Perawat Indonesia Merawat Dunia
KEBUTUHAN perawat di seluruh dunia terus menunjukkan peningkatan, sejalan dengan kemajuan teknologi pelayanan kesehatan dan perkembangan demografi serta epidemiologi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, kekurangan perawat secara global mencapai 4,5 juta pada 2030. Negara-negara maju yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) melaporkan krisis tenaga keperawatan. Australia membutuhkan tambahan 123.000 perawat di 2030. Negara tetangga Singapura, dengan sekitar 5 juta penduduk, juga masih kekurangan perawat sekitar 24.000 di tahun yang sama (2030).
Di lain pihak, Indonesia saat ini mengalami bonus demografi yang salah satunya ditandai dengan adanya surplus tenaga keperawatan. Menurut data Kementerian Kesehatan, setiap tahun rata-rata lebih dari 60 ribu perawat yang lulus dan mendapat surat tanda registrasi (STR). Namun, kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan di dalam negeri tidak mampu menampung semua lulusan perawat. Bisakah Indonesia menangkap peluang kebutuhan perawat di negara lain?
Harusnya bisa! Dalam tiga tahun terakhir, terdapat peningkatan permintaan tenaga perawat Indonesia dari luar negeri. Jumlah perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri meningkat lebih dari dua kali lipat. Karakter orang Indonesia yang ramah dan suka menolong menjadi keunggulan tersendiri. Ini menunjukkan bahwa kualitas perawat Indonesia tidak lagi dipandang sebelah mata.
Sebagian institusi pendidikan keperawatan di Indonesia telah berlomba mendapatkan penjaminan mutu pendidikan dari lembaga akreditasi internasional seperti ASIIN dan AUN-QA dan di level nasional dengan LAM-PTKes.
Ironisnya, jaminan mutu pendidikan tidak lantas membuat lulusan pendidikan keperawatan Indonesia otomatis dapat berpraktik sesuai kompetensinya di negara lain. Setiap negara yang membutuhkan perawat menerapkan regulasi domestik dan persyaratan sertifikasi kompetensi sesuai standar negara masing-masing.
Baca Juga: Darurat Judi OnlineHal ini menjadi tantangan yang tidak mudah dan murah bagi perawat Indonesia untuk bermigrasi dan berkarier di negara lain sehingga harus menjadi perhatian banyak pihak. Negara harus ikut hadir dalam pengelolaan migrasi internasional perawat Indonesia sejak tahap pramigrasi, saat migrasi di negara lain, hingga masa pascamigrasi.
Penting untuk memastikan bahwa perawat Indonesia siap dan mampu menghadapi berbagai tantangan agar bekerja sesuai dengan kompetensinya, dan hak serta kesejahteraannya tetap terjaga.
Pertama, kemampuan bahasa asing perawat Indonesia secara umum masih kurang. Padahal, bahasa sebagai alat untuk komunikasi sangat krusial dalam berinteraksi dengan pasien maupun rekan kerja.
Kesalahan kecil dalam berkomunikasi dapat berdampak pada kualitas pelayanan yang diberikan dan, lebih jauh lagi, dapat memengaruhi keselamatan pasien. Institusi pendidikan dapat menentukan pilihan negara tujuan sejak awal sebagai katalis di sisi penempatan luar negeri.
Penggunaan bahasa asing sebagai pengantar maupun integrasi pelatihan bahasa asing dalam kurikulum keperawatan semenjak semester awal harus diterapkan untuk meminimalkan kendala komunikasi. Dengan demikian, perawat dapat memberikan perawatan yang aman dan efektif di negara tujuan.
Kedua, fenomena deskilling atau penurunan keterampilan klinis pada perawat migran yang bekerja tidak sesuai atau di bawah tingkat keahliannya. Bukan perkara mudah untuk lulus sertifikasi sebagai perawat teregistrasi di negara tujuan. Jika tidak lulus, alih-alih bekerja sebagai perawat profesional, para perawat turun tingkat dan bekerja sebagai teknisi keperawatan atau kandidat perawat, bahkan bekerja yang tidak sesuai dengan kualifikasinya.
Pendidikan keperawatan harus memiliki fleksibilitas untuk menerapkan kurikulum yang sesuai dengan standar kompetensi negara tujuan sesuai pilihan, disertai fasilitasi untuk penyiapan ujian sertifikasi keperawatan.
Ketiga, ‘serangan mental’. Beradaptasi di lingkungan dengan bahasa dan budaya yang berbeda, serta tinggal terasing dan jauh dari keluarga, memberikan tekanan mental pada perawat. Fase stres akibat intensitas tuntutan pekerjaan, ketidakpastian karier, dan isolasi sosial pasti muncul, terutama jika tidak tersedia dukungan moral yang memadai.
Perhatian pada kesejahteraan mental para perawat migran berupa dukungan psikologis dan layanan konseling perlu disiapkan oleh negara pengirim maupun penerima.
Keempat, tidak jelasnya jalur karier. Banyak perawat migran merasa bahwa peluang berkembang di negara tujuan tidak selinier yang dibayangkan, yang secara simultan menimbulkan keraguan untuk terus bertahan tanpa kesempatan naik jabatan atau peningkatan kesejahteraan. Fasilitas kesehatan dan pemerintah negara tujuan juga seharusnya menyediakan program mentoring dan perencanaan karier untuk membantu para perawat migran.
Tantangan terakhir, kesehatan spiritual terutama agama. Ketika bekerja di luar negeri, di beberapa negara akses ke layanan keagamaan dapat menjadi terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali. Kehilangan akses spiritual mengakibatkan tingkat moral dan spiritual para perawat migran menjadi berkurang sehingga mengganggu performanya. Negara dan institusi tempat para perawat bekerja bisa berperan dengan menyediakan fasilitas atau akses untuk menjalankan ibadah agar perawat migran merasa nyaman secara spiritual.
Mimpi para perawat Indonesia untuk ‘merawat’ dunia dapat terwujud melalui suatu pendekatan holistik sejak awal masuk menjadi mahasiswa keperawatan. Pembangunan ekosistem pembelajaran yang berorientasi global, dengan pengembangan kurikulum keterampilan bahasa asing serta wawasan lintas budaya, perlu dimasukkan dalam pendidikan keperawatan.
Sertifikasi dan lisensi di negara tujuan juga perlu difasilitasi agar dapat lebih mudah diterima di pasar internasional. Kerja sama antarnegara secara bilateral dapat membuka jalan yang lebih lebar bagi tenaga keperawatan Indonesia untuk berkiprah di luar negeri.
Tujuan mulia ini sebaiknya tidak boleh hanya dilihat sebagai upaya individu secara sporadis, tapi juga menjadi tujuan nasional negara. Pemerintah Indonesia bertekad agar peluang kerja ke luar negeri justru didominasi oleh tenaga terampil dan profesional, termasuk tenaga keperawatan.
Migrasi perawat dapat membawa dampak ekonomi dan sosial yang luas bagi profesi keperawatan, keluarga, individu perawat, dan negara sekalipun. Tidak sekadar manfaat finansial, perawat migran yang kembali ke Indonesia diharapkan membawa manfaat untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi serta etos kerja yang diperoleh saat bekerja kembali di Tanah Air. Oleh Ferry Efendi Guru Besar Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. (*)
Tinggalkan Balasan