Menanti Tuntutan FT Terhadap Kejahatan Oknum BPKP dan Kejati Maluku
AMBON, Siwalimanews – Sesuai jadwal sidang, Jumat (9/7) jaksa penuntut umum pada Kejati Maluku harus membacakan tuntutan atau ancaman hukuman kepada Fery Tanaya, pengusaha besar asal Namlea Kabupaten Buru yang diseret dalam kasus korupsi pengadaan lahan untuk pembangunan proyek strategis nasional PLTMG Namlea.
Fery yang adalah pemilik lahan menjual lahan tersebut kepada PLN. Kejati Maluku menuduh Fery telah menjual lahan milik negara kepada perusahaan plat merah itu. Mirisnya, sejak awal Kejati Maluku menyeret Fery dengan tuduhan mark up tapi dapat dipatahkan Fery saat yang bersangkutan praperadilan.
Setelah kalah, Kejati Maluku menuduhnya menjual tanah milik negara kepada PLN. Fery mati-matian berjuang untuk mempertahankan harga diri dan keluarganya yakni orang tua yang sudah puluhan tahun memiliki lahan itu.
Tokoh masyarakat Buru, Talim Wamnebo yakin Kejati Maluku akan mempersiapkan dengan matang tuntutannya. Hal itu dikarenakan fakta sidang tidak ada satu saksi pun yang menerangkan lahan milik Fery yang dijual ke PLN itu milik negara.
Hanya yang terbukti dalan fakta persidangan terungkap kejahatan oknum BPKP dan Kejati Maluku merekayasa kasus Fery Tanaya. Menurutnya, karena kasus ini sudah disusun rapi sejak awal, sehingga kalau Fery dituntut besar, pihak Fery tak boleh kaget. Sebab itu gaya main penegak hukum di negeri ini.
Baca Juga: Jaksa dan Polisi Diminta Usut Proyek Jumbo SMI di SBB“Itu terang menderang di pengadilan, kalo ada terjadi rekayasa kasus Fery Tanaya. Wong orang punya tanah hak milik kok dibilang itu tanah milik negara. Sekarang kalau ada oknum jaksa atau Kajati Maluku sendiri yang orang tua punya tanah lalu dibeli oleh pemerintah kemudian dituduh itu tanah milik negara, rasanya seperti apa. Jadi penegakan hukum itu yang adil, jangan menzolimi, dosa turunan namanya,” ungkap Talim Sabtu (10/7).
Dikatakan, penundaan sidang tuntutan terhadap terdakwa Fery Tanaya hanya akal-akalan JPU saja. Alasan belum siap tuntutan merupakan akal busuk untuk mempersiapkan argumen hukum terkait ketidakmampuan mengungkap bukti lahan Fery Tanaya itu milik negara sebagaimana disampaikan ahli hukum Unpatti, Jane Matuankotta saat kasus ini status penyidikan.
Meski demikian, Talim menambahkan, keterangan Jane Matuankota dosen Hukum Unpatti bergelar doktor itu akhirnya dianulir saat di ruang sidang Pengadilan Tipikor Ambon yang bersangkutan mengaku lahan Fery Tanaya itu bukan milik negara.
“Fakta persidangan Kejati Maluku tidak bisa menunjukan alat bukti atas dakwaan mereka terhadap FT, tanah yang dibebaskan kepada PLN adalah milik negara. Justru oknum BPKP, Erwahyudi mengaku menghitung kerugian negara berdasarkan ahli Unpatti, Jane Matuankotta. Lha kalau seperti ini mau jadi apa penegakan hukum di negeri ini,” ungkapnya.
Talim mengatakan, hanya kedua institusi besar ini menafsirkan dari pendapat ahli Jane Matuankotta atas Kepres No 32 tahun 1979, bahwa tanah yang dibebaskan adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Hal lain kata Talim, terdapat juga ahli Doktor IIng yang dihadirkan di pengadilan yang sependapat dengan Jane Matuankotta bahwa tanah yang dibebaskan FT bukan milik negara.
Ahli dari tersangka FT pun menjelaskan bahwa tanah yang dibebaskan bukan milik negara. Sebab dalam UUPA 1960 dijelaskan pengertian dikuasai negara bukan berarti dimiliki negara seperti tuduhan Kejati Maluku.
“Sebenarnya isi dan makna dari Kepres Nomor 32 Thauan 1979 ini sangat jelas, tetapi dengan itikad buruk, penyidik merekayasa makna dan arti hanya mengunakan pasal 1 ayat 1 dan sengaja menghilangkan pasal-pasal lain agar isi dari keppres menjadi kabur. Sebab pasal 1 ayat 2 menjelaskan pasal 1 ayat 1, pengertian dikuasai langsung oleh negara yaitu negara mengatur atau menata kembali pengunaan tanah dan bukan mengambil menjadi milik negara. Pemahaman salah dan menyesatkan dari penyidik Kejati Maluku ini yang dipakai sebagai dasar hukum untuk menetapkan FT sebagai tersangka korupsi. Menyesatkan karena Kejati menafsirkan tanah dikuasai oleh negara sebagai milik negara. Bukan itu saja, semua regulasi itu mengatur tata cara proses ganti rugi tanah untuk kepentingan umum. Sangat disayangkan moral oknum-oknum penyidik Kejati Maluku,” tandasnya.
Dibeberkan, fakta persidangan saat FT diperiksa sebagai terdakwa juga terungkap kejahatan hukum oknum penyidik dengan cara mengancam akan tetapkan General Manager PLN Didik Sumardi sebagai tersangka.
Sekalipun pihak PLN telah menjelaskan bahwa proses ganti rugi telah sesuai dengan prosedur dan mengacu pada UU No 2 tahun 2012, tetapi peyidik tidak mau menerimanya. Penyidik tetap mengancam akan tetapkan Didik Sumardi sebagai tersangka dulu, pembelaan nanti tunggu saat di pengadilan.
Dengan dalih ini membuat PLN bertekuk lutut dan penuh ketakutan karena menyangkut karier dan nasib seorang GM yang tenaganya masih sangat dibutuhkan perusahaan plat merah itu.
“Tapi anehnya, fakta di sidang itu setelah diancam mau dijadikan tersangka, sekarang berbalik melindungi. Kewenangan menetapkan seseorang menjadi tersangka hanya dijadikan mainan penyidik Kejati Maluku. Setelah berhasil mengancam, sekarang PLN dibela oleh Kejati Maluku. Padahal kalau benar ada korupsi, maka PLN juga harus bertanggung jawab karena PLN yang mendatangi pemilik lahan, menentukan lokasi proyek, menentukan harga, melakukan verifikasi dokumen, membayar dan lain-lain. Sedangkan FT sebagai orang yang menguasai lahan bersifat pasif, hanya menandatangani pembebasan lahan dan menerima uang ganti rugi. Hukum dan kewenangan dipermainkan untuk kepentingan pribadi. Berdamai maka anda aman, tidak berdamai jadi tersangka seperti FT. Alat bukti menetapkan seseorang tersangka bagi peyidik Kejati itu hal gampang dan bisa dicari-cari kemudian seperti kasus yang dialami FT. UUPA saja ditabrak, Keppres direkayasa arti dan maknanya, tidak saling kenal bisa dituduh besekongkol atau kongkalikong. Ini hal memalukan bagi orang bermoral tapi mainan bagi orang tidak memiliki ahklak,” jelas Talim.
Ditambahkan, akibat dari kasus korupsi PLTMG, rakyat Buru sengsara lantaran tidak menikmati listrik. Talim berharap semoga tuntutan yang akan dibacakan tidak menciderai harkat dan martabat inistitusi korps Adyaksa sendiri.
Hakim Cecar Matuankotta
Sebelumnya diberitakan, Kejati Maluku akhirnya harus gigit jari. Ahli Jane Matuankotta dari Fakultas Hukum Unpatti yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum menegaskan lahan yang diperuntukan bagi pembangunan proyek strategis nasional yakni pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin dan Gas (PLTMG) di Namlea bukan tanah milik negara.
Meski begitu Matuankotta saat menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum berpendapat lain kalau lahan itu status lahan bekas erpacht.
Pernyataan Matuankotta inilah yang membuat Pasti Tarigan selaku hakim ketua meragukan keahlian Matuankotta.
Hakim Pasti Tarigan bahkan menyatakan kalau ahli Jane Matuankotta terhadap pertanyaan jaksa penuntut umum jawaban lain alias berbeda dengan pertanyaan penasehat hukum terdakwa Fery Tanaya.
Kalau jaksa menanyakan status lahan tersebut, Matuankotta menegaskan itu bekas erpacht yang dikuasai negara.
Tapi kalau Penasehat Hukum menanyakan status lahan itu Matuankotta juga menegaskan bukan lahan milik negara.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan penetapan Fery Tanaya sebagai tersangka dalam kasus pengadaan lahan untuk pembangunan proyek PLTMG Namlea di Kabupaten Buru itu
Kejati Maluku menetapkan Fery Tanaya sebagai tersangka dengan tuduhan lahan milik Fery yang dijual ke PLN itu tanah milik negara.
“Saudara ahli, pernyataan saudara soal status lahan di Namlea ini berbeda-beda. Kepada JPU saudara ngomong lain, kepada penasehat hukum saudara juga ngomong lain.
Bagaimana ini penguasaan saudara sebagai ahli terhadap Kepres Nomor 32 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat,” kata hakim kepada Matuankotta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ambon, Jumat (25/6).
Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli itu JPU menghadirkan Jane Matuankotta.
Dalam keterangannya, Matuankotta menjelaskan, tanah-tanah status barat dikuasai negara dan bukan milik negara.
Terhadap pemegang hak tanah yang tidak dikonversi, negara mengakui hak-hak keperdataan dari yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Kepres Nomor 32 Tahun 1979 itu.
Penasehat Hukum Fery Tanaya Henry Yosodiningrat mencecar Matuankotta mengenai penguasaan ahli terhadap Kepres Nomor 32 Tahun 1979, dimana pertanyaan Hendry apakah lahan Tanaya di Namlea itu tanah milik negara.
Mendengar pertanyaan tak terduga itu, Matuankotta sempat diam, namun dengan keahliannya, Matuankotta mengaku kalau sesuai Keppres Nomor 32 Tahun 1979 tanah tersebut bukan milik negara.
Sebagaimana diketahui, Keppres Nomor 32 Tahun 1979 memuat delapan pasal. Dimana pasal 1 mengatakan, ayat (1); Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Asal Konversi Barat, yang jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980 sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak, yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Ayat (2) ; Tanah-tanah tersebut ayat (1) ditata kembali penggunaan penguasaan dan pemilikannya dengan memperhatikan a) masalah tata guna tanahnya, b) sumber daya alam dan lingkungan hidup, c) keadaan kebun dan penduduknya, d) rencana pembangunan di daerah dan e) kepentingan-kepentingan bekas pemegang hak dan penggarap tanah atau penghuni bangunan.
Pasal 2 ; kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggunakan sendiri tanah atau bangunan, akan diberikan hak baru atas tanahnya. Kecuali tanah-tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan umum.
Pasal 3 ; kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak baru karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, akan diberikan ganti rugi yang besarannya akan ditetapkan oleh suatu panitia penaksir.
Pasal 4 ; tanah-tanah hak guna usaha asal konversi hak barat, yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dari keselamatan lingkungan hidup, lebih tepat diperuntukan untuk permukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya.
Pasal 5 ; tanah-tanah perkampungan bekas hak guna bangunan dan hak pakai asal konversi hak barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki rakyat, akan dierikan prioritas kepada rakyat yang mendudukinya, setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah.
Pasal 6 ; hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai asal konversi barat yang dimiliki oleh perusahaan milik negara, perusahaan daerah serta badan-badan negara diberi pembaruan hak atas tanah yang bersangkutan dengan memperhatikan ketentuan tersebut pasal 1.
Pasal 7 ; masalah-masalah yang timbul sebagai akibat pelaksanaan kebijaksanaan yang digariskan berdasarkan Keputusan Presiden ini, diselesaikan oleh Menteri Dalam Negeri dengan mendengar menteri-menteri yang bersangkutan.
Pasal 8 ; Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta : pada tanggal 8 Agustus 1979. (S-32)
Tinggalkan Balasan