Mengawal Pemilu Bervisi Ekologi
DEBAT capres-cawapres telah terhelat dan akan terus digelar mewarnai waktu kampanye sampai pada masa tenang 11 Februari 2024. Kini, hingga jelang hari pencoblosan 14 Februari 2024 nanti akan semakin riuh orang membincang para kandidat. Beragam tema telah disuarakan, tak terkecuali isu lingkungan.
KPU sendiri telah menentukan jadwal yang berisikan tema itu bagi cawapres. Tentu, hal tersebut menggembirakan karena menjadi bagian dari seleksi demokrasi para pemimpin dalam mengusung visi-misi ekologinya. Apalagi dunia sedang mengolaborasikan ambisi dan solusi mengatasi krisis iklim. Panggung COP-28 yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab, 30 November-12 Desember 2023, harus dinisbatkan agar Pilpres 2024 semakin berjiwa ekologis. Isu perubahan iklim memang layak dijadikan materi debat capres-cawapres.
Perhelatan Pilpres 2024 memberikan pesan agar pemimpin nasional memiliki garis kebijakan go green secara praktis. Parade gempa, banjir, krisis air bersih, dan tanah longsor yang melanda Indonesia dalam nalar sehat bernegara sudah cukup menjadi referensi mempersiapkan kandidiat yang memiliki kecerdasan lingkungan (ecological intelligence).
Jangan cetak poster plastik
Komitmen politik yang berorientasi ekologis secara internasional telah disorongkan sejak 5 Juni 1972 dalam United Nations Conference on the Human Environment di Stockholm, Swedia. Ingatlah bahwa saat 5 Juni 2023 lalu, yang diperingati sebagai World Environtment Day oleh PBB, telah menetapkan tema Beat plastic pollution.
Baca Juga: Etika Pemimpin Itu AbadiHal itu memberikan wejangan betapa urusan sampah plastik menjadi ancaman yang membutuhkan tindakan global. Apalagi ditambah alat peraga kampanye dan tanda gambar peserta Pemilu 2024 yang banyak diproduksi dari bahan plastik. Itu titik awal petaka lingkungan dari ranah pemilu.
Isu sampah plastik semestinya memantik kesadaran kolektif mengenai kondisi lingkungan yang memburuk darinya.
Para kontestan Pemilu 2024, terutama para caleg dan capres, tampak tidak peduli dan kian sibuk mencetak besar-besaran gambar dari bahan plastik. Padahal pemilu dapat menjadi instrumen penting meneguhkan green spirit untuk dirumuskan sebagai kebijakan penyelamatan bumi. Pemilu juga merupakan skema politik lingkungan untuk memilih pemimpin cerdas secara ekologis.
Pemilu 2024 harus belajar pada pemilu-pemilu sebelumnya. Simaklah bagaimana pertandingan demokrasi dilangsungkan selama ini. Lorong-lorong publik dijejali dengan poster egois dengan tanda gambar yang dicetak tidak berwawasan lingkungan. Kita mesti paham bahwa gambar yang terbuat dari plastik sangat membahayakan keberlanjutan lingkungan.
Plastik itu hanya dapat diurai alam dalam rentang sekitar seabad. Betapa lama waktu yang dibutuhkan alam untuk menetralisasi beban plastik Pemilu 2024. Waktu 100 tahun tentu bukan periode yang singkat. Berton-ton sampah plastik harus ditimbun di rahim Ibu Pertiwi akibat penyelenggaraan pemilu yang abai terhadap kepentingan lingkungan.
Pakta integritas lingkungan
Pemilu yang berwawasan lingkungan merupakan ajang pengembangan green policy. Kita mesti memiliki pakta integritas lingkungan. Publik harus dapat mengukur tingkat kecerdasaan ekologis calon pemimpinnya dari gagasan dan tindakannya selama masa kampanye.
Untuk itulah, pemilu menjadi ruang menumbuhkan kecerdasan lingkungan, tidak hanya kecerdasan emosional dan intelektual semata. Psikolog sekaliber Daniel Goleman menawarkan ukuran tingkah laku seseorang yang memiliki ecological intelligence. Lingkungan menjadi parameter sekaligus variabel penentu dalam mengambil sikap. Orientasi ekologis ialah cermin pembulat kecerdasan emosional dan spiritual. Orang yang memiliki ecological intelligence akan memosisikan diri pada lingkungan secara bermakna dengan sikap hidupnya.
Pelaksanaan pemilu saat ini terdapat sesuatu yang mengkhawatirkan secara ekologis berupa limbah alat peraga kampanye yang berjajar. Kontestan yang tidak ramah alam dapat mengguncang tatanan fungsi lingkungan. Menggelorakan ecological intelligence dalam pemilu sesungguhnya didasari suatu kenyataan historis bahwa SDA telah menjadi korban pragmatis pembangunan yang dijalankan pemimpin produk pemilu.
Kemajuan yang dicanangkan dalam terminologi ‘pembangunan’ acap kali menggerus peradaban pada tingkat yang mencemaskan. Hal itu harus diberi penyelesaian melalui kebijakan pemilu yang mengerti arti sejati pembangunan yang memuliakan lingkungan. Kelestarian fungsi alam tidak boleh terkoyak atas nama ‘pesta demokrasi’ sebagai bagian derap langkah pembangunan yang cuek pada kepentingan lingkungannya.
Menjadikan krisis iklim tema kampanye
Pemilu harus ditata dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Lahan dan ruang terbuka hijau jangan dialihfungsikan tanpa memperhitungkan kapasitas wilayahnya. Sewajarnyalah kita membangun negara sebagai rumah kehidupan yang ramah lingkungan dengan pemimpin yang memiliki gairah ekologis.
Kepedulian terhadap lingkungan ialah cermin pemimpin yang sedia memanggul kewajiban kepada bumi (planetary obligation). Itulah makna terdalam kepedulian menerima mandat menghargai alam (nature appreciation principle).
Kehendak pribadi ataupun institusi untuk mengatasi krisis iklim dengan energi terbarukan, ramah lingkungan, merupakan panggilan optimistis seperti dalam bait puisi sastrawan besar yang lahir di Jerman dan meninggal di Swiss, Hermann Hesse (1877-1962), dalam terjemah Agus R Sarjono (2015): “…Des Lebens Ruf an uns wird niemals enden/Panggilan hidup takkan pernah punah. Harapan dan panggilan ini tetap perlu kerangka hukum yang ditaati.”
Alexander Hamilton (1780) menyampaikan: “ketaatan orang-orang bebas pada hukum, betapa pun sulitnya mereka menanggung, sesungguhnya lebih sempurna daripada ketaatan para hamba pada kehendak sewenang-wenang sang pangeran”.
Memang berat meninggalkan kebiasaan lama yang berbasis energi fosil untuk ke energi terbarukan. Perubahan pada mulanya harus dipaksakan oleh hukum (sebagaimana pakai helm dan sabuk pengaman). Terdapat mutiara hikmah Jalaluddin Rumi (1207-1273): A voice inside the best says: I know you’re tired, but come. This is the way. Bacalah suara yang di dalam iramanya berkata: Aku tahu kau amat lelah, tetapi kemarilah.
Pemilu 2024 hendaknya menjadi kosmologi politik untuk memanen pemimpin yang berwawasan lingkungan. Jadikan visi lingkungan sebagai pertimbangan utama untuk mencoblos calon pemimpin pada 14 Februari 2024. Oleh: Suparto Wijoyo Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga (*)
Tinggalkan Balasan