PADA awalnya problem gizi ‘hanya’ menjadi domain Kementerian Kesehatan. Berbagai program perbaikan gizi yang dicanangkan erat kaitannya dengan sektor kesehatan, seperti imunisasi/vaksinasi dan sebagian di antaranya berhubungan dengan konsumsi pangan seperti program pemberian makanan tambahan serta fortifikasi pangan, yang tentu saja bermuara untuk mencapai masyarakat agar hidup lebih sehat.

Sekitar tahun 2018, pemerintah melibatkan 23 kementerian/lembaga untuk mengentaskan stunting, yang merupakan masalah gizi kronis akibat kurang pangan yang berlangsung lama. Koordinasi penanggulangan stunting diamanatkan pada Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Capaian selama 5 tahun terakhir menunjukkan turunnya prevalensi stunting dari 30,8% (Riskesdas 2018) menjadi 21,5% (SKI 2023).

Kelembagaan gizi kini diperkuat dengan lahirnya Badan Gizi Nasional (BGN). Meskipun tugas utama BGN ialah menyelenggarakan program makan bergizi gratis untuk siswa sekolah atau santri di pesantren, sesuai dengan fungsinya sebagaimana tercantum dalam Perpres No 83 Tahun 2024, BGN juga harus menyelenggarakan pemenuhan gizi bagi anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Sebelum program makan bergizi gratis diimplementasikan oleh pemerintah baru Prabowo-Gibran, Indonesia pernah menyelenggarakan Program Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMT-AS) dengan koordinator Bappenas. PMT-AS memiliki sasaran siswa SD di seluruh pelosok Tanah Air dengan memberikan snack/jajanan lokal seminggu tiga kali. Program ini berlangsung pada 1993-1998 dan mulai surut saat otonomi daerah diberlakukan.

Kemudian muncul program lain, yaitu Program Susu UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yang mencakup sekolah-sekolah SD di beberapa provinsi. Program ini mendapatkan susu bantuan dari United States Department of Agriculture (USDA) Amerika dan hanya berlangsung sekitar tiga tahun.

Baca Juga: Perundungan dan Ketahanan Mental dalam Pendidikan Spesialis Indonesia

Saat ini program gizi andalan pemerintah untuk murid SMP/SMA ialah pemberian tablet tambah darah (TTD) yang harus diminum seminggu sekali sepanjang tahun untuk remaja putri. Dalam implementasinya program ini dapat dikatakan belum optimal. Mengapa? Meski ketersediaan TTD di tingkat puskesmas hingga sekolah sudah lebih dari cukup, kepatuhan siswi untuk minum TTD masih sangat rendah.

Berbagai alasan yang muncul di kalangan remaja putri untuk tidak minum TTD ialah karena rasa mual sehabis minum tablet, bau besi saat bersendawa, kurangnya edukasi sehingga TTD dianggap hanya cocok untuk wanita hamil, kurang optimalnya dukungan dari pihak sekolah, dll.

Dalam praktiknya, ketika sekolah tidak mendeklarasikan hari tertentu sebagai hari minum TTD di sekolah dan membiarkan tablet diminum di rumah, maka kegagalan program ini sudah tampak di depan mata. Banyak siswi yang tidak meminumnya sesuai anjuran sehingga uang negara hilang percuma.

Kegiatan monitoring kepatuhan minum TTD bersumber pada pihak sekolah. Bila monitoring tidak dilakukan serius dan pelaporan hanya sekadar memenuhi kewajiban administratif, sesungguhnya program TTD menjadi tidak bisa diandalkan sebagai program gizi untuk siswi-siswi SMP/SMA.

Bila Badan Gizi Nasional juga harus menanggulangi masalah gizi pada anak-anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui sebagaimana tercantum dalam Perpres tentang BGN, maka revitalisasi posyandu harus dapat diwujudkan. Pemberdayaan posyandu mensyaratkan perlunya pembenahan program makanan tambahan (PMT).

Partisipan posyandu yang berasal dari keluarga miskin harus mendapat bantuan pangan baik berupa meals (makanan lengkap) atau bahan pangan seperti telur dan susu untuk mencegah problem gizi. Fenomena masalah gizi, menurut UNICEF, berakar dari kemiskinan yang menyebabkan keluarga-keluarga miskin tidak mampu mengakses pangan secara cukup.

Problem gizi pada ibu hamil/menyusui ialah kurang energi kronis (KEK) dan anemia akibat kurang gizi besi, sedangkan masalah gizi anak balita ialah gizi kurang, gizi buruk, dan stuntiing. Sungguh terlambat kalau makanan tambahan hanya diberikan kepada anak bergizi buruk atau yang sudah terlanjur stuntin seperti selama ini terjadi. Yang harus dilakukan oleh posyandu ialah mencegah anak-anak balita agar tidak menderita gizi kurang (satu tahap sebelum jatuh ke dalam gizi buruk dan stunting), serta menjamin ibu hamil/ibu menyusui tidak ada yang menderita KEK.

Bila BGN mampu melakukan revitalisasi posyandu, hal ini akan berdampak kuat terhadap peningkatan gizi masyarakat. Sudah selayaknya pemerintah mengambil tanggung jawab besar dalam merumuskan dan membiayai program-program perbaikan gizi masyarakat.

Pemerintah jangan merasa rugi menyelenggarakan program bantuan makanan untuk siswa-siswa sekolah, anak balita, dan ibu hamil/menyusui. Ini semua menjadi investasi penting untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh menyongsong Indonesia Maju 2045. Adanya Badan Gizi Nasional akan mendorong implementasi program-program gizi yang lebih berkualitas dengan anggaran yang cukup dan sasaran yang lebih menyeluruh. Calon-calon generasi muda yang akan menjadi pemimpin bangsa dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik harus dibekali dengan gizi yang baik. Pemerintah akan dianggap lalai apabila SDM kita dibiarkan terus berkelindan dengan masalah gizi yang tak kunjung tuntas ditangani.

Badan Gizi Nasional sebagai badan baru telah diberi anggaran cukup besar yakni Rp71 triliun untuk tahun 2025. Bandingkan dengan anggaran Kementan (2024) yang hanya Rp14,6 triliun. Namun, harus diingat, bahwa sasaran peserta didik yang harus dijangkau oleh Badan Gizi Nasional berjumlah lebih dari 80 juta orang, dan semuanya harus diberi makan tiap hari dengan biaya makan Rp15.000 per siswa per porsi.

Anggaran yang besar memerlukan kehati-hatian dalam pengelolaannya. Perlu diwaspadai peluang-peluang yang mungkin terbuka untuk terjadinya korupsi. Integritas seluruh jajaran yang terlibat dalam program makan bergizi gratis dipertaruhkan agar program ini memenuhi sasaran dengan sebaik-baiknya.

Untuk itu, struktur SDM Badan Gizi Nasional harus disiapkan secara maksimal. Akan sangat banyak staf atau pejabat yang akan mengisi formasi lowongan di BGN dan mungkin banyak yang belum berpengalaman menangani program kolosal dengan sasaran puluhan juta orang. Semuanya harus mempunyai persamaan persepsi tentang program nasional berupa makan bergizi gratis.

Rambu-rambu penyelenggaraan makan bergizi gratis harus dibuat secara rinci, tetapi tetap membuka peluang keberagaman implementasi program di tingkat lapangan. Dengan kondisi Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa serta kondisi geografis yang juga berbeda, tentu mustahil untuk menyeragamkan menu atau jenis makanannya. Yang juga penting diperhatikan ialah program makan siang bergizi gratis merupakan investasi SDM yang bersifat jangka panjang.

Untuk itu, pemerintah ataupun lembaga legislatif jangan buru-buru menilai apakah program ini berhasil atau gagal. Keberhasilan program ini dapat dilihat satu dekade yang akan datang dengan beberapa tolok ukur, seperti meningkatnya status gizi (tinggi badan anak sekolah), angka kehadiran di sekolah yang tinggi, serta skor membaca, sains, dan matematika dalam Program for International Student Assessment (PISA) yang semakin membaik. Selamat datang Badan Gizi Nasional.Oleh: Ali Khomsan Guru Besar Pangan dan Gizi IPB University (*)