Mengulik Beragam Prestasi Nahdlatul Ulama
SELAMA sepekan terakhir, perayaan ulang tahun Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) telah mencapai puncaknya. Sejumlah besar pemimpin politik dan agama memuji pencapaian NU saat massa nahdliyin yang bangga dan setia memeriahkan acara seratus tahun tersebut di seluruh negeri.
Tentu banyak pujian jika kita melihat perjalanan NU yang mencapai usia 100 tahun tersebut. Ketika ulama tradisionalis KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah mendirikan NU di Surabaya pada 31 Januari 1926, hanya sedikit orang yang membayangkan bahwa NU akan menjadi organisasi Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia.
Pada pertengahan 1920-an, Islam tradisionalis mendapat ancaman ketika dirambah modernisme. Selain itu, kaum tradisionalis memiliki sedikit sejarah dalam membentuk organisasi yang kuat; beberapa kelompok sebelumnya yang didirikan oleh ulama tradisionalis berukuran kecil dan biasanya berumur pendek. Meskipun demikian, NU berkembang pesat menjadi perwakilan utama Islam tradisionalis di Indonesia.
Saat ini dominasi NU tidak terbantahkan. Menurut data Lembaga Survei Indonesia baru-baru ini, 30% orang Indonesia (sekitar 70 juta orang) ialah anggota NU dan 60% responden menggambarkan diri mereka ‘merasa dekat’ dengan organisasi tersebut. Lebih lanjut, dilihat dari data survei selama dua dekade terakhir, dukungan NU terlihat semakin besar pada saat organisasi modernis, seperti Muhammadiyah, menyusut. Kemampuan NU untuk beradaptasi dan berkembang pesat dalam modernisasi Indonesia merupakan prestasi besar dan sesuatu yang tidak dapat diprediksi oleh para pengamat 50 tahun atau 100 tahun yang lalu.
Sebagian karena ukurannya yang sangat besar, NU juga menjadi kekuatan politik yang signifikan. Ia ikut mendirikan Partai Masyumi pada 1945 tetapi keluar dan mendirikan partai sendiri pada 1952. Wakil Partai ini menjabat di semua kabinet dari 1953-1971, dan NU juga mengumpulkan 18% suara dalam pemilihan umum di 1955 dan 1971.
Baca Juga: Alih Wahana Sebagai Upaya Modernisasi SastraNU menggunakan posisinya di dalam pemerintahan untuk mengarahkan pendanaan dan sumber daya ke sekolah dan lembaga NU. Selain itu juga membawa ribuan nahdliyin ke dalam jajaran pegawai negeri, terutama Kementerian Agama, sehingga berkubu secara permanen di dalam birokrasi. Selama era 1950-an dan 1960-an, NU mendapat reputasi untuk oportunisme dalam politik. Tetapi pada awal periode Orde Baru, NU menjadi sumber penentangan utama terhadap rezim sampai memutuskan untuk menarik diri dari politik formal pada 1984.
Paradoksnya, NU tidak pernah lebih kuat dari saat ini meskipun bersikap ‘apolitis’. NU telah menjadi salah satu pilar utama dalam dukungan elektoral Joko Widodo (Jokowi), bahkan bisa dibilang yang terpenting kedua setelah PDIP. Ini memberikan ‘perisai Islam’ bagi Presiden ketika ia diserang oleh kelompok islamis pro-Prabowo pada pemilu 2014 dan 2019. NU juga telah mendukung dan bahkan mendorong tindakan keras Jokowi terhadap islamis ‘radikal’ sejak 2017.
Pada pemilu 2019, hampir dua pertiga nahdliyin memilih Jokowi sekaligus membantu memberi kemenangan yang lebih besar daripada jika dibandingkan 2014. Sebagai imbalan atas dukungan tersebut, NU mendapat ‘reward’ wakil presiden dan empat menteri di kabinet saat ini. Jumlah personel NU tersebut sedikit turun dari enam orang pada periode pertama Jokowi. Jokowi juga telah mengangkat konsep Islam Nusantara NU secara internasional. Bahkan mempromosikan organisasi tersebut sebagai contoh yang moderat dan toleran bagi dunia muslim sehingga membantu meningkatkan profil globalnya.
Apakah NU semoderat klaim para pengagumnya, tentu masih bisa diperdebatkan. Dibandingkan dengan banyak ormas Islam lainnya, NU memang memiliki prestasi yang substansial dalam mempromosikan nilai-nilai progresif. Mantan ketua dan presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah penganjur demokrasi, hak asasi manusia, dan toleransi beragama yang pandai berbicara dan menginspirasi yang telah berbuat banyak untuk membuka jalan menuju Reformasi.
Banyak aktivis, cendekiawan, dan ulama melanjutkan dorongan progresif ini dengan melindungi agama minoritas, mempromosikan dialog antaragama, dan menolak upaya islamis untuk memperluas hukum syariah. Fakta bahwa Pancasila dan UUD 1945 diterima oleh sebagian besar ormas Islam sebagai pernyataan akhir tentang peran agama dalam negara, tidak lain karena inisiatif dan advokasi NU.
Tapi ada aspek lain dari perilaku NU yang tergolong tidak moderat. Nahdliyin sangat terlibat dalam pembunuhan massal anggota partai komunis pada 1965-1966, dan banyak pemimpin NU terus menolak diskusi sejarah terbuka tentang peran organisasi dalam peristiwa berdarah ini. Dalam dekade terakhir, cabang NU yang kuat di Jawa Timur telah mengampanyekan pelarangan Syiah, sebuah pandangan yang telah lama didukung oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin, mantan pemimpin tertinggi NU. Tokoh NU juga mendesak pemerintah Jokowi melarang Hizbut Tahrir Indonesia pada 2017, dan mendesak pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono membubarkan Ahmadiyah.
Masalah terakhir untuk dipertimbangkan adalah seberapa baik NU telah melayani keperluan puluhan juta pengikutnya. NU tentu saja mendorong ajaran dan praktik ritual tradisionalis (aswaja). Dengan demikian memberikan sebagian besar komunitas muslim dengan bimbingan dan makna spiritual. Ulama NU tetap menjadi sosok penting dan terhormat dalam kehidupan umat.
Tetapi dalam banyak hal, NU sebagai sebuah organisasi kurang berhasil memberikan layanan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan ekonomi berkualitas tinggi kepada banyak anggotanya, terutama jika dibandingkan dengan jaringan sekolah, universitas, rumah sakit, dan klinik bersalin ormas Islam lain. NU memang memiliki sekolah dan pesantren yang sangat bagus, tetapi standar keseluruhan sangat bervariasi. Sampai saat ini, NU hanya memiliki segelintir universitas untuk melayani anggotanya yang sangat banyak. Kelemahan-kelemahan ini sebagian disebabkan oleh administrasi dan perencanaan yang tidak efisien dan kurang akuntabel.
Sementara itu, NU memiliki banyak hal untuk dirayakan dalam melihat ke belakang pada abad pertamanya. NU juga harus mencari cara agar dapat melayani kebutuhan material anggotanya dengan lebih baik selama 100 tahun kedua. Oleh: Greg Fealy Profesor emeritus politik Indonesia di The Australian National University, Canberra (*)
Tinggalkan Balasan