Merekonstruksi Imlek dan Toleransi

KESEMPATAN warga Tionghoa merayakan Imlek sesungguhnya menjadi jauh lebih terbuka sejak Presiden Ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Setelah sempat dilarang dirayakan di era Orde Baru, kini perayaan Imlek cenderung kembali meriah.
Menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, berbagai mal dan fasilitas publik banyak dihiasai dengan lampion serta warna merah yang mencolok mata.
Imlek tahun ini yang bertepatan dengan 2576 Kongzili dirayakan pada Rabu, 29 Januari 2025. Penetapan tanggal 29 Januari 2025 sebagai hari libur nasional didasarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri.
Hari besar itu menjadi momen penting bagi masyarakat Indonesia, khususnya komunitas Tionghoa, untuk merayakan tradisi yang kaya makna dan budaya. Pemerintah juga telah menetapkan cuti bersama pada Selasa, 28 Januari 2025, sehingga waktu yang tersedia bagi masyarakat untuk mempersiapkan perayaan Imlek menjadi lebih leluasa, seperti berkumpul bersama keluarga, mengunjungi kerabat, dan mempersiapkan berbagai tradisi khas Tahun Baru Imlek. Secara umum, perayaan Imlek berjalan cukup meriah.
Namun, bukan berarti semua masyarakat telah menerima dengan terbuka perayaan Imlek. Di Kota Banjar, misalnya, sesuai dengan instruksi dari Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Surat No B-270/SJ/BIX/KP.02/01/2025 tertanggal 17 Januari 2025 tentang Pemberitahuan Pemasangan Ornamen Imlek, kantor Kemenag kemudian menghiasi kantornya dengan lampu lampion dan pernak-pernik Imlek.
Keputusan kantor Kemenag itu langsung menuai pro dan kontra. Pemasangan ornamen Imlek bukan hanya bentuk penghormatan terhadap umat Konghucu, melainkan juga dimaksudkan sebagai cerminan nyata dari komitmen kantor Kemenag untuk mewujudkan moderasi beragama.
Keputusan Kemenag Kota Banjar itu menegaskan bahwa kantor Kementerian Agama tidak hanya berfungsi sebagai tempat administrasi, tetapi juga sebagai ruang pelayanan dan perlindungan bagi semua umat beragama di Indonesia. Momen perayaan Imlek dikonstruksi sebagai inspirasi bagi peningkatan toleransi dan penguatan persaudaraan antarsesama. Namun, dalam kenyataannya, ternyata membangun toleransi tidak semudah membalik telapak tangan.
Toleransi
Pengertian toleransi pada dasarnya ialah ‘bertahan terhadap sesuatu yang tidak disukai seseorang agar dapat bergaul lebih baik dengan orang lain’ (Vogt, 1997). Definisi itu mencakup dua elemen penting. Pertama, terdapat unsur ketidaksetujuan terhadap praktik, keyakinan, atau orang. Kedua, meskipun terdapat ketidaksetujuan, hal itu tidak membatasi orang lain yang menganut pandangan tersebut atau berperilaku seperti itu (Creppell, 2003).
Dalam toleransi, ada nilai fundamental, yaitu hak-hak orang lain harus dihormati, yang mana mereka diperbolehkan untuk menjadi diri mereka sendiri dan orang lain tidak boleh dirugikan karena perbedaan pandangan mereka (Dobbernack dan Modood, 2012). Dalam masyarakat yang multipluralis, toleransi mutlak dibutuhkan sebagai dasar untuk mengembangkan interaksi dan komunikasi antarkelompok yang berbeda.
Pemerintah sendiri selama ini telah berkomitmen untuk terus mengembangkan toleransi dan menghindarkan masyarakat dari praktik-praktik intoleransi. Namun, disadari bahwa untuk mewujudkan toleransi yang benar-benar solid, ternyata bukan hal yang mudah.
Hingga saat ini, pelanggaran hak masyarakat, diskriminasi identitas, dan konflik kekerasan berbasis SARA masih kerap terjadi di masyarakat.
Kurangnya pengetahuan dan pendidikan di bidang-bidang itu (hak asasi manusia, identitas, serta kerugian individu dan sosial) berkontribusi terhadap intoleransi dan kekerasan terhadap anggota masyarakat.
Masyarakat yang intoleran cenderung tumbuh menjadi masyarakat yang radikal. Semakin tidak toleran, semakin besar pula potensinya menjadi individu radikal (Meiza, 2023). Sebaliknya, masyarakat yang toleran, mereka umumnya bersikap lebih fleksibel, cair, dan mudah menenggang meski di antara mereka dan kelompok yang lain masih ada perbedaan.
Dalam perayaan Tahun Baru Imlek, memang bagi kelompok yang intoleran, pemasangan pernak-pernik Imlek yang didominasi warna merah rentan ditafsirkan dan rawan tergelincir dimaknai sebagai sikap eksklusif dan bahkan tindakan arogansi. Bisa dibayangkan, etnik Tionghoa yang jumlahnya minoritas, tetapi menguasai banyak sendi kehidupan ekonomi, tentu bagi sebagian orang dirasa tidak adil. Etnik Tionghoa masih dipandang sebagai orang luar, para pendatang yang kemudian lebih menguasai kehidupan ekonomi daripada kelompok pribumi.
Permukiman etnik Tionghoa yang cenderung mengelompok di zona-zona yang mahal, sekolah anak-anak Tionghoa yang banyak mendominasi sekolah-sekolah swasta yang mahal, mal-mal tertentu yang banyak dikunjungi etnik Tionghoa, dan lain sebagainya memang menyebabkan perbedaaan gaya hidup, seolah menjadi penyekat yang membatasi perbedaan daripada menjadi titik silang antaretnik yang berbeda membangun komunikasi.
Alih-alih membaur dan mengembangkan interaksi yang lebih cair, dalam kehidupan sehari-hari, etnik Tionghoa kerap dituding terlalu eksklusif.
Merekonstruksi
Perayaan Imlek sebetulnya bukan sekadar tradisi merayakan pergantian tahun bagi etnik Tionghoa, melainkan merupakan momen sosial yang penuh makna bagi masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk merekonstruksi makna Imlek yang lebih cair. Imlek ialah momen untuk menyambut tahun baru dengan penuh harapan, tetapi sekaligus juga momen penting untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan, rasa syukur, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Tradisi perayaan Imlek melambangkan keberuntungan dan doa untuk masa depan yang lebih cerah. Berbagai kegiatan khas, seperti pemberian angpao, makan malam bersama keluarga, serta pertunjukan barongsai dan kembang api, menjadi simbol harapan dan kebahagiaan.
Masalahnya ialah bagaimana memastikan agar perayaan Imlek tidak berhenti hanya menjadi perayaan yang makin meneguhkan perbedaan dan eksklusivitas. Perayaan Imlek harus dimaknai baru, tidak hanya sekadar membawa kegembiraan bersama, tetapi juga menjadi pendorong untuk menciptakan serta membangun kehidupan yang multikultural secara bersama.
Membangun toleransi memang menjadi agenda yang terus perlu dikembangkan. Dengan kedewasaan sikap kita, seluruh umat yang berbeda agama sudah cukup cerdas untuk memahami mana ranah akidah yang tidak bisa diganggu gugat dan mana ranah muamalah yang menjadi acuan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menyikapi simbol-simbol agama yang berbeda, seperti gereja, kelenteng, pohon cemara, atau lampion harus dengan sikap yang benar-benar bijaksana. Ketika ada pihak yang memasang simbol-simbol itu, jangan kemudian dibaca sebagai ancaman, tetapi merupakan bagian dari keberagaman yang memperkaya Indonesia.Oleh: Bagong Suyanto
Guru Besar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga.(*)
Tinggalkan Balasan