Pangan Nusantara vs Ancaman Krisis Global
SAAT ini dunia sedang dihadapkan situasi sulit, terjadi krisis pangan yang disebabkan keterpurukan pascapandemi covid 19, iklim ekstrim dan adanya konflik Rusia dengan Ukraina. Iklim ekstrim menyebabkan kebakaran dan kebanjiran di berbagai negara. Indonesia diprediksi terjadi La Nina basah sehingga merupakan situasi yang bagus untuk bertanam, namun harus waspada terhadap serangan organisme penggangu tanaman. Konflik antara Rusia-Ukraina yang tak kunjung menemukan titik damai pun variabel utama yang memperburuk pasokan pangan ke berbagai negara terutama Indonesia yang mengimpor banyak gandum. Tak ayal, Krisis pangan melanda dunia, mengakibatkan beberapa negara telah menghentikan ekspor komoditas pangannya karena untuk memperkuat pasokan pangan dalam negerinya. Indonesia sebagai salah satu negara yang tingkat konsumsi gandumnya tinggi yakni 32 kg/kapita/tahun, mencerminkan sebuah negara yang sangat bergantung terhadap gandum dan rentan terhadap perubahan harga pasar internasional, sehingga sangat sensitif dampaknya terhadap ketahanan pangan nasional. BPS mencatat, total impor gandum Indonesia 2021 sebesar 11,6 juta ton, berasal dari Australia, Ukraina, Kanada, Amerika dan lainnya.
Sementara itu, Bank Dunia memproyeksi krisis global ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 dan 2023 diperkirakan melambat, tahun 2022 diperkirakan 4,1% dari level 5,5% perkiraan sebelumnya dan pada tahun 2023, pertumbuhan ekonomi global diprediksi hanya 3,2%. Bank Dunia juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 sebesar 5,2%. Berangkat dari sekilas situasi sulit ini, pemerintah harus melakukan terobosan extraordinary, program aksi yang bukan seperti dulu-dulu lagi. Tapi harus berani mengambil langkah di jalan sunyi, jalan yang jarang bahkan tak pernah ditapaki oleh negara lain dalam meningkatkan produksi, mengembangkan pangan olahan (diversifikasi) hingga mampu menghasilkan produk pangan yang tak hanya untuk kebutuhan dalam negeri, tapi juga untuk menghidupi dunia. Pengembangan pangan lokal adalah sebuah keniscayaan sebagai jalan sunyi membangun pertanian yang maju, mandiri dan modern dalam menghadapi ancaman krisis global.
Mengapa demikian? sebab pangan lokal atau nusantara memiliki keunggulan komparatif yang tak dimiliki negara-negara lain, terutama negara-negara sub tropis. Tak ayal, di pasar ekspor pangan lokal mengisi posisi yang sangat diminati. Oleh karena itu, pengembangan pangan lokal menjadi solusi bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang selama ini masih mengimpor komoditas pangan tertentu sehingga mampu mandiri pangan meskipun diterpa badai krisis pangan global. Pangan impor yang bersoal selama krisis global bukan lagi menjadi masalah bagi Indonesia, sebab memiliki pangan nusantara yang dapat mensubstitusinya. LIPI mencatat, Indonesia memiliki sumber pangan yang kaya dan beragam. Terdapat sekitar 5.500 jenis sumber pangan yang bisa dimanfaatkan di Indonesia. Sebanyak 77 diantaranya adalah sumber karbohidrat yang tersebar di berbagai daerah yang menyesuaikan daerahnya masing-masing. Setidaknya ada beberapa pangan lokal yang harus dikembangkan untuk mensubstitusi impor dan memperkuat stok pangan nasional. Pangan lokal aneka tepung gluten free seperti ubi kayu, ubi jalar, talas, sorgum, sagu dan jagung memiliki potensi pengembangan bernilai ekonomi tinggi dan dapat menggantikan gandum. Tentu pangan lokal lainnya memiliki potensi dan nilai ekonomis yang tak kalah penting juga. Pertama, sorgum untuk mensubtitusi gandum.
Sorgum memiliki manfaat yang tidak kalah saing dengan padi, jagung dan kedelai. Sebagai salah satu pangan alternatif, sorgum memiliki manfaat yang lebih baik daripada tepung terigu karena bebas gluten, kaya kandungan niasin, thiamin, vitamin B6, juga zat besi, dan mangan serta memiliki angka indeks glikemik yang rendah. Sorgum termasuk tanaman yang mudah dibudidayakan karena biaya perawatan yang termasuk murah dan bisa ditanam secara tumpang sari dengan padi gogo, kedelai, kacang tanah atau tembakau, ataupun ditanam dengan pertanaman tunggal. Kedua, ubi jalar. Merupakan pangan lokal yang sangat berpotensi dikembangkan baik aspek budidaya maupun hilirisasinya sehingga menjadi salah satu komoditas andalan ekspor. Pada tahun ini Direktorat Jenderal Tanaman Pangan melalui stimulan bantuan pemerintah mengalokasikan pengembangan 2.000 hektar di beberapa lokasi di Indonesia. Salah satu jenih ubi jalar yang benilai jual tinggi hingga ekspor yakni ubi cilembu atau dikenal juga sebagai honey sweet potato. Keunikan rasa dan tekstur yang dimiliki ubi cilembu menjadikan ubi cilembu digemari pula di beberapa wilayah mancanegara. Tercatat, tren ekspor ubi cilembu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Menurut World Health Organization atau WHO, kandungan kalsium pada ubi jalar lebih tinggi dibanding jagung, beras, terigu maupun sorgum. Sedangkan kandungan vitamin A pada ubi jalar khususnya yang bewarna merah lebih banyak 4 kali dari wortel sehingga baik sekali untuk pencegahan kebutaan Ketiga, ubi kayu atau singkong dan produk olahannya memiliki potensi yang cukup besar. Jika dahulu singkong dianggap sebagai komoditas inferior maka bukan tidak mungkin singkong akan berkembang menjadi komoditi yang superior. Sebagian industri menggunakan singkong sebagai bahan baku tapioka. Kebutuhan tapioka di Indonesia mencapai 9 hingga 10 juta ton namun belum mampu dicukupi keseluruhan dari produksi dalam negeri sehingga pengembangan singkong menjadi sangat prospek, apalagi di tengah situasi krisis pangan global. Keempat, sagu. Merupakan pangan lokal yang sebagian masyarakat Indonesia menjadikannya sebagai pangan pokok pengganti beras. Sagu pun dapat menjadi pangan alternatif pengganti gandum. Potensi sagu Indonesia 85 persen dari total sagu dunia. Sagu memiliki potensi yang luar biasa, selain sebagai bahan baku industri, juga sebagai bahan pakan dan sumber energi serta merupakan bahan pangan yang dapat dikreasikan menjadi beragam olahan makanan.
Baca Juga: Konsistensi Hasil Indikator Mutu PendidikanPemanfaatan sagu sangat beragam yakni di antaranya untuk beras sagu, kue, mie sagu dan gula cair. Kelima, talas atau dikenal juga sebagai Colocasia esculenta L. Talas memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan gula yang rendah sehingga menjadi pilihan alternatif sebagai pengganti nasi dari beras. Terdapat tiga jenis talas yang dikembangkan yaitu talas suriname, talas pratama, dan talas belitung/mbote/kimpul. Ketiga talas tersebut dapat diolah menjadi beragam produk, diantaranya yaitu tepung, mie instan, beras talas, tembakau daun talas, dan pelet pelepah talas. Selama ini talas telah menembus pasar ekspor yakni Jepang, Korea dan tentunya potensi pasar dalam negeri pun sangat menjanjikan sehingga talas dapat menjadi penguat cadangan stok pangan nasional.
Langkah Afirmatif Pengembangan pangan lokal ini harus didukung oleh political will dengan kebijakan dan program yang tepat. Pengembangannya harus dengan menggelontorkan bantuan benih unggul, pupuk yang berimbang, pendampingan yang serius dan membangun korporasi petani dengan mekanisasi pertanian modern untuk menaikkan kelas petani. Oleh karena itu, penulis mengapresiasi dan mendukung penuh pengembangan pangan lokal yang menjadi salah satu fokus program Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam menghadapi ancaman krisis pangan dunia dan memperkuat stok pangan dalam negeri guna meningkatkan ekspor.
Program ini harus disambut semua pihak. Bahkan harus menjadi agenda pembangunan nasional bersama. Menurut hemat penulis, ada beberapa strategi yang dapat digunakan memajukan pengembangan pangan lokal. Pertama, selain menggenjot aspek produksi, pemerintah pun harus mampu mendesain market driven agar pangan lokal seperti ubi jalar, singkong dan lainnya menjadi pangan dengan permintaan tinggi. Kedua, menjadikan pangan lokal sebagai lifestyle yang cocok untuk kalangan milenial dan sebagai tren baru menggunakan branding produk. Ketiga, komoditas pangan lokal harus bersertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI). Ini variabel penting di tengah upaya pemerintah mengembangkan pangan lokal hingga menembus pasar ekspor. Pasalnya, regulasi dan isu sensitif tentang pangan menjadi pertimbangan suatu negara untuk dapat mengimpor pangan dan bahan pangan dari negara lain.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, industri makanan dan minuman yang berorientasi ekspor harus memenuhi standar mutu internasional terkait sistem manajemen keamanan pangan. Khusus untuk pengembangan sorgum, salah satu permasalahan yang dihadapi adalah produktivitas. Karena itu, kunci keberhasilan pengembangannya adalah meningkatkan produksi pada lahan yang sesuai. Penanganan sorgum harus bersinergi antara hulu, on farm dan hilir, serta dilakukan pendekatan skala kawasan yang lebih luas dan offtaker. Hal lain yang harus menjadi perhatian serius adalah bahwa dampak geopolitik membuat kita tidak bisa lagi merancang program bisnis as usual. Dengan demikian, perlu gerakan yang dapat mendorong aspek hilirisasi pangan lokal supaya tumbuh industri-industri baik skala rumah tangga, industri kecil maupun besar di pedasaan. Manfaat ke depannya sangat luar biasa yakni menumbuhkan dan menyerap banyak tenaga kerja serta ada keseimbangan desa dan kota. Keuntungan lain dari aspek pasar, yakni apabila gerakan mengkonsusmsi pangan lokal tumbuh besar, petani akan semangat memproduksi. Untuk lebih menggaungkan ini, dibutuhkan peran milenial. Oleh: BiyadunA Humas Kementerian Pertanian
Tinggalkan Balasan