KEMENTERIAN Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 19 Tahun 2022 mengenai Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di 11 WPP-NRI (wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia) ditetapkan 29 Maret 2022. Estimasi potensi stok ikan lestari turun 0,53 juta ton dari 12,54 juta ton menjadi 12,01 juta ton dengan variasi JTB yang lebih rendah berkisar 64%-76% kecuali WPP 718 tetap 80% dari estimasi potensi stok ikan.  Begitu pula dengan status tingkat pemanfaatannya juga relatif memburuk hanya 10,1% yang masih moderate (upaya penangkapan dapat ditambah); 89,9% sudah fully exploited dan over-exploited (upaya (upaya penangkapan dipertahankan dengan monitor ketat dan ada yang harus dikurangi). Sedangkan JTB berdasarkan Kepmen-KP 50/2017 masing-masing WPP 80% dari estimasi potensi stok ikan di seluruh WPP. Sebelumnya berbagai pihak mengkritisi angka kuota penangkapan ikan di setiap zonasi penang­kapan ikan terukur, karena sudah usang serta tidak mempertimbangkan status tingkat peman­faatan.  Ada pula yang menyoroti masalah akan tersisihnya nelayan lokal jika kapal asing masuk, dan dikhawa­tirkan mengeruk kekayaan sumber perikanan nasional sehingga mengancam keberlanjutan sumber daya ikan, karena status pemanfaatan kelompok jenis ikan tertentu di WPP tertentu yang sudah fully exploited dan over exploited.

Di lain pihak KKP berusaha meyakinkan bahwa penangkapan ikan terukur justru terkendali berda­sarkan zona tertentu. Hal itu karena berdasarkan output control kuota penangkapan ikan untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkung­annya, dengan memberikan kesempatan berusaha dalam rangka meningkatkan keadilan dan kesejah­teraan nelayan. KKP membagi wilayah penangkap­an dalam empat zona fishing industry dengan kuota penangkapan ikan yang ditawarkan untuk industri jumlahnya 4,89 juta ton kemudian direvisi menjadi 5,99 juta ton.  Polemik kebijakan penangkapan ikan terukur khususnya sistem kontrak ini tentu sangat menarik dianalisis mendalam dengan kejernihan berpikir yang objektif. Sebelum menentukan kuota penangkapan sebaiknya dihitung terlebih dahulu berapa existing capacity jumlah GT (gross tonnage) kapal penangkap ikan per alat tangkap yang beroperasi di wilayah ZEEI, sehingga ada perban­dingan berapa kali lipat kapasitas penangkapan ikan yang akan ditingkatkan.  Kapasitas penangkapan ikan izin pusat (ukuran kapal di atas 30GT) selama 3 tahun terakhir berkisar antara 400.000-550.000 GT. Di sisi lain target kuota penangkapan ikan terukur jumlahnya 4,89 juta sampai 5,99 juta ton. Jika mengacu Kepmen KP Nomor 98/2021 produktivitas tertinggi 1,72 dan yang terendah 0,51.

Dengan asumsi rata-rata produktivitas sekitar 1 untuk memenuhi kuota 4,89 juta saja jumlah GT kapasitas penangkapan ikan izin pusat harus ditingkatkan lebih dari 10 kali lipat (kuota dibagi jumlah GT dikali produktivitas). WPP 718 yang akan dijadikan percontohan sistem kontrak penangkapan ikan terukur merupakan wilayah penangkapan ikan paling favorit dan terpadat jumlah kapalnya, berkisar 1.600-1.700 kapal atau 30% dari keseluruhan kapal izin pusat. WPP 718  yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafura, Laut Timor bagian timur. WPP 718 termasuk dalam wilayah zona 03 di dalamnya juga mencakup WPP 715 yang meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau.   Dalam Kepmen KP Nomor 19/2022, WPP 718 merupakan satu-satunya WPP yang selama lima tahun lebih tidak berubah sama sekali, angka estimasi potensi, JTB, dan status pemanfaatannya semuanya tetap sama, sehingga validitas hasil kajiannya sangat meragukan. Bahkan sangat tidak masuk akal tak ada perubahan sama sekali dalam kurun waktu yang cukup lama. Namun karena tidak ada hasil kajian lain, mau tidak mau terpaksa digunakan sebagai alat analisis mengukur kebijakan penangkapan ikan terukur.

Kapasitas penangkapan ikan dihitung berdasarkan jumlah tonase kotor (GT=gross tonnage) izin pusat di zona 03 sekitar 193.192 GT (data perizinan KKP, 15 April 2021), sementara target kuota penangkapan ikan terukur sebanyak 2.676.999 ton. Jika dibandingkan, jumlah GT akan ditingkatkan lebih dari 13 kali lipat. Ironisnya di WPP 718 status tingkat pemanfaatan semua kelompok jenis ikan semuanya berwarna kuning (fully exploited) dan berwarna merah (over-exploited).

Berdasarkan data 3 tahun terakhir kapasitas penangkapan ikan di WPP 718 berkisar antara 160.000-180.000 GT, dan diperkirakan jenis ikan tertentu sudah mulai depleted yang mengancam stok ikan lestari (maximum sustainable yield). Penangkapan yang berlebih tentunya akan membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah ini.  Bahkan dalam konsultasi publik juga diakui bahwa hasil tangkapan cumi di WPP 718 dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun. Jika kapasitas penangkapan cumi ditingkatkan 2 kali lipat saja jumlah tonase kotornya, keberlanjutan sumber daya cumi di WPP 718 hanya tinggal kenangan. Cumi akan musnah sebelum terpenuhinya kuota penangkapan ikan terukur.  Masalah yang sama juga terjadi di zona konsesi lainnya, jika kapasitas penangkapan ikan dibandingkan dengan kuota penangkapan ikan memiliki kesenjangannya sangat tinggi. Bahkan di zona 02 yang meliputi WPP 716 dan 717 untuk mencapai target kuota penangkapan ikan 882.675 ton, maka jumlah GT kapasitas penangkapan ikan izin pusat yang saat ini di zona 02 (13d.707GT) harus ditingkatkan lebih dari 64 kali lipat. Sesuatu hal yang merupakan target peningkatan tertinggi di antara semua zona penangkapan ikan terukur. Peningkatan kapasitas penangkapan ikan yang sangat signifikan sangat riskan dan mengancam keberlanjutan.

Baca Juga: Kompleksitas dan Transformasi Ekonomi

Kuota penangkapan ikan sebaiknya dikaji ulang dan jangan dikaitkan dengan target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) perikanan Rp12 triliun. Peningkatan kapasitas penangkapan ikan harus bertahap dan diantisipasi dampak mitigasinya.  Kementerian harus mempersiapkan SDM yang handal dan paradoksnya pelaku usaha penang­kapan ikan domestik saat ini menghadapi kesulitan karena keterbatasan jumlah nahkoda handal dan ABK (anak buah kapal) yang tersertifikasi. Tidak mudah memperoleh SDM yang handal di sektor usaha penangkapan ikan, karena tidak semua orang dapat bekerja keras dan bertahan ber­minggu-minggu bahkan berbulan-bulan dengan tingkat risiko tinggi mengarungi ombak lautan. Meningkatkan jumlah ABK yang tersertifikasi tidak semudah membalik telapak tangan apalagi di WPP yang minim jumlah sumber daya manusia­nya. Penangkapan ikan terukur yang berdasarkan angka statis  JTB semata akan sangat berbahaya karena jumlah sumber daya ikan sangat dinamis, ikan hidup bermigrasi tentu berbeda dengan pertambangan. Jika pengelolaan sumber daya ikan berpedoman pada kata kunci terukur maka seharusnya lebih hati-hati (prudent) dan mengacu data yang valid.

Tujuan meningkatkan kapasitas penangkapan ikan nasional tentu harus didukung semua pihak, agar pemanfaatan sumber daya ikan optimal untuk kemajuan sektor perikanan dan kesejahteraan masyarakat. Namun peningkatan kapasitas penangkapan ikan sebaiknya bertahap dan target kuota harus realistis, mengacu pada kapasitas penangkapan ikan saat ini. Penangkapan ikan terukur sistem kontrak dengan meningkatkan kuota penangkapan ikan dengan peningkatan kapasitas jumlah GT yang signifikan, patut dikaji ulang karena akan sangat membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan. Oleh: Hendra Sugandhi Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan APINDO