Mentalitas Pemenang
TAMPAKNYA 2023 akan menjadi tahun yang tidak mudah bagi siapa pun. Mengawali tahun baru, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perppu Cipta Kerja, yang setahun sebelumnya UU ini telah dibatalkan MK. Wajar jika kemudian muncul kontroversi, baik yang menyangkut prosedur maupun substansi. Jokowi menyebut alasan menerbitkan perppu karena melihat kondisi global yang tidak menentu akibat perang antara Rusia-Ukraina. Malah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan, perang itu berdampak besar bagi kondisi dunia dan memperparah krisis energi hingga krisis keuangan banyak negara.
“Pertimbangannya ialah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi, maupun beberapa negara sedang berkembang yang sudah masuk kepada IMF itu lebih dari 30 dan sudah antre juga 30,” kata Airlangga di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Airlangga melanjutkan, “Pemerintah juga menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.” Sejatinya dalam situasi sulit tidak cukup diselesaikan baik hanya dengan perppu maupun UU, diperlukan pengembangan mentalitas pelaku usaha yang lebih sesuai dengan dinamika perubahan.
Pemenang vs pecundang
Di era disrupsi, mentalitas pemenang sangat menentukan keberhasilan. Pemenang penuh dengan energi positif, selalu percaya diri berusaha keras memenangi pertarungan. Sementara itu, pecundang bermental lembek, mudah menyerah pada tekanan kehidupan. Mentalitas pemenang ialah pola pikir pertumbuhan, kelimpahan, dan kesuksesan. Seseorang dengan mental pemenang mencari pertumbuhan di setiap kesempatan. Pemenang paham betul bagaimana memelihara pola pikir ini dengan perencanaan, tindakan, dan kebiasaan yang tepat.
Berbeda dengan pecundang, pemenang melihat kegagalan sebagai power. Daya dorong untuk memperbaiki kesalahan dan tidak takut melangkah ke depan. Ibarat pendaki gunung, pemenang tidak takut melihat ketinggian dan dalamnya jurang. Terpeleset ialah hal jamak dalam setiap pendakian. Pendaki sejati melihat kesulitan sebagai tantangan yang harus ditaklukkan. Kegagalan ialah bagian dari tangga keberhasilan yang harus ditapaki satu demi satu dengan sabar.
Pemenang yakin dengan pilihannya. Visinya jelas dan fokus. Jika ingin berhasil, orang harus tahu bagaimana tetap fokus pada tujuan, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional. Manakala seseorang tidak memiliki visi dan tujuan hidup yang harus diperjuangkan, hidup akan dikendalikan peristiwa acak yang terjadi di sekitar, bukan sebaliknya, kita yang menjadi pengendali lingkungan.
Jika pecundang lebih menonjolkan sikap iri ketika melihat keberhasilan orang lain, pemenang melihat pemenang lain sebagai inspirator dalam mengapai cita-cita. Keberhasilan orang lain tidak membuatnya berkecil hati atau merasa terkalahkan, akan tetapi justru membuat yang bersangkutan semakin bersemangat. Orang-orang sukses di lingkungan terdekat berkontribusi dalam membentuk sikap kita terhadap kehidupan. Manakala seseorang ingin menumbuhkan sikap mental yang positif, kelilingi diri dengan orang-orang yang penuh pikiran positif yang akan mendorong pertumbuhan.
Pemenang dapat menjaga keseimbangan antara ‘bekerja’ dan ‘bermain’. Untuk maju orang memang harus bekerja keras dan fokus. Namun, sebagai homo ludens, manusia juga memiliki insting bermain. Pekerja keras sangat mudah masuk ke mode workaholic. Banyak meeting, menyelesaikan berbagai urusan, menjawab e-mail, WA, dsb. Akan tetapi, sebagai pribadi orang juga memiliki hak untuk diri sendiri. Setelah bekerja keras kita perlu jeda sejenak beristirahat dan bersenda-gurau agar kondisi psikologis tetap bugar. Atur waktu sedemikian rupa. Usahakan kedua hal penting ini dapat dilakukan secara berimbang.
Mentalitas pemenang penuh tanggung jawab. Tidak melempar kesalahan kepada orang lain. Manakala seseorang lebih sering mengarahkan jari telunjuknya kepada orang lain, pertanda yang bersangkutan miskin tanggung jawab. Salah satu tantangan terbesar dalam menciptakan kehidupan yang menyenangkan, damai, dan melimpah ialah bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Hanya dengan bertanggung jawab orang dapat membentuk masa depan gemilangnya. Kata responsibility terdiri dari dua kata, response dan ability. Itu berarti kita memiliki kemampuan untuk secara sadar memilih respons yang tepat terhadap apa pun yang terjadi dalam hidup.
Pemenang ialah mereka yang disiplin dan konsisten. Menjaga rutinitas yang menjadi passion-nya. Disiplin dan konsistensi berjalan seiring. Tanpa disiplin, sulit untuk konsisten dalam tindakan. Tanpa konsistensi, otot mental disiplin akan melemah dari waktu ke waktu. Disiplin membantu orang membuat pilihan yang tepat untuk tujuan hari ini, besok, dan seterusnya sehingga yang bersangkutan menjadi konsisten dalam berperilaku. Disiplin membuat individu tidak membiarkan emosi atau hambatan sesaat mencegahnya menggapai tujuan dan membuat keputusan yang tepat.
Pengalaman di sekolah
Apabila seseorang memiliki emosi yang belum terselesaikan sering kali dapat bermanifestasi menjadi perasaan negatif. Negativitas dapat menampilkan dirinya sebagai pembicaraan diri yang negatif. Merasa buruk dengan diri sendiri dan pesimistis menyangkut banyak hal. Pandangan menjadi ternoda oleh citra diri yang negatif. Melihat segalanya serba tidak memadai. Oleh karena itu, salah satu cara yang efektif untuk mengubah self-talk negatif ialah dengan memperbanyak syukur. Pendidik perlu mendorong siswa untuk lebih banyak melatih pikiran agar fokus pada rasa terima kasih. Membiasakan diri melihat sisi positif dari setiap pengalaman belajar, dan bukan sebaliknya.
Bersyukur juga melahirkan sikap yang lebih terbuka, rendah hati, dan bersedia menerima kritik sebagai masukan berharga. Kerendahan hati adalah pengakuan tidak memiliki klaim kebenaran sepihak dan mengakui kalau orang lain juga memiliki perspektif yang sama-sama valid dan layak dipertimbangkan. Ketika seseorang mengirimkan umpan balik yang tidak disukai, terdapat beberapa opsi, merasa terluka, menolak, dan marah, atau memilih membuka diri untuk pemahaman yang lebih baik. Oleh karena itu, menghadirkan kelas yang dialogis dan reflektif menjadi pilihan yang sangat disarankan.
Pendidikan ramah anak ialah pendidikan yang dipenuhi dengan cinta dan ketulusan budi. Dengan cinta siswa akan berlatih untuk menjadi pribadi yang lebih lapang dada dan ringan membantu. Siapa pun yang hidup dengan cinta dan ketulusan budi, tidak akan pernah membuat garis pembatas yang menghalangi solidaritas antarsuku, ras, dan agama. Karena penuh cinta, pemenang tidak ingin mengalahkan orang lain, justru berusaha menfasilitasi siswa lain agar dapat berkembang menjadi pemenang pula. Jika jiwa telah dipenuhi dengan cinta, kebencian tidak ada tempat lagi di hati. Oleh: hoiruddin Bashori Dewan Pengawas Yayasan Sukma Jakarta (*)
Tinggalkan Balasan