NAMLEA, Siwalimanews – Anggota DPRD Buru Robby Nurlatu menyesali sikap Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku yang mencaplok lahan adat seluas 422 Ha untuk proyek pembangunan bendungan Waeapo tanpa ada ganti rugi ke masyarakat.

“Kami sangat sesali sikap BWS yang ambil lahan adat tanpa ganti rugi ke masyarakat,” ucap Nurlatu kepada wartawan di Namlea, Jumat (19/6).

Menurutnya, negara melalui BWS Maluku hanya menyediakan anggaran sebesar Rp 3,56 miliar untuk memberikan santunan kepada 39 masyarakat adat.

Padahal bendungan ini pada perencanaan, awal titiknya tidak berada di kokasi yang saat ini, namun telah bergeser ke hutan adat milik marga Wael, Latbual dan Nurlatu.

“Hutan milik tiga marga ini, tanpa sepengetehuan mereka telah dimasuksn ke dalam kawasan hutan lindung seluas 422 Ha dari rencana 580 Ha yang nanti dipakai untuk proyek pembangunan bendungan,” tuturnya.

Baca Juga: Kapolda Ingatkan Dispar Maluku Bantuan Harus Tepat Sasaran

Dikatakan, proyek bendungan ini menelan investasi Rp 2,223 triliun ini saat pertemuan dengan Bupati Buru bersama forkopimda, tokoh adat, tokoh masyarakat adat dan pemilik lahan pada 17 Juli lalu, dari dokumen perjalanan yang ditandatangani utsu Maluku untuk perjalanan dinas monitoring proyek BWS, juga tidak terdapat konsultan dari PT Indra Karya, melainkan Pegawai Kejati Maluku, Sofyan Jali yang terdaftar dalam dokumen sebagai konsultan.

“Pada prinsipnya, masyarakat adat dan saya selaku anak adat, semuanya mendukung program pemerintah. Yang terpenting jangan merugikan rakyat,” tandasnya.

Menyangkut dengan hal ini, kata Nurlatu ia miliki pandangan yang berbeda dengan diberlakukannya perpres tersebut, pasalnya penggunaannya ditetapkan diganti kerugian proyek bendungan yang benar-benar sangat merugikan pemilik lahan.

Ini sangat merugikan, sebab yang dibayar atau dapat dinilai oleh tim kajian penilaian publik (KJPP) hanya tanaman dan pohon kayu putih. Sementara yang lain, seperti Kayu Meranti, rotan serta  tempat keramat dan lahan tidak ada dalam komponen ganti rugi.

“Tempat keramat dan lain lainnya tidak dinilai oleh tim KJPPdalam ganti rugi tanah, serta jenis lainnya pada wilayah tersebut,” tandasnya.

Nurlatu juga mempersoalkan Perpes Nomor 62 tahun 2018, yang baru ditandatangani di bulan Agustus oleh Presiden Jokowi, terutama pasal 8 ayat (3) dimana ada kalimat yang berbunyi, santunan mestinya tidak perlu dipakai. Kalimat santunan ini perlu dijelaskan secarah ilmiah, sebab berpotensi melemahkan rakyat dalam hal ini pemilik lahan.

Penggunanaan Perpres Nomor 62 tahun 2018 dalam ganti rugi lahan masyarakat adat di proyek bendungan Waeapo, sangat bertentangan dengan UU Nomor 2 Tahun 2012, pasal 3, tentang ganti rugi lahan serta tanah yang ada dalam  wilayah dampak sosial kemasyarakatan akibat  bendungan tersebut.

Seharusnya ganti rugi itu mengacuh pula produk hukum yang lain seperti, Perpes 107 tahun 2016 tentang ganti rugi  pengadaan tanah, Perpes Nomor 3 tahun 2016 tentang proyek starategis nasional waduk, bendungan, bandara, pelabuhan dan lainnya.

“Hemat saya, Perpres Nomor 62 pasal 8, hanya baru bisa diberlakukan, bila pemerintah dan DPR RI merevisi UU Nomor 2  Tahun 2018 dan atau dicabut pasal 33 tentang ganti rugi tanah. Jika tidak dicabut, maka perpres tersebut sangat bertentangan dan sangat merugikan kami masyarakat sebagai pemilik lahan,” cetusnya.

Pada kesempatan itu Nurlatu juga minta kementrian terkait termasuk Dinas Kehutanan untuk bertanggungjawab, dengan  penetapan sstatus kawasan hutan lindung pada wilayah hutan milik masyarakat adat.

Pasalnya, hutan ini sebelumnya adalah hutan produksi yang dikonversi masyarakat karena di dalam kawasan itu ada lahan kayu putih, pohon meranti dan rotan yang selalu diambil dan diolah hasilnya oleh pemilik lahan.

“Ini masuk dalam hutan produksi lahan kayu putih dan hutan konversi milik adat yang dilindungi oleh negara dan bukan hutan lindung, karena tidak memenuhi syarat hutan lindung ” tegasnya.

Untuk itu, Nurlatu menyarankan presiden dan bawahannya untuk mengkaji ulang lahan masyarakat adat, karena hak adat juga dilindungi dan diakui oleh negara. Untuk itu, harus ada ganti rugi yang lain sesuai amanat undang-undang.

BPN dan tim KJPP harus menghitung ulang lagi dan memasukan luas lahan 422 Ha termasuk pohon kayu meranti di dalam kawasan tanah itu, agar juga diganti kerugiannya kepada masyarakat pemilik lahan, sebab tanah di hutan Pulau Buru ini bukan tanah negara, dan bukan juga tanah negara yang pernah dibeli atau dikontrakkan dari masyarakat adat.

“Dalam pertemuan kemarin ada 39 orang yang datang dan yang diwakili telah sepakat dengan pemberian santunan Rp 3,56 milyar tersebut. Tapi mereka bukan memiliki seluruh lahan itu. Mereka hanya punya sebagian lahan kayu putih dan beberapa kebun yang ditanami singkong, pisang, kelapa dan cengkeh,” tuturnya.

Dia menambahkan, sampai saat ini belum ada solusi ganti rugi lahan seluas 422 Ha milik masyarakat adat. Oleh sebab itu hal ini perlu cermati oleh semua pihak agar tidak kaku dalam menafsirkan UU maupun peraturan lainnya. (S-31)