Pandemi dan Ekonomi Digital
PENYAIR Joko Pinurbo agaknya bermaksud menyindir, setidak-tidaknya begitulah tafsiran saya, dengan puisinya itu. Telepon genggam begitu berkuasa (menggenggam). Jika ada inovasi yang mampu menjungkirbalikkan nyaris semua aspek kehidupan manusia dalam tempo singkat dengan cara yang tidak terbayangkan sebelumnya, itu ialah penemuan telepon genggam kurang dari setengah abad lalu. Yang kemudian disusul dengan penemuan telepon cerdas (smartphone) dua dekade setelahnya. Mendadak, banyak hal dalam kehidupan kita menjadi usang, digantikan dengan kebiasan-kebiasan baru. Untuk menyebut salah satu di antaranya itu tadi, setiap saat kita sibuk dengan telepon di tangan dan tidak memedulikan sekeliling. Kesibukan kita dengan telepon cerdas itulah yang kemudian melahirkan istilah ‘suku kepala tertunduk’ yang pertama kali dipopulerkan di Tiongkok menyusul ditemukannya Pokemon GO. Orang-orang terus bermain dengan telepon selulernya dalam keadaan tertunduk sekalipun dalam keadaan berjalan.
Di kota-kota besar pemandangan ini dengan mudah disaksikan di jalanan. Di Jepang, mereka membuat frasa baru yakni ‘klan jempol’ untuk menggambarkan orang-orang yang selalu sibuk dengan jempolnya di telepon. Orang Australia yang terkenal kreatif membuat frasa baru yang nyeleneh, memopulerkan istilah phubbing– phone snubbing, cuek bebek dengan telepon. Cuek dengan apa yang terjadi di sekitar dan tetap fokus pada telepon pintar membutuhkan keahlian dan seni tersendiri, kata orang Australia berkelakar. Dalam skala tertentu, mereka juga suka dipanggil smombie– smartphone zombie. Yang terakhir ini agaknya terlalu berlebihan. Setiap teknologi baru, pada awalnya, pasti melahirkan perdebatan etis tentang dampak buruknya. Dulu, satu setengah abad lalu, saat telepon rumah ditemukan, banyak yang khawatir dengan perubahan perilaku masyarakat yang maunya duduk di dekat telepon dan bicara berlama-lama dengan alat itu juga membuat frasa untuk mereka sebagai maniak telepon. Namun, kita lupa sebentar perdebatan itu, dan kini melihat aktivitas menundukan kepala atau menyibukkan jempol di perangkat telepon itu, saat-saat ini. Bahkan, pada masa pandemi makin meningkat untuk tujuan produktif.
Sebagian lagi tentu saja untuk bersenang-senang demi mengakali pembatasan mobilitas yang menjenuhkan jiwa. We Are Social dan HootSuit dalam laporan bertajuk Digital 2021 yang dikeluarkan awal tahun ini memperlihatkan pengguna internet di Indonesia pada Januari 2021 melonjak menjadi 202,6 juta. Itu bertambah 27 juta atau naik 16% jika dibandingkan dengan posisi yang sama 2020. Pertambahan jumlah pengguna internet di Indonesia ini dua kali lebih banyak jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan global yang hanya 7%. Penetrasi internet Indonesia atau proporsi jumlah penduduk yang bisa mengakses internet (73,7%) juga lebih besar dari rata-rata dunia yang hanya 59,5%, sedangkan kawasan Asia Tenggara hanya 69%. Pengguna media sosial di Indonesia, seperti sudah bisa diduga, pada Januari 2021 mencapai 170 juta pengguna, naik 10 juta jika dibandingkan dengan awal 2020.
Jumlah ini setara dengan 61,8% dari jumlah penduduk. Pengguna media sosial tertinggi di dunia, yakni sebesar 79% dari jumlah penduduknya ada di negara Eropa Barat dan Utara. Namun, agaknya Indonesia dapat menjadi ibu kota media sosial global jika melihatada 345,3 juta sambungan telepon seluler/bergerak saat ini. Penjelasan sederhana kenapa jumlah sambungan telepon bergerak 125,6% dari jumlah penduduk ialah terdapat banyak orang yang memiliki sambungan seluler lebih dari satu. Lantas berapa lama waktu yang digunakan orang Indonesia mengakses internet dan media sosial? Masing-masing 8 jam 52 menit untuk internet dan 3 jam 14 menit untuk media sosial. Sebagai perbandingan, rata-rata penduduk dunia menghabiskan waktu menggunakan internet selama 6 jam 54 menit dan memakai media sosial selama 2 jam 25 menit dalam sehari. Jika ditotal selama 2020, jumlah waktu yang dipakai orang Indonesia menggunakan telepon cerdas (hanya yang memakai sistem operasi Android saja) 127,1 miliar jam, yang artinya jumlah ini naik 45%. Ada 6,32 juta aplikasi yang diunduh selama setahun senilai US$480 juta.
Data ini tidak mengherankan kalau melihat setiap pengguna internet memiliki rata-rata 10,5 akun media sosial. Luar biasa! Ekonomi digital Di seluruh negeri, perekonomian anjlok karena pandemi. Mobilitas dibatasi. Tapi apakah ekonomi benar-benar berhenti? Apakah masyarakat tidak berbelanja sama sekali? Mungkinkah ekonomi digital yang tidak kasatmata itu malah justru menemukan momentumnya? Coba periksa statistik ini; sebanyak 87,1% dari seluruh pengguna internet mengaku berbelanja di toko daring, sebagian besar melakukannya lewat aplikasi.
Baca Juga: Evolusi Kerja ASN di Era New NormalPara pengguna internet itu paling banyak belanja makanan dan keperluan pribadi, termasuk kesehatan yang jumlahnya meningkat 61,3% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan yang besar ini mudah ditebak mengingat kondisi kita selama tahun lalu, senilai US$4,66 juta. Urutan kedua tertinggi pertumbuhan belanjanya ialah untuk kategori mainan dan hobi yang melesat 51,5% dengan nilai belanja US$4,44 juta, disusul belanja pakaian dan kecantikan yang naik 50,7% dengan nilai US$9,81 juta, dan ada 37,34 juta yang melakukan pembelian makanan take away yang membuat Gojek, Grab, Shopee, dan sejenisnya sibuk lalu-lalang selama tahun lalu. Bahkan, ketika kita tengah bekerja dari rumah, bisa dilihat Gojek, Grab, dan yang lain tetap di jalanan memenuhi pemesanan daring. Memang, tidak semua mendapatkan ‘berkah’ ekonomi daring. Bisnis travel dan akomodasi menjadi pihak yang menderita karena permintaan anjlok hampir 50% jika dibandingkan sebelum virus korona menyerang. Kalau diringkas secara total, tahun lalu ada 138,1 juta orang berbenja lewat internet senilai US$30,31 miliar, nilai ini naik 49,0% dari tahun lalu.
Sebagian besar transaksi ini menggunakan pembayaran digital yang membuat cara pembayaran ini naik pesat. Dalam skala nasional, geliat dan kontribusi ekonomi digital tahun lalu, seperti diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, mencapai US$44 miliar atau setara Rp638 triliun dengan asumsi kurs rupiah Rp14.500 per dolar Amerika atau tumbuh 11% dari tahun sebelumnya. Tidak mengherankan jika pertumbuhannya akan berlipat-lipat untuk beberapa tahun mendatang. Dua sisi dari ekonomi digital berkembang dengan cara yang hebat.
Sisi teknologi dan marketplace menyediakan wadah yang hampir tak terbatas mengikuti kreativitas. Pun begitu dari sisi produsennya yang mendadak tumbuh dengan militansi marketing yang luar biasa. Hebatnya lagi, sebagian besar dari mereka ialah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Tidak sulit untuk menemukan para pengusaha tangguh dalam menyiasati kesulitan mobilitas itu di ‘pasar’ digital, termasuk media sosial. Mereka cepat beradaptasi dengan teknologi digital. Apabila menyelisik lebih dalam lagi, usaha mikro itu ternyata dimiliki atau dijalankan oleh perempuan hebat yang sebagian di antaranya masuk kategori emak-emak. Sebuah survei yang dilakukan Facebook Indonesia baru-baru ini menemukan tidak kurang dari 85% pelaku bisnis kecil dan menengah yang berbisnis di Facebook dimiliki atau dijalankan perempuan. Hebatnya, bisnis mereka dapat menghasilan pemasukan. Masih menurut survei Facebook, hampir 56% bisnis kecil dan menengah yang ada di Facebook mengaku memilih beralih menggunakan aplikasi digital, seperti Instagram, Whatsapp, dan Facebook.
“Sebanyak 25% pelaku UMKM saat ini mengaku penghasilan mereka didapat dari platform digital,” ungkap Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hattari kepada media baru-baru ini. Seperti yang sering kita dengar dari orang-orang bijak, selalu ada hikmah di balik kesulitan. Pandemi ini membuat ekonomi digital menggeliat dengan cara yang belum pernah ada presedennya. Bahkan, ada yang mengatakan, dengan maksud berkelakar, pemimpin perusahaan yang paling hebat di dunia ialah virus korona karena berhasil mendigitalisasi ekonomi dan juga banyak aspek kehidupan lainnya. Inilah masa ekonomi digital menemukan momentumnya. Agar tidak melemah, momentum itu tentu saja harus terus dijaga, terutama pemerataan teknologi digital hingga ke daerah-daerah, iklim dan lingkungan yang mendukungnya. Untuk saat-saat seperti ini, tabik Joko Pinurbo, biarlah telepon genggam menggenggam tangan kita lebih lama kalau itu memang mendatangkan sedikit kegembiraan dalam hidup yang sesak ini.( Rahman Mangussara , Deputi Direktur di Otoritas Jasa Keuangan )
Tinggalkan Balasan