MRL, Dari Riset ke Produksi Massal
DI tengah penyebaran dan penularan covid-19 yang semakin banyak dan meluas, keinginan untuk segera mendapatkan vaksin dan obat merupakan hal yang sudah pasti ditunggu-tunggu seluruh pihak. Tujuannya agar pasien yang terinfeksi virus ini dapat segera disembuhkan, penyebaran dan penularannya dapat dikendalikan. Hal ini mendorong berbagai lembaga riset, perguruan tinggi, dan pelaku industri obat dan farmasi berlomba-lomba untuk menemukan formula vaksin atau obat virus tersebut.
Salah satu produk dalam negeri untuk mendeteksi covid-19 melalui hembusan nafas, sedang diproduksi massal agar dapat dimanfaatkan lebih luas oleh masyarakat dengan biaya yang terjangkau. Dalam kaidah riset, sebagaimana dalam pedoman tingkat kesiapterapan teknologi atau yang biasa disebut TRL (technology readiness level), terdapat 3 tahap untuk menguji sebuah riset dikatakan terbukti atau proven, yaitu; (1) riset dasar (proof of concept), (2) riset terapan (scale-up), dan (3) riset pengembangan (development). Masing-masing tahap memiliki 3 level untuk menunjukkan pada level mana capaian riset tersebut telah dilakukan. Hal ini untuk membentuk pola riset yang terstruktur dan sistematis, serta memitigasi risiko kegagalan dari sebuah riset.
Hasil riset yang proven, perlu dilakukan diseminasi dan komersialisasi agar hasil riset diketahui dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas. Berbagai lembaga riset maupun perguruan tinggi melakukan diseminasi kepada banyak pihak agar tertarik untuk memanfaatkan hasil risetnya. Sementara komersialisasi merupakan tahapan untuk membawa hasil riset ke proses industrialisasi agar memberikan nilai tambah dan nilai jual. Transformasi dari hasil riset ke proses industrialisasi ini yang perlu diterjemahkan dalam dunianya masing-masing. Hal ini dikarenakan hasil riset dan proses industrialisasi merupakan dua hal yang sangat berbeda.
Sebuah riset menghasilkan satu atau beberapa prototipe yang proven, sementara proses industrialisasi bagaimana memproduksi prototipe tersebut dalam jumlah yang optimum . Dalam menerjemahkan hasil riset ke proses industrialisasi, MRL (manufacturing readiness level) merupakan salah satu tools yang digunakan untuk mengukur kesiapan maturitas manufaktur dalam memproduksi hasil riset. Tools ini juga untuk memitigasi risiko dan kontinuitas proses produksi hasil riset ke produksi massal.
Setidaknya ada empat fase dalam menerjemahkan hasil riset ke proses industrialisasi, yaitu; (1) analisis solusi material (material solution analysis), (2) pengembangan teknologi (technology development), (3) pengembangan rekayasa dan manufaktur (engineering and manufacturing development), dan (4) produksi dan penyebaran (production and deployment).
Baca Juga: Satu Tahun Pandemi Covid-19Secara umum ada sembilan kriteria dalam MRL meliputi; (1) kebutuhan teknologi dan industri, (2) desain produk industri, (3) kecukupan pembiayaan dan pendanaan, (4) ketersediaan bahan baku dan penolong, (5) kemampuan proses produksi dan pengendalian, (6) manajemen mutu produk, (7) tenaga kerja teknis dan produksi, (8) fasilitas manufaktur, dan (9) manajemen manufaktur. Kecukupan pemenuhan kriteria ini dijabarkan dalam 10 level MRL untuk mengukur pencapaian penerjemahan dari hasil riset ke proses industrialisasi. Penerjemahan hasil riset ke proses industrialisasi belum sepenuhnya menjadi perhatian lembaga riset, perguruan tinggi, maupun pemangku kepentingan. Seringkali penghasil riset berasumsi bahwa hasil riset dapat secara langsung diproduksi massal.
Hal ini yang mengakibatkan hasil riset terjebak dalam valley of death sehingga hasil riset tidak dapat dikomersialkan. Perlu pemahaman bersama antara penghasil riset dengan pelaku industri dalam menerjemahkan hal tersebut. Bukan hal yang mudah untuk menerjemahkan hasil riset ke produksi massal atau proses industrialisasi. Butuh waktu dan proses yang tidak singkat. Kolaborasi lembaga riset, perguruan tinggi, dan pelaku industri merupakan strategi mempercepat penerjemahan hasil riset ke produksi massal.
Sejalan dengan semangat pemerintah yang memberikan insentif kepada pelaku usaha yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 153 Tahun 2020, berupa pengurangan penghasilan bruto sebesar maksimal 300% dari biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian da pengembangan (litbang).
Semoga insentif ini memacu dan memberikan daya tarik bagi pelaku usaha untuk berpartisipasi dalam kegiatan litbang.( Moko Nugroho, Analis Kebijakan, Kementerian Perindustrian)
Tinggalkan Balasan