TENTARA Nasional Indonesia (TNI) yang profesional dan merakyat merupakan harapan bagi seluruh Bangsa Indonesia di tengah adanya kegusaran sebagian masyarakat yang melihat bagaimana sebagian politikus mencoba mendekati militer dengan tujuan memperkuat posisi elektoralnya jelang Pemilu 2024.Meski secara resmi kebijakan negara masih belum mengizinkan prajurit TNI untuk ikut memilih dalam pemilu karena didasari adanya bayang-bayang rasa trauma masyarakat atas politi­sasi kekuatan militer untuk mempertahankan kekua­tan pemerintahan Orde Baru, bukan berarti saat ini tidak ada celah untuk menggunakan atau meman­faatkan personel TNI untuk kepentingan politik praktis.

Sebagaimana kita sering kali mendengar adanya istilah ‘perang bintang’ jelang pelaksanaan pemilu.Kekhawatiran dimanfaatkannya kekuatan TNI secara sembunyi-sembunyi oleh kelompok politik yang memiliki kepentingan elektoral dapat menimbulkan dampak negatif terhadap proses reformasi yang sudah dijalankan. Selain itu, dengan menggiring personel TNI masuk dalam kumparan aktivitas politik praktis, dapat merusak profesio­nalisme TNI.

Meskipun kekuasaan ialah barang yang menggiurkan yang dengannya setiap prajurit yang dekat dan loyal dengan lingkaran kekuasaan berpotensi mendapatkan posisi strategis, dorongan untuk dekat dengan kekuasaan dapat membuat prajurit TNI menjadi pesakitan. Itu karena mereka akan jauh dengan rakyat, terpengaruh oleh kekuatan politik golongan, dan tidak lagi berorientasi pada gagasan politik kenegaraan.Di hari kelahirannya, TNI sangat perlu merenungkan kembali konsep TNI manunggal bersama rakyat yang mendudukkan institusi dan personel TNI sebagai bagian dari rakyat. Berada di tengah-tengah rakyat untuk mengayomi dan melindunginya, serta secara tegas menolak adanya ajakan, bujukan, dan pengaruh untuk melibatkan diri dalam aktivitas politik praktis.Akan sangat disayangkan jika TNI tidak bisa menegaskan komitmen kebangsaan mereka yang menolak adanya segala bujukan atau godaan untuk terlibat dalam aktivitas politik praktis. Itu karena tanpa komitmen ini, akan ada dorongan dari kelompok politik tertentu yang berusaha menjadikan TNI sebagai alat untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan sehingga memunculkan persepi masyarakat yang buruk terhadap TNI.

Komitmen TNITragedi Mei 1998 menggambarkan posisi TNI yang menjadi pesakitan karena dianggap menjadi penghalang atau musuh rakyat. TNI saat itu dicap sebagai alat kekuasaan yang keberadaannya ialah untuk mempertahankan kelanggengan pemerintahan Orde Baru. Itu karena sikapnya yang bersama-sama aparat kepolisian juga bertindak represif dalam menyikapi aksi demonstrasi, baik oleh mahasiswa maupun kelompok masyarakat sipil lainnya. TNI sesaat setelah jatuhnya kekuasaan Orde Baru juga terus disalahkan atas berbagai peristiwa masa lalu dan dianggap sebagai penghambat kemajuan demokrasi.Patut disyukuri bahwa pada 1999, Panglima TNI saat itu, Jenderal TNI Wiranto, mengambil langkah dan keputusan tepat untuk segera melakukan reformasi internal di tubuh TNI. Kebijakan ini bukan menjadi hal yang populis di sebagian anggota TNI, melainkan menjadi penentu diperolehnya kembali kepercayaan rakyat.

Kebijakan reformasi internal TNI menjadi beriringan dengan arah kebijakan reformasi yang dikehendaki rakyat yang mana TNI mulai dikembalikan pada posisinya sebagai alat pertahanan, dipisahkan dengan institusi kepolisian sehingga dapat meminimalisasi adanya potensi tindakan-tindakan represif jika terjadi aksi demonstrasi. Selain itu, dalam agenda reformasi TNI, dilarang untuk berpolitik dan berbisnis sebab dapat membuat TNI sangat jauh menyimpang dari tugas pokok dan fungsinya.

Baca Juga: Gelombang Ketiga

Dorongan untuk mewujudkan profesionalisme TNI memang perlu dilakukan secara bertahap. Perlu sebuah proses adaptasi dan pembiasaan untuk pada akhirnya mampu diterima secara baik oleh semua unsur di dalam militer. Hasilnya ialah saat ini proses depolitisasi militer telah mencapai pada tahapan yang sepenuhnya dianggap memuaskan meski memang ada sebagian pihak yang tetap ingin mencoba menarik-narik kembali militer untuk berpolitik. Untuk menghadapi persoalan adanya tarik-ulur kepentingan politik itu, Panglima TNI perlu dengan tegas menyatakan diri bahwa institusi militer tidak lagi dan tidak akan masuk ke ranah politik sebab akan menghancurkan nilai-nilai demokrasi yang sudah dibangun.Bagi TNI, yang perlu diingat ialah proses mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya membutuhkan adanya sebuah pengorbanan. Kembali diserukannya TNI manunggal bersama rakyat, sejatinya saat ini tidak diposisikan untuk kepentingan politik praktis. Namun, untuk kepentingan politik kebangsaan, yaitu memperkuat kedaulatan negara dan bangsa di mata negara lain.

Politik kebangsaan yang dapat dan perlu dimainkan TNI ialah dengan menjadikan bangsa ini tetap bersatu dan berjuang dalam menghadapi tantangan masa depan.Rakyat saat ini sudah kembali memiliki kepercayaan dan atensi yang positif terhadap TNI dan hal itu tentunya harus dijaga dengan baik.

Di sisi lain, rakyat juga saat ini mulai membutuhkan bantuan TNI dan ini yang kemudian perlu mendapat atensi. Kembali berpolitik bukan sebuah pilihan bijak, melainkan kembali ke rakyat merupakan sebuah pilihan yang sangat bijak. Ketika kembali ke rakyat, sesungguhnya TNI benar-benar mengimplemen­tasikan apa yang disebut manunggal dengan rakyat.

Tantangan hal yang perlu diapresiasi ialah ketika kemudian TNI memiliki kepedulian terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Sebagaimana dalam hal penanggulangan atas ancaman ketahanan pangan, penanganan bencana alam, dan tragedi kemanusiaan atau dalam mencegah adanya radikalisasi.Pada momentum HUT ke-76 TNI, muncul tantangan kepada Panglima TNI untuk terus menjaga dan meyakinkan rakyat bahwa TNI akan terus mampu menjadi tentara yang profesional dan merakyat.

TNI merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari rakyat dan berdiri di atas semua kelompok, bukan berada di dalam kelompok kepentingan tertentu. Selain itu, dorongan untuk menjadikan TNI yang profesional perlu dilakukan melalui adanya penguatan TNI secara tugas pokok dan fungsinya. Pemenuhan kesejahteraan prajurit, perbaikan, dan modernisasi alutsista menjadi hal penting yang tetap harus diperhatikan. Semoga di HUT ke-76 TNI ini semakin menguatkan komitmen kebangsaan TNI sebagai tentara yang profesional dan merakyat.( Yusa Djuyandi, Dosen Ilmu Politik Unpad, Kepala Pusat Studi Keamanan Nasional dan Global di Unpad periode 2017-Februari 2021 Dosen Luar Biasa di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara (Seskoau))