Pengacara Amri Sebut KPK Salah Kaprah
AMBON, Siwalimanews – Kuasa Hukum Amri sebut Jaksa Penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah kaprah dengan menuntut kliennya 2,6 tahun Penjara
Hal ini disampaikan kuasa hukum Amri, Basry dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (24/11).
Sidang tersebut dipimpin majelis hakim yang diketuai Wilson Shriver dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pledoi terdakwa melalui kuasa hukumnya.
Kata Basry, uang 500 juta yang disebut KPK sebagai penyuap mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy adalah uang sewa tanah milik milik Andre Hehanusa yang di kontrak selama 10 tahun. hal ini sudah jelas dalam fakta persidangan bahwa Amri tidak pernah memaksakan untuk terdakwa Richard Louhenapessy agar mempercepat izin Gerai Alfamidi.
“uang 500 juta berdasarkan fakta persidangan yang ditransfer lebih dulu, ialah uang jaminan sewa yang telah saya sebutkan diatas, bukan uang untuk menyuap atau yang dikatakan jaksa sebagai gratifikasi,” tegas Basry.
Baca Juga: Jaksa Diminta Tetapkan Tersangka Jalan InamosolTerhadap pembelaan itu, kuasa hukum meminta agar hakim yang mengadili perkara ini jeli dalam mempertimbangkan hingga putusan berdasarkan fakta persidangan.
“Majelis hakim yang terhormat, berdasarkan uraian diatas maka sebagai kuasa hukum terdakwa Amri, kami meminta agar ketika memutuskan perkara dapat mempertimbangkan pembelaan kami, dan membebaskan Amri dari segala tuntutan jaksa, membebaskannya dari tahanan,” ujarnya.
Menanggapi pembelaan terdakwa melalui kuasa hukumnya, JPU KPK mengungkapkan tetap pada tuntutan mereka berdasarkan fakta persidangan. Demikian pula kuasa hukum Amri tetap juga pada pembelaan.
Sidang kemudian ditutup majelis hakim dan akan dilanjutkan kembali pada Kamis (8/12) depan dengan agenda putusan hakim.
Dituntut Ringan
Seperti diberitakan sebelumnya, penyuap mantan Walikota Ambon itu hanya dituntut 2,6 tahun penjara, ditambah denda 100 juta rupiah.
Sekalipun terbukti menyuap mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy, Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, menuntut Kepala Perwakilan Regional Alfamidi Ambon, Amri dengan pidana ringan.
Amri dituntut 2,6 tahun penjara, denda Rp100.000.000 dengan ketentuan, apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan.
Tuntutan KPK tersebut dibacakan oleh Taufiq Ibnugroho cs dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (17/11, dipimpin majelis hakim yang diketuai Nanang Zulkarnaen Faizal.
“Menuntut Terdakwa dengan pidana 2,6 tahun penjara, membayar denda 100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan,” jelas Taufig
KPK menyatakan, terdakwa Amri terbukti secara sah meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b Jo.Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain tuntutan 2,6 tahun Penjara, terlebih dahulu KPK juga memperhatikan hal yang memberatkan dan meringankan. Hal memberatkan, terdakwa tidak membantu pemerintah dalam menuntaskan korupsi, kolusi dan nepotisme serta terdakwa berkelit dan tidak kooperatif dalam persidangan.
Hal meringankan, terdakwa belum pernah dihukum. Sidang selanjutnya ditunda, Kamis (24/11) depan dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pledoi oleh terdakwa.
Ditahan KPK
Terbukti menyuap mantan Walikota Ambon, penyidik KPK menahan Kepala Perwakilan Regional Alfamidi, Ambon.
Amri yang hampir empat bulan dijadikan tersangka oleh KPK, akan ditahan selama 20 hari kedepan, sejak 7 September sampai 26 September.
Penahanan terhadap Amri merupakan upaya paksa yang dilakukan lembaga anti rasuah ini. KPK menemukan adanya bukti kuat atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait persetujuan izin prinsip pembangunan cabang retail tahun 2020 di Kota Ambon.
“Karena kepentingan proses penyidikan, penyidik melakukan upaya paksa penahanan untuk tersangka AR selama 20 hari pertama, terhitung 7 September 2022 s/d 26 September 2022,” jelas Juru Bicara Ali Fikri kepada Siwalima, Kamis (8/9) lalu.
Menurut Fikri, KPK menahan Amri di Rutan KPK pada Pomdam Jaya, Guntur, Rabu (7/9).
KPK menyebutkan, dalam konstruksi, AR sebagai sebagai salah satu karyawan PT AM Alfamidi di Kota Ambon, ditunjuk oleh PT Midi Utama Indonesia dengan tugas salah satunya, melakukan pengurusan izin prinsip pembangunan beberapa cabang retail di Kota Ambon untuk tahun 2020.
Selain itu, agar proses pengurusan izin dimaksud dapat segera di terbitkan, AR diduga berinisiatif melakukan pendekatan dan komunikasi dengan RL yang menjabat Walikota Ambon periode 2017 sampai dengan 2022, karena salah satu kewenangan yang ada pada RL yaitu memberikan persetujuan izin prinsip pembangunan cabang retail di Kota Ambon.
Kemudian, AR diduga menawarkan sejumlah uang pada RL untuk mempermudah dan mempercepat terbitnya persetujuan izin prinsip pembangunan cabang retail yang kemudian disetujui RL.
Selanjutnya, RL memerintahkan Kadis PUPR Pemkot Ambon untuk segera memproses dan menerbitkan berbagai permohonan izin yang telah diajukan AR diantaranya, Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
Fikri menyebutkan, dalam setiap dokumen izin yang disetujui dan diterbitkan tersebut, RL meminta agar uang yang diserahkan AR besarannya minimal Rp25 juta yang kemudian ditransfer melalui rekening bank milik Andrew Erin Hehanussa (AEH), pegawai honor Pemkot Ambon, yang adalah orang kepercayaan RL.
Khusus untuk penerbitan terkait persetujuan prinsip pembangunan 20 gerai usaha retail, AR diduga kembali memberikan uang kepada RL sekitar sejumlah Rp500 juta yang diberikan secara bertahap melalui rekening bank milik AEH.
Atas perbuatannya tersebut, tersangka AR disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(Mg-1)
Tinggalkan Balasan