BEBERAPA hari lalu muncul pernyataan ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Revrisond Baswir, bahwa Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) menjadi momentum kesetaraan bisnis bagi koperasi simpan pinjam. Sementara di satu sisi berbagai elemen koperasi Indonesia mendesak agar koperasi tidak dimasukkan dalam pasal-pasal omnibus law sektor keuangan (RUU PPSK). Forum Koperasi Indonesia (Forkopi), Perhimpunan Baitul Mal Wat Tamwil Indonesia (PBMTI), Angkatan Muda Koperasi Indonesia, Gerakan Koperasi Kredit (Inkopdit), Inkopsyah, Ikosindo, Dekopin dan masih banyak elemen koperasi lain menentang koperasi dimasukkan pada pasal RUU PPSK. Penolakan tegas elemen koperasi ini dinyatakan dengan mengirim bunga papan ke DPR dan Kemenkop, bertemu dengan berbagai fraksi di DPR, menyuarakan di media sosial dengan tagar-tagar #tolakojkdikoperasi, dan membuat FDG dan forum diskusi. Revrisond Baswir menyatakan bahwa pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap KSP akan membuat koperasi diperlakukan setara sebagai­mana financial technology (fintech), perbankan, asuransi, dan semua yang bergerak di sektor keuangan. Selain itu, pengawasan oleh OJK hanya untuk koperasi yang bergerak di bidang keuangan dengan skala yang besar dan bukan untuk koperasi di bidang produksi dan konsumsi. Revrisond menilai pengawasan koperasi belum tuntas diatur oleh UU Nomor 25/1992.

Masih menurut Revrisond tidak ada pembedaan pengawasan otoritas keuangan terhadap koperasi dan yang bukan koperasi. Semuanya diperlakukan sama karena memiliki badan hukum dan bergerak di sektor keuangan. Ada beberapa bagian yang ingin penulis kritisi dari pernyataan ekonom UGM ini, dalam tataran teori dan praktik koperasi yang ideal, koperasi bukan saja mengejar profitabilitas atau sisa hasil usaha (SHU) tetapi menciptakan benefit sebanyak-banyaknya untuk anggota dan masyarakat umum. Keseimbangan profitabilitas dengan asas benefit inilah yang menjadi salah satu kunci keberhasilan koperasi yang mana anggota koperasi dimungkinkan jumlahnya sampai ribuan atau bahkan jutaan orang. Indikator sukses Koperasi selain fungsinya untuk mendapatkan profit, dia harus juga memberikan manfaat pada sosial dan budaya. Dengan begitu koperasi menempatkan indikator suksesnya pada meningkatnya ekonomi, sosial dan budaya anggotanya. Seperti contoh pada Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (Kopsyah BMI), melalui Model BMI diciptakan kesejahteraan pada lima pilar kesejahteraan yakni ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan spiritual.

Kopsyah BMI menyepakati dalam rapat anggota indikator suksesnya adalah tercapainya target profit (SHU) dan tercapainya indikator ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan spiritual. Koperasi-koperasi lain pun memiliki indikator yang sama, misalnya KSPPS Nuri di Pamekasan, koperasi ini menjalankan berbagai bidang kegiatan sosial, UGT Nusantara juga demikian memberikan banyak kegiatan sosial. Kospin Jasa sebagai koperasi yang beraset terbesar di Indonesia juga membangun masjid, bahkan memiliki rumah sakit dan pesantren. Ini adalah bagian dari cita-cita Bung Hatta yang ingin ditegakkan oleh pelaku koperasi Indonesia. Model penyelesaian masalah yang terjadi di perbankan yang notabene saat ini diawasi oleh OJK juga berbeda dengan koperasi.

Gerakan koperasi kredit (Inkopdit) memberikan relaksasi berupa potongan bunga dan tanpa denda pada anggotanya sesuai dengan kemampuan bayar anggota. Hal ini sulit terjadi di perbankan karena menempatkan pemilik berbeda dengan nasabah. Koperasi menempatkan nasabah adalah anggota. Anggota di sisi lain mereka adalah pemilik, pengguna dan pengendali koperasi. Dengan begitu tidak mungkin anggota koperasi yang merasa adalah pemilik koperasi ini dirugikan saat usaha yang dibiayai koperasi bermasalah. Perbankan menempatkan nasabah berdiri di satu sisi sementara investor/pemilik bank berada di sisi lain.  Mitigasi risiko perbankan sangat berbeda dengan koperasi. Di perbankan model sita jaminan dan denda sangat lumrah diberlakukan. Tetapi di koperasi mufakat antara anggota dan koperasi menjadi satu jalan tengah. Bahkan banyak koperasi memberlakukan pembiayaan bermasalah dengan jargon tanpa denda tanpa sita, solusi dicari bersama karena koperasi adalah milik anggota. Inilah koperasi sejati yang dibangun dari kesadaran untuk mendapatkan kesejahteraan bersama. Di Kopsyah BMI bahkan diberlakukan pembiayaan tanpa jaminan, tanpa denda dan tanpa sita. Jika terjadi pembiayaan atau pinjaman macet maka fokusnya adalah  mencari solusi terbaik, bukan dengan kekerasan  dan tidak ada sita-menyita. Bagi anggota yang macet bisa saja diberikan pembiayaan baru (restrukturisasi), atau penundaan pembayaran (relaksasi) atau jadwal ulang angsuran (reschedulling). Bahkan pinjaman atau pembiayaan bagi yang terkena musibah dapat diputihkan atau disedekahkan. Ini terjadi pada waktu di Lebak dilanda banjir bandang, anggota yang terkena musibah diputihkan pembiayaannya, lalu diba­ngunkan tempat penampungan dan setelah itu diberikan pembiayaan kembali dengan pendam­pingan usaha.

Dari beberapa hal ini menandakan terdapat perbedaan nyata antara industri perbankan fintech, asuransi, dan semua yang bergerak di sektor keuangan dengan koperasi. Kopsyah BMI dalam memberikan benefit kepada anggota dan masyarakat dilakukan dengan membangun rumah gratis, sampai saat ini 386 rumah gratis dibangun dengan biaya @ Rp 55 juta, memberikan beasiswa pada ribuan anak anggota,  membangun sanitasi dhuafa, memberikan santunan yatim dan dhuafa, membangun sarana sanitasi rumah ibadah dan maka, memberikan pengobatan gratis, sunatan massal, santunan kursi roda dan masih banyak aktivitas sosial lainnya. Perbedaan Penulis menilai ada semacam ketidakmampuan kita menerjemah­kan koperasi yang Indonesia seperti pemikiran Bung Hatta, sehingga banyak pihak membebek pada koperasi luar negeri yang nyata-nyata masih menganut paham kapitalisme.

Baca Juga: Membangun Komunikasi Damai

Penulis ingin kembali membuka pemikiran Bung Hatta yang tertuang pada buku Gerakan Koperasi dan Perekonomian Rakyat ( 2021 : 257), antara koperasi barat dan koperasi Indonesia terdapat banyak persamaan tetapi juga perbedaan. Persamaan, kedua golongan koperasi bersumber kepada organisasi dan prinsip Rochdale. Ada perbedaan, karena koperasi barat sungguh pun menentang kapitalisme, menerima kapitalisme sebagaimana adanya. Ia tumbuh dalam masyarakat kapitalis yang berdasarkan individualism dan menuju keuntungan. Koperasi yang tujuannya memenuhi kebutuhan hidup dan bukan keuntungan berjuang dengan menggunakan prinsip kapitalisme. Sementara paham koperasi Indonesia menciptakan masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat  hidup Indonesia asli tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern. Revrisond mengatakan munculnya problem seperti delapan KSP bermasalah yang merugikan negara puluhan triliun rupiah, karena sejak awal tidak dimasukkan dalam pengawasan yang prudent dan profesional sesuai dengan kapasitasnya. Revrisond juga menegaskan, konsep dasar yang perlu dipahami terkait koperasi yakni bahwa koperasi merupakan badan usaha yang berkembang dan tidak baku, koperasi berasal dari Eropa yang kemudian berkembang ke seluruh dunia.

Koperasi bermasalah Penulis berpendapat bahwa koperasi bermasalah ini muncul karena memang sejatinya mereka bukan koperasi sejati. Mereka yang bermasalah ini tidak pantas untuk disebut koperasi. Kita bisa berdebat tentang apakah benar-benar koperasi yang bermasalah ini menjalankan jati diri koperasi atau tidak. Koperasi bermasalah ini adalah lembaga ekonomi yang bajunya koperasi tetapi mereka sebe­narnya bukan koperasi. Dengan jelas penulis katakan mereka adalah koperasi palsu. Pekerjaan rumah kita saat ini adalah bagaimana upaya mencegah lahirnya kembali koperasi palsu yang merugikan masyarakat ini. Penulis katakan merugikan masyarakat karena belum tentu mereka yang dirugikan ini terdaftar dalam buku anggota koperasi palsu ini.

Yang paling penulis kritisi adalah statemen bahwa Indonesia dianggap tidak memiliki gerakan koperasi yang asli Indonesia. Rujukan pendapat Bung Hatta di atas menegaskan bahwa Indonesia memiliki sifat asli koperasi yang berasal dari masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat  hidup Indonesia asli tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern.

Tidak Anti Pengawasan KSP/KSPPS di Indonesia tidak anti pengawasan, koperasi ingin diawasi oleh lembaga yang mengerti tentang jati diri koperasi yang benar. Karena koperasi memang berbeda DNA dengan perbankan dan lembaga keuang­an lainnya. Ravi Shankar dan Garry Cronan, dalam buku yang  diterbitkan oleh ICA Regional Office For Asia dan Facific (2002) yang berjudul Second Critical Study On Co-operative Legislation And Policy Reforms secara garis besar menuliskan regulasi koperasi di Australia, India, Indonesia, Korea, Nepal, Srilanka, Thailand dan Vietnam.

Vietnam dan Korea mengawasi koperasi di bawah bank sentral, sedang­kan Thailand, Srilanka, Nepal, Indonesia, dan India  melakukan pengawasan di bawah otoritas pemerintah dan otoritas koperasi. Robby Tulus pelopor Gerakan Credit Union di Indonesia pada akhir 1960-an, pendiri Credit Union Counseling/Central Organization (CUCO) di Indonesia dan Direktur Regional Asia Pasifik International Cooperative Alliance (ICA, 1996-2002) pada 17-19 November 2022, di Brussels mengikuti 100 tahun Kongres Internasional Koperasi. Koperasi yang bergerak di sektor bank koperasi atau koperasi sektor keuangan berkumpul menegas­kan tentang tata kelola koperasi yang bergerak di sektor ke­uangan.

Acara International Cooperative Banking Association (ICBA), organisasi sektoral ICA, menghasilkan kembali rumusan bahwa koperasi yang bergerak di sektor keuangan harus diawasi juga oleh lembaga yang mengerti tentang jati diri koperasi. Di depan telah disebutkan bahwa Vietnam dan Korea pengawasan koperasi sektor keuangan dilakukan oleh bank sentral. Jepang juga menjadi negara yang pengawasan koperasi sektor keuangan dilakukan oleh bank sentral. Bank sentral di Jepang, Vietnam dan Korea memiliki undang-undang koperasi keuangan tersendiri. Dengan begitu norma pengawasan pada koperasi oleh bank sentral tidak menggunakan norma standar bank komersial pada umumnya. Bank sentral di Jepang, Vietnam dan Korea menghormati otonomi dan kemandirian koperasi sektor keuangan. Atau dengan kata lain, bank sentral memahami perbe­daan antara koperasi dengan perbankan komersial.

Di Thailand, Srilanka, Nepal, dan India pengawasan dilaksa­nakan oleh pemerintah dengan membentuk otoritas pengawasan koperasi tersendiri. Hal ini dilakukan agar prinsip, nilai dan jati diri koperasi tetap terpelihara dengan baik. Koperasi baik berskala besar atau kecil harus diawasi oleh lembaga khusus yang mengerti tentang prinsip, nilai dan jati diri koperasi. Solusi Untuk mencegah lahirnya kope­rasi palsu, Kemenkop yang dibe­rikan kewenangan untuk mela­kukan pengawasan berdasarkan UU No. 25/1992 dapat memben­tuk komisi pengawas koperasi yang menjadikan fungsi komisi pengawasan sebagai organisasi yang mengeluarkan ijin, meng­awasi dan memberikan sanksi bagi koperasi yang melakukan pelanggaran. Moratorium ijin simpan pinjam yang dikeluarkan 17 November 2022 tepat dilaku­kan sampai dengan terbentuknya pengawasan yang lebih baik. Kemenkop perlu memperkuat SDM dalam pengawasan yang melibatkan unsur-unsur koperasi yang dinilai telah mempraktikkan asas, prinsip, nilai dan jati diri koperasi.

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan KSP atau USP Koperasi, Komisi pengawasan kegiatan usaha simpan pinjam koperasi (KPK USPK); sebagai­mana dimaksud ayat (1) terdiri dari unsur: pemerintah/peme­rintah daerah, dewan koperasi dan/atau asosiasi KSP yang sah, akademisi dan/atau praktisi bidang perkoperasian. KPK USPK sebagaimana dimaksud ayat (2) ada di tingkat nasional, tingkatpProvinsi, dan tingkat kabupaten/kota.  Oleh: Kamaruddin Batubara Presdir Koperasi BMI Grup, penerima anugerah Satya Lancana Wira Karya Presiden 2018