DALAM konteks Pilkada 2024 yang semakin mendekat, berbagai dinamika politik mulai mencuat, terutama setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial.

Keputusan ini memungkinkan partai politik untuk mengajukan calon kepala daerah tanpa harus memiliki kursi di DPRD, membuka peluang bagi munculnya lebih banyak calon baru di berbagai daerah.

Namun, keputusan ini juga diikuti oleh berbagai reaksi dan upaya dari kelompok-kelompok politik tertentu yang tampaknya berusaha untuk mengondisikan Pilkada agar menghasilkan calon tunggal atau calon independen yang kurang dikenal oleh masyarakat.

Sufiyanto, seorang dosen komunikasi politik di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) sekaligus Direktur The Republic Institute, memberikan pandangan kritis terkait fenomena ini.

Menurutnya, keputusan MK yang memperbolehkan partai politik tanpa kursi di DPRD untuk mencalonkan kepala daerah merupakan langkah maju dalam memperluas partisipasi politik.

Baca Juga: Gempa Megathrust dan Ancamannya

Namun, ia juga menyoroti adanya potensi upaya manipulasi politik di balik pengondisian calon tunggal di Pilkada.

Sufiyanto juga menekankan pentingnya peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menjalankan keputusan MK ini.

Ia mengkritik kemungkinan KPU yang masih menunggu petunjuk dari DPR atau menantikan hasil pleno Badan Legislasi DPR terkait revisi UU Pilkada.

KPU harus segera menjalankan putusan MK tanpa harus menunggu aturan teknis baru, mengingat keputusan MK bersifat final dan mengikat.

KPU akan menjadi sumber permasalahan pada proses Pilkada ini jika tidak menjalankan putusan. Karena regulasi menegaskan putusan MK itu final dan mengikat.

Ia mencontohkan pelaksanaan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang persyaratan umur calon presiden dan wakil presiden, yang dijalankan tanpa konsultasi ke DPR, sebagai preseden yang seharusnya diikuti oleh KPU dalam melaksanakan putusan terkait Pilkada.

Dinamika semakin memanas dengan keputusan DPR untuk menggelar rapat guna membahas revisi UU Pilkada. Beberapa pihak, termasuk Sufiyanto, menilai langkah ini sebagai upaya untuk mengurangi dampak dari keputusan MK yang memungkinkan banyak calon kepala daerah baru.

Menurut Sufiyanto, revisi ini mencerminkan adanya kekuatan politik tertentu yang berusaha mengondisikan Pilkada agar menghasilkan calon tunggal di banyak daerah.”Upaya Baleg melakukan pembahasan melalui revisi undang-undang Pilkada merupakan bagian perlawanan politis gelaran Pilkada.

Di mana tren Pilkada serentak tahun 2024 ini banyak daerah yang dikondisikan mempunyai satu pasangan calon saja.

Sufiyanto mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap proses Pilkada 2024. Ia mengingatkan bahwa Pilkada adalah salah satu instrumen penting dalam demokrasi yang memungkinkan masyarakat untuk memilih pemimpin daerah mereka.

Olehnya,  pendidikan politik bagi masyarakat menjadi semakin penting. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang politik, masyarakat dapat membuat keputusan yang lebih tepat dan tidak mudah terpengaruh oleh propaganda atau manipulasi politik. (*)