin baru terlihat setelah beberapa dekade. Tanpa dukungan pemerintah mengenai pentingnya konsumsi susu, tingkat konsumsi susu di negara kita kemungkinan akan tetap rendah.

Pada 1950-an, Prof Poorwo Sudarmo, yang dikenal sebagai Bapak Gizi Indonesia, memperkenalkan konsep ‘empat sehat lima sempurna’ dengan menempatkan susu di urutan terakhir. Kata ‘sempurna’ membuat susu terkesan sebagai pelengkap ideal bagi makanan sehari-hari. Padahal, mungkin saja alasan susu ditempatkan terakhir ialah karena saat itu susu belum populer di masyarakat Indonesia dan masih menjadi barang langka dengan harga yang cukup mahal.

Survei terhadap masyarakat petani dan nonpetani di Subang menunjukkan bahwa konsumsi susu menurun seiring dengan bertambahnya usia anak, khususnya setelah usia lima tahun (Khomsan dkk 2012). Di sisi lain, data pengeluaran nonpangan menunjukkan bahwa hampir 10% dari pengeluaran rumah tangga dialokasikan untuk rokok, seolah-olah merokok dianggap lebih penting daripada minum susu.

Di negara-negara maju, program gizi selalu memasukkan susu sebagai kebutuhan utama. Melalui program WIC (women, infants, and children), anak-anak balita serta ibu hamil dan menyusui dari kalangan ekonomi rendah dapat memperoleh hingga 12 liter susu per bulan tanpa biaya.

Menurut data BPS dan Kemenperin pada 2021, kebutuhan susu nasional ialah sejumlah 4,19 juta ton, sedangkan kemampuan produksi SSDN (susu segar dalam negeri) hanya 0,87 juta ton. Dengan kata lain, produksi SSDN hanya mampu memenuhi 19% kebutuhan susu nasional, selebihnya harus dipenuhi melalui impor.

Program makan siang gratis disertai susu direncanakan menyasar 82,9 juta orang mencakup pelajar, santri, dan ibu hamil. Total kebutuhan susu untuk kepentingan itu ialah 4,1 juta ton. Itulah sebenarnya tantangan besar mewujudkan program makan bergizi gratis yang menyertakan susu di dalamnya.

 

Di AS, School Lunch Program diselenggarakan sejak 1946 hingga saat ini masih eksis. Program di AS itu tidak gratis sepenuhnya, tetapi bagi siswa miskin mereka mendapat subsidi untuk membeli makan siang di kantin sekolah dengan harga lebih murah atau bahkan tanpa biaya. Semoga Indonesia mampu merancang program intervensi gizi untuk anak sekolah yang layak dan berkesinambungan sehingga gizi anak Indonesia akan semakin baik. Oleh: Ali Khomsan Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB, Wakil Ketua Klaster Kesehatan Asosiasi Profesor Indonesia (API)