Sebanyak 37 kepala daerah berusia muda yang terpilih di Pilkada 2020, 20 di antaranya menjabat sebagai kepala daerah dan 17 sebagai wakil. Ternyata 23 di antara mereka masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan elit politik/pemerintahan lokal/pusat (anak, istri, menantu dan keponakan)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mene­tapkan Bupati Kuantan Singingi Andi Putra sebagai tersangka korupsi pada 19 Oktober 2021. Andi ditetapkan sebagai tersangka suap terkait perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) sawit.

Pria kelahiran Muaro Sentajo 12 Maret 1987 itu merupakan anak H. Sukarnis, bupati ketiga Kabupaten Kuansing. Andi pada saat ditetapkan menjadi tersangka masih tergolong dalam usia muda 37 tahun.

Dan mungkin banyak yang tidak mengetahui bahwa dua kepala daerah yang ditangkap KPK dalam dua bulan lalu usianya masih tergolong muda juga.

Di antaranya Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur yang baru menjabat 3 bulan sebagai bupati usianya baru 37 tahun ketika ditangkap KPK pada 22 Sepetember 2021.

Baca Juga: Peluang Prabowo Pada Pilpres 2024

Andi Merya Nur sama usianya dengan Bupati Probolinggo dua periode. Puput Tantriana Sari yang ditangkap KPK 30 Agustus 2021 lalu bersama suaminya Hasan Aminuddin.

Ketika periode pertama dilantik sebagai bupati ia baru berusia 30 tahun. Ia disebut saat itu sebagai kepala daerah termuda se-Indonesia.

Demikian juga dengan Bupati Nganjuk ke 22, Novi Rahman Hidayat yang terjaring OTT KPK pada 9 Mei 2021 masih berusia 40 tahun. Novi disebut sebagai kepala daerah paling tajir. Ia terpilih menggantikan Taufiqurrahman bupati sebelumnya yang juga tersandung kasus korupsi.

Di tahun 2019 ada nama Agung Ilmu Mangkunegara, mantan Bupati Lampung Utara yang dijerat KPK pada 6 Oktober 2019 silam.

Pada saat ditetapkan sebagai tersangka masih berusia 32 tahun dan dilantik sebagai Bupati pada 21 Maret 2019. Artinya hanya 6 bulan setelah dilantik ia ditangkap KPK dan dijatuhi vonis penjara 7 tahun.

Ada juga nama eks Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar yang ditangkap KPK 12 Desember 2018. Ia ditetapkan sebagai tersangka pada usia 38 tahun.

Kemudian kepala daerah yang tergolong usia muda yang menjadi pesakitan KPK adalah Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah Yasin. Ia waktu itu berusia 38 tahun sama dengan eks Bupati Cianjur. Hampir sama dengan mantan Gubernur Jambi, Zumi Zola yang ditetapkan menjadi tersangka pada 9 April 2018 tepat berusia 38 tahun. Zumi Zola kemudian divonis 6 tahun penjara.

Di tahun yang sama ada juga nama eks Walikota Kendari Adriatma Dwi Putra yang dijerat KPK pada 28 Februari 2018 saat ia masih berusia sangat muda, 29 tahun.

Pada tahun 2017 ada dua kepala daerah yang tergolong masih muda usianya menjadi tersangka kasus korupsi.

Dia adalah Rita Widyasari eks Bupati Kutai Kartanegara yang ditetapkan KPK sebagai tersangka pada saat masih berusia 44 tahun. Ada juga mantan Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip berusia 42 tahun pada saat jadi tersangka.

Paradoks

Kepala daerah yang terjerat kasus korupsi tersebut tergolong sebagai generasi milenial yang lahir antara 1981-1996. Mereka jelas tidak memiliki dosa politik masa lalu.

Harusnya ini menjadi modal besar untuk bekerja lebih baik dibandingan kepala daerah yang umurnya sudah di atas 50 tahun.

Mengingat sejak Pilkada 2005 kepala daerah yang terpilih dominan berumur setengah abad lebih usianya. Sangat menggembirakan sebenarnya kehadiran kepala daerah berusia muda yang telah menghapus image pemimpin itu harus di atas 50 tahun.

Hipotesis yang menyebut kematangan seseorang menjadi pemimpin ketika berusia di atas 50 tahun. Kini tidak sepenuhnya bisa dibenarkan dengan tampilnya kepala daerah yang berusia muda.

Meskipun sebagian dari mereka tidak punya pengalaman birokrasi yang mumpuni. Tapi mereka menjadi pembelajar yang cepat. Lebih energik, progresif dalam berfikir, taktis dalam bekerja plus pekerja keras.

Mereka sebenarnya diyakini lebih kompoten untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Karena mereka punya idealisme dan integritas yang kuat.

Harapan disandarkan masyarakat di pundak mereka melakukan perubahan signifikan dan out of the box dalam menjalankan kewenangan desentralisasi.

Hal ini sangat relevan dengan semangat kaum milineal yang cenderung reformis dan menentang kemapanan (status quo) dalam aspek pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat.

Di sisi lain usia kepala daerah yang muda diyakini akan lebih kaya kreativitas dan invonasi dalam menjalankan roda pemeritahan di daerah.

Artinya kreativitas dan inovasi di sektor pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat sudah pasti akan lebih banyak dihasilkan kepala daerah yang berusia muda.

Sejatinya, para kepala daerah yang berusia muda itu terpilih karena masyarakat berharap mereka dapat membawa perubahan dengan berbagai kebijakan progresif.

Tentunya kebijakan yang diambil jauh dari konflik ke­pentingan dan pro masyarakat. Namun, yang terjadi malah se­baliknya. Mereka menghianati konstituennya – terlibat korupsi.

Ternyata kepala daerah yang masih berusia muda yang sosoknya digambarkan sebagai orang punya idealisme dan integritas tinggi. Tidak sepenuhnya berdaya berhadapan dengan godaan harta duniawi.

Seharusnya kepala daerah yang muda ini yang paling imun terhadap godaan korupsi bukan sebaliknya rentan terseret pusaran arus korupsi.

Sebagai agent change harusnya bisa menjadi teladan. Bila kepala daerah yang mudah saja terlibat korupsi. Lalu kepada siapa lagi kita berharap bisa melawan korupsi?

Sementara generasi tua sudah tidak bisa menjadi teladan. Kalau sudah begini, kita mungkin layak berputus asa. Korupsi memang tidak akan bisa dihapus dari negeri ini.

Dalam pesimisme itu kita masih berharap kepada kepala daerah muda lainnya agar tidak ikut-ikutan terserat arus pusaran korupsi. Karena pada dasarnya karakter korupsi melekat pada kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seseorang.

Perilaku korupsi tidak terkait dengan usia ataupun jenis kelamin. Ketika kewenangan yang dimiliki digunakan untuk kepentingan diri sendiri maka tindak pidana korupsi akan terjadi.

Terdapat sejumlah faktor yang meningkatkan risiko terjadinya korupsi yang dilakukan kepala daerah, seperti biaya politik tinggi sejak tahap pencalonan. Intervensi dalam belanja daerah (pengadaan barang dan jasa); pengelolaan kas daerah; hibah dan bantuan sosial (Bansos); pengelolaan asset dan penempatan modal Pemda di BUMD atau pihak ketiga.

Modus lainnya intervensi dalam penerimaan daerah mulai dari pajak daerah dan retribusi; pendapatan daerah yang bersumber dari pusat.

Kemudian dalam proses perizinan mulai dari pemberian rekomendasi sampai penerbitan perizinan.Termasuk juga dalam rotasi, mutasi dan promosi ASN/suap jual beli jabatan.

Politik Kekerabatan

Memang harus diakui para kepala daerah berusia muda yang memenangkan kontestasi Pilkada berasal dari keluarga elite politik/pemerintahan lokal dan pusat. Terpilih sebagai kepala daerah bisa jadi karena status mereka tersebut.

Bukan karena kapasitas dan kapabilitasnya memenangkan Pilkada yang selama ini dominan dikuasai kalangan berusia tua. Sebanyak 37 kepala daerah berusia muda yang terpilih di Pilkada 2020 itu, 20 di antaranya menjabat sebagai kepala daerah dan 17 sebagai wakil.

Ternyata 23 kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih berusia muda tersebut masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan elit politik/pemerintahan lokal/pusat (anak, istri, menantu dan keponakan).

Kepala daerah yang berasal dari elit politik ini rawan terhadap konflik kepentingan politik atau bisnis keluarga. Politik kekerabatan ini lamban atau cepat sangat berbahaya karena bisa memicu perilaku koruptif merujuk pada beberapa kasus yang telah menjerat kepala daerah yang masih punya pertalian kekerabatan.

Hal itu, menjadi tantangan tersediri bagi perkembangan dan konsolidasi demokrasi di tingkat lokal. Karena proses sirkulasi elit di tingkat lokal secara substansial belum berjalan secara sehat. Artinya hanya milineal yang punya dukungan modal yang mumpuni dan punya pertalian dengan elit berkuasa atau mantan elit yang punya peluang besar terpilih dalam kontestasi Pilkada.

Terlepas dari semua itu. Kita berharap kepala daerah berusia muda yang terpilih di Pilkada 2020 tidak ikut-ikutan terseret pusaran korupsi yang sudah menjerat beberapa kepala daerah berusia muda. Tetaplah menjaga idealisme, integritas dan fokus untuk mewujudan kesejahteraan masyarakat yang telah memberikan amanah. ( Effan Zulfiqar Harahap, Penulis adalah Kepala Pusat Studi Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan – Kota Padang Sidimpuan.)