PEMILU adalah salah satu momen penting dalam demokrasi di Indonesia. Namun, sayangnya politik identitas masih menjadi masalah yang merusak jalannya pemilu dan membahayakan demokrasi kita. Politik identitas adalah praktik politik yang memperkuat pemisahan dan memperburuk perbedaan antara kelompok sosial berdasarkan agama, suku, atau ras. Praktik politik identitas ini sering disebut sebagai politik SARA.

Bahaya dari politik identitas ini adalah bahwa ia dapat memecah belah masyarakat dan memicu konflik antar kelompok sosial. Politik identitas juga dapat mengalihkan fokus dari isu substansi dan program politik, dan memperlemah nilai-nilai demokrasi, seperti pluralisme dan toleransi.

Untuk mengatasi bahaya politik identitas dalam pemilu, diperlukan upaya bersama dari semua pihak. Pertama, partai politik harus berupaya untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan pluralisme, serta membangun platform politik yang bersifat inklusif dan dapat diterima oleh semua kelompok sosial. Kedua, masyarakat perlu membangun kesadaran akan bahaya politik identitas dan berupaya untuk tidak memilih calon yang memperkuat pemisahan antar kelompok sosial.

Ketiga, media massa perlu berperan aktif dalam menyajikan informasi yang objektif dan akurat tentang calon dan program politik, serta menghindari menyebarkan berita yang mengandung isu SARA. Keempat, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan aparat penegak hukum harus memiliki peran penting dalam memastikan pelaksanaan pemilu yang bebas dari praktik politik identitas.

Politik identitas memang merupakan isu yang sangat kompleks dan terkait erat dengan situasi sosio-kultural Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kita dapat melihat bagaimana praktik politik identitas telah merusak jalannya pemilu dan memicu konflik antar kelompok sosial.

Baca Juga: Sanksi Netralitas ASN

Salah satu contoh praktik politik identitas yang sangat mencolok adalah kampanye hitam yang menyerang calon lawan dengan isu-isu SARA. Kampanye hitam ini sering dilakukan oleh buzzer atau akun media sosial palsu yang dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu.

Selain kampanye hitam, praktik politik identitas juga terjadi dalam bentuk pandangan politik yang eksklusif dan intoleran terhadap kelompok sosial tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kasus kekerasan yang dipicu oleh perbedaan agama atau suku, seperti konflik di Papua dan konflik antara kelompok agama di berbagai daerah di Indonesia.

Menurut data dari Laporan Tahunan HAM 2020 yang dirilis oleh Komnas HAM, terdapat 61 kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang terkait dengan isu SARA. Dari 61 kasus tersebut, sebanyak 46 kasus terkait dengan konflik keagamaan dan 15 kasus terkait dengan konflik suku.

Oleh karena itu, penting untuk menciptakan pemilu yang bebas dari praktik politik identitas. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan memperkuat peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan aparat penegak hukum dalam memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan meminimalkan praktik politik identitas dalam pemilu.

Selain itu, partai politik dan calon juga perlu membangun platform politik yang bersifat inklusif dan dapat diterima oleh semua kelompok sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses politik dan mendengarkan aspirasi dari berbagai kelompok sosial.

Dalam rangka membangun pemilu yang bebas dari praktik politik identitas, masyarakat perlu memiliki kesadaran yang tinggi akan bahaya politik identitas dan berupaya untuk tidak memilih calon yang memperkuat pemisahan antar kelompok sosial. Media massa juga harus berperan aktif dalam menyajikan informasi yang objektif dan akurat tentang calon dan program politik, serta menghindari menyebarkan berita yang mengandung isu SARA.

Selain itu, penting untuk mengingat bahwa politik identitas bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi pemilu. Masalah seperti politik uang, manipulasi opini publik, dan ketidaksetaraan akses terhadap media massa juga mempengaruhi jalannya pemilu.

Oleh karena itu, bahaya politik identitas dan praktik-praktik yang merugikan demokrasi harus diatasi secara bersama-sama. Hanya dengan membangun pemilu yang bebas dari SARA, politik uang, manipulasi opini publik, dan ketidaksetaraan akses terhadap media massa, kita dapat membangun demokrasi yang sehat dan adil untuk Indonesia yang lebih baik. (*)