Membaca Indonesia Melalui Naskah Kuno
PARA Presiden Indonesia, dari Soekarno hingga Joko Widodo, pada umumnya menurunkan ‘bakat politik’ kepada anak dan/atau menantunya. Fakta ini mengingatkan kita pada Babad Tanah Jawa, Babad Banyumas Mertadiredjan, yang mengisahkan seorang raja menurunkan kekuasaan kerajaan kepada putranya.
Babad Banyumas Mertadiredjan ditulis sekitar tahun 1816-1830, kala pemerintahan Adipati Mertadiredja I. Babad dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan Madura yang berisi peristiwa sejarah, cerita sejarah, riwayat, sejarah, tambo, hikayat: Tanah Jawa. Beberapa contoh babad ialah Babad Cirebon, Babad Banten, Babad Giyanti, Babad Tanah Jawi, Babad Diponegoro, dan Babad Blambangan (Jusuf Jamsari, 1982).
Pasal 4 Undang-Undang No 43/2007 menjelaskan naskah kuno adalah semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Babad termasuk naskah kuno karena ditulis dengan tulisan tangan.
Naskah kuno disebut juga manuskrip. Merujuk pada data Chambert-Loir dan Oman Fathurahman, setidaknya Indonesia memiliki 58.947 naskah kuno Nusantara yang tersebar di museum, perpustakaan, bahkan koleksi individu di dalam dan luar negeri. Tidak kurang dari 500 naskah kuno Indonesia tersimpan di British Library, menurut pengakuan Annabel Teh Gallop.
Naskah kuno Indonesia membahas banyak hal. Seputar politik kepemimpinan, astronomi, obat-obatan, dan pembagian kekuasaan termuat dalam naskah-naskah kuno seperti Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Fragmen Carita Parahiyangan, Amanat Galunggung, Sanghyang Raga Dewata, Sanghyang Hayu, maupun Sewaka Darma.
Baca Juga: Kekerasan Seksual di KampusUpaya mencegah gizi buruk (stunting) telah ada dalam naskah kuno Sanghyang Titisjati Pralina. Adapun Kawih Katanian menarasikan ragam model padi di daerah Sunda pada masa lalu, atau yang terkenal dengan tatanén ‘pertanian’ (Elis Suryani NS, 2021).
Lebih lanjut, Fathurahman mengatakan naskah kuno diklasifikasikan menjadi 20 kelompok bahasa, yakni Aceh, Arab, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makassar-Mandar, Jawa dan Jawa Kuno, Madura, Melayu, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda dan Sunda Kuno, Ternate, Wolio. Ada pula bahasa minoritas, seperti yang ada di bagian Indonesia Timur, Kalimantan, dan Sumatra Selatan.
Tingginya jumlah naskah kuno dan ragam bahasa yang dituliskan menunjukkan peradaban Indonesia demikian maju, orang-orang Indonesia dahulu sungguh cerdas dan berpikir berkemajuan, sehingga menuliskan pemikiran dan sejarah para raja mereka melalui tulis tangan. Naskah kuno Indonesia jauh lebih banyak daripada milik Tiongkok, Jepang, dan negara lainnya. Itu sebabnya, Wardiman Djojonegoro mendorong pemerintah Indonesia segera mengajukan register IKON untuk naskah kuno yang dimiliki agar dicatatkan dalam Memori Ingatan Dunia atau Memory of the World (MoW) sebagai warisan peradaban yang berharga.
Tafsir naskah kuno ulama Nusantara
Kaya akan ragam naskah kuno, paling tidak Indonesia memiliki tiga jenis naskah kuno, yaitu manuskrip Islam (berbahasa dan bertuliskan Arab), manuskrip Jawi (bertuliskan huruf Arab tapi berbahasa Melayu, diberi tambahan vonim menyesuaikan aksen Melayu), dan manuskrip Pegon (bertuliskan huruf Arab tapi menggunakan bahasa lokal Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh, dan lainnya).
Contoh naskah kuno yang berhuruf Arab berbahasa Melayu, antara lain Sejarah Melayu, Sejarah Aceh, Sejarah Raja-Raja Banjar dan Kota Waringin, Asal Raja-Raja Sambas, Silsilah Pagaruyung, Syair Inggris Menyerang Kota, dan Syair Perang Banjarmasin (Jusuf Jamsari, 1982).
Mahrus El-Mawa (2016) menarasikan naskah kuno yang bertuliskan Arab Pegon memiliki hubungan yang sangat erat dengan kelahiran ulama-ulama Nusantara. Sebagian besar kisah mereka tertulis dalam naskah kuno. Demikian pula karya tafsir mereka dituliskan menggunakan Arab Pegon.
Tulisan Arab Pegon, kala itu, untuk mempermudah penyebaran agama Islam karena masyarakat memahami bahasa Jawa dengan baik, baik tulis maupun lisan. Tulisan Pegon memiliki tiga fungsi. Pertama, sarana penulisan teks keagamaan seperti tata cara bacaan salat dan doa-doa.
Kedua, sarana penulisan teks sastra. Contohnya sastra bernuansa keislaman seperti Serat Ahmad Muhammad, Serat Anbiya, Serat Yusup, bernuansa sejarah Babad Banten, Babad Demak.
Ketiga, sarana penulisan surat, yakni sebagai sarana komunikasi pribadi atau kerajaan. Misalnya surat Bagus Ngarpatem kepada raja pada 23 Ramadan 1770, serta sarana penulisan teks mantra, rajah, teks primbon, dan obat-obatan (Titik Pudjiastuti, 2009).
Adapun contoh karya ulama Nusantara yang ditulis dengan menggunakan Arab Pegon dalam bidang keagamaan ialah karya Syekh Hamzah al-Fansuri, Syekh Syamsuddin Al-Sumatrani, Syekh Nuruddin ibnu Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid, Abdul Rauf Singkel, Muhammad Arsyad al-Jawi al-Banjari, Sayyid Utsman ibnu Abdullah al-‘Alawi, Daud ibnu‘Abdullah ibnu Idris al-Fatani, Abdul Shamad al-Jawi al-Falimbani, Ahmad al-Qasyasyi, Muhammad Zain ibnu Jamaluddin al-Asyi, Sirajuddin ibnu Jalaluddin, Tajuddin Abu al-Fadl Ahmad ibnu, Muhammad ibnu Abdul Karim ibnu ‘Atha`llah, Kemas Fakhruddin, Yusuf at-Taj al-Makani, dan Ahmad ibnu Muhammad ibnu al-Marhum Husain al-‘Idrus (A Nashan Abhimata dan Didik Purwanto, 2022).
Naskah kuno Kitab Shirathal Mustaqim
Mahrus el Mawa (Dosen IIQ Jakarta) dalam diskusi terfokus di Jakarta (Sabtu, 19 Oktober 2024) mengatakan setidaknya seseorang yang hendak mengkaji naskah kuno, sekurang-kurangnya pernah memegang kertas asli dari naskah kuno tersebut. Terdorong rasa keingintahuan itu, maka saya mendatangi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) di Jakarta Pusat pada 19 November 2024 dan berkesempatan meminjam koleksi naskah kuno milik Perpusnas.
Sebelum dapat meminjam naskah kuno tersebut, oleh petugas Perpusnas saya diminta membersihkan tangan lalu diberikan bantal kecil, dan diajarkan cara membuka naskah. Saat itu saya merasa deg-degan mendengarkan instruksi dan tata cara membaca naskah kuno.
Saya meminjam Kitab Shirathal Mustaqim karya Syekh Nuruddin ibnu Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid. Merujuk pada cara kerja filologi, kajian naskah kuno, maka salah satu naskah kuno yang penting kita teliti ialah naskah teks-teks tafsir Al-Qur’an. Kegiatan meneliti ini disebut proses tahqiq kitab, bertujuan memelihara keaslian teks, menyelamatkan karya-karya ulama masa lalu.
Adapun orang yang melakukan kegiatan tahqiq atau mengkaji atau meneliti disebut muhaqqiq. Menurut Kamilin Jamilin (ahli Majlis Fatwa Wilayah Persekutuan, Malaysia) yang terlibat dalam kegiatan tahqiq, tahapan untuk membaca naskah kuno diawali dengan menelaah judul kitab, memastikan kondisi naskah, nama pengarang dan latar belakang penulis, sandaran kitab dan kebenarannya, serta isi kitab (matan).
Saya pun mengamati Kitab Shirathal Mustaqim dengan nomor panggil ML 104 di Perpusnas. Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab (Jawi). Kitab ini ditulis di atas kertas Eropa, tanpa watermark. Sebagian besar kertas masih bisa dibaca dengan jelas, walaupun sudah ada halaman yang terkoyak atau sobek sehingga ada bagian yang tidak bisa dibaca atau tulisan seperti agak luntur di beberapa lembar kertas.
Bila ada halaman yang telah sobek, bagian ujungnya diberi lapisan kertas minyak atau seperti dilapisi plastik, tapi bukan dilaminating memenuhi seluruh halaman sehingga halaman menjadi kaku. Setiap halaman dijilid dengan karton bersampul kertas marmer cokelat muda. Namun, bila kertas kitab masih utuh, tidak robek, maka lapisan jilid seperti plastik atau kertas minyak itu menutupi seluruh tulisan saja, tetapi menyisahkan sekitar 4 cm di bagian pinggir kiri dan kanan kertas. Dengan begitu, saya masih bisa merasakan tekstur kertas Eropa asli tersebut.
Kitab ini ditulis tangan dengan menggunakan tinta hitam dan merah. Pada bagian yang dianggap penting diberi tinta merah. Tidak ada hiasan pada setiap pinggir halaman dari kirab ini. Tulisannya sangat rapi, seolah-olah ditulis dalam kolom yang sudah disiapkan atau digaris kanan-kiri atas bawah, benar-benar rapi, tidak ada tulisan yang keluar dari kotak khayal (maksud saya, teramat rapi, saya bayangkan seperti ada garis khayal yang menuntun penulis kitab ini sehingga tidak keluar dari kotak garis ketika menuliskan kitab). Walaupun kertas Eropa ini bukan kertas bergaris yang memungkinkan kita menulis dengan rapi seperti ada garis-garis dalam buku tulis, sebagaimana buku tulis yang mudah kita dapatkan di berbagai tempat saat ini. Bila diukur, tulisan tangan berada tepat di tengah-tengah buku kitab dengan ukuran kertas tersisa (kosong dari tulisan), 4 cm di bagian kanan-kiri dan bawah, atas tersisa 3 cm di bagian atas. Sedangkan di bagian tengah, posisi kitab terbuka, maka kertas kosong tengahnya hanya berjarak 2 cm kanan-kiri.
Kitab ini berukuran 21 x 15 cm, setebal 408 halaman, setiap halaman terdiri dari 19 baris tulisan, dan jumlah tulisan dalam baris ini konsisten pada setiap lembar halaman. Adapun penomoran naskah tambahan dilakukan orang lain, dengan pensil, dengan sistem ganda, angka Arab 1-201.
Kitab ini tercatat dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara, jilid 4, pada Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Juga tercatat dalam Katalogus van Ronkel (1909:375), Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Dep P&K, serta tercatat dalam Malay Manuscripts (Howard, 1966:63), dan Katalog Naskah Melayu (ML), disusun oleh Yeri Nurita, dkk, Perpustakaan Nasional RI, 2019. Naskah kuno ini pun telah dialihmediakan dalam bentuk mikrofilm dengan nomor rol 402.05 (dan MF 48.03, 85.01).
Isi kitab menurut Abhimata dan Purwanto (2022) membahas sendi-sendi beribadah dan syariat agama Islam. Isinya terdiri atas beberapa kitab, pasal, dan bab. Pembahasan pertama dimulai dengan kitab thaharah (bersuci), yaitu dengan menjelaskan macam-macam air yang boleh digunakan wudu dan mandi hadas. Dilanjutkan dengan membahas salat, seperti keterangan waktu salat, rukun dan syarat salat, sunah yang dikerjakan di dalam salat, salat sunat seperti salat Id, kusufain, istisqa, dan lain-lain. Berikutnya masalah zakat, puasa, haji, dan kurban. Keterangannya dilengkapi dengan Al-Qur’an dan hadis Nabi.
Menjaga keluhuran budaya bangsa
Saya ingat betul ketika pandemi covid-19 saat semua belajar dan bekerja dari rumah. Otomatis sebagai orangtua, kami merangkap guru SD, karena anak-anak masih duduk di bangku SD. Saat itu anak-anak mendapatkan tugas menuliskan 2 x 4 = 8 dalam bentuk penjumlahan. Saya pun mengajarkan anak-anak, sebagaimana ingatan kala saya SD dahulu, bahwa 2-nya bisa 4 kali atau 4-nya bisa dua kali dalam bentuk penjumlahan, yakni 2 + 2 + 2 + 2 = 8 atau 4 + 4 = 8. Tetapi jawaban saya ini disalahkan oleh guru mereka. Intinya 2 x 4 = 4 + 4, sebagai penjumlahan berulangnya dari 2 x 4. Saya tidak habis pikir, kenapa 2 + 2 + 2 + 2 = 8 menjadi salah? Padahal hasil jumlahnya sama-sama 8?
Bukan itu saja, pada pelajaran olahraga, gerak motorik nonmotorik menjadi sama dan berulang. Pelajaran PPKn, yang saya dengar melalui Zoom, guru memberikan contoh pengamalan sila-sila Pancasila berulang dan nyaris sama persis untuk kelas 1 dan kelas 4 SD. Termasuk seni rupa, sama juga penjelasan tiga, dua, satu dimensi.
Lalu setahun kemudian, ketika anak-anak naik ke kelas 2 dan 5 selama covid-19. Pelajaran di atas sama persis, tidak berubah. Ketika itu saya bergumam dalam hati, “Ini kurikulumnya yang tak jelas atau guru yang tak kreatif memberikan penjelasan, ya.” Intinya, anak-anak seperti belajar berulang-ulang materi-materi pelajaran kelas 1 ke 2 SD atau kelas 4 ke 5 SD.
Presiden Prabowo Subianto telah membentuk tiga kementerian; Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), serta Kementerian Kebudayaan. Harapannya itu menjadi ekosistem sains, pendidikan, dan teknologi di Indonesia yang lebih terarah.
Untuk itu, kiranya pemerintah penting mengkaji ulang silabus SD. Tampaknya, anak-anak perlu diperkenalkan khazanah kekayaan naskah kuno yang dimiliki Indonesia dan para ulama Nusantara kita, daripada keberulangan pelajaran yang saya juga tidak memahami apa dampak dari terus berulangnya pelajaran dari kelas 1 sampai 4 (dan mungkin 6) SD.
Membaca naskah kuno itu seperti kita sedang melihat cermin, terutama pada saat perpolitikan kita saat ini. Sangat mirip dengan perpolitikan pada masa lalu yang tertulis dalam naskah kuno atau babad Nusantara dan semacamnya. Karena itu, penting bagi kita menjaga, mengenalkan naskah-naskah tersebut agar kelak sampai pada anak cucu.
Menjaga kelestarian naskah kuno bagian dari menjaga keluhuran budaya bangsa dan agama, salah satunya melalui kurikulum yang mulai dikenalkan pada anak-anak kita ketimbang kurikulum pelajaran yang terus berulang mulai SD kelas 1 sampai kelas 6. Kurikulum harusnya berjenjang, naik, bukan berulang, jadi anak-anak tidak bosan dan menumbuhkan minat baca mereka. Semoga. Oleh: Yulianti Muthmainnah
(Penerima Beasiswa Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Mahasiswi Program Doktor Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Institut Ilmu Qur’an, Dosen AI-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, Jakarta, Pengurus LHKP PP Muhammadiyah)
Tinggalkan Balasan