Membaca Arah Pencapresan dan Koalisi Politik 2024
GURU bangsa kita yang wafat 27 Mei tahun lalu, Ahmad Syafii Maarif, pernah menulis Indonesia 2050 seperti Apa? (Kompas, 17/10/2011). Kata Buya–demikian guru bangsa pendiri Maarif Institute itu biasa disapa–pada 2050, jika rahim Nusantara gagal melahirkan para negarawan yang jauh menembus ke depan karena yang berkeliaran ialah politisi rabun ayam plus pengusaha tunamoral, Anda bisa membayangkan kira-kira seperti apa Indonesia pada tahun itu. Fenomena penolakan tim Israel yang antara lain mengakibatkan gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, serangkaian silaturahim politik di bulan Ramadan yang dilakukan para elite negeri ini, dan lain-lain, semuanya layak kita cermati karena dalam batas-batas tertentu pasti akan berpengaruh pada wajah Indonesia ke depan. Apalagi, di tahun politik yang penuh hiruk pikuk langkah kuda para pemimpin partai untuk menjalin koalisi yang tujuannya menang dalam Pemilu 2024, baik pemilu legislatif maupun eksekutif (pasangan presiden-wakil presiden). Harapan kita, semoga perhelatan politik 2024 tidak melahirkan politisi rabun ayam plus pengusaha tunamoral seperti yang dikhawatirkan Buya.
Peta elektabilitas capres Nama Ganjar Pranowo mulai diperhitungkan dalam perpolitikan nasional seiring dengan merebaknya pandemi covid-19 di Indonesia. Saat itu ujung tombak pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan penanganan covid-19 didelegasikan pemerintah pusat kepada daerah. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang dipimpin Ganjar dinilai publik paling responsif dalam menangani covid-19 ketimbang sejumlah wilayah lainnya. Survei SMRC pada April 2020 menunjukkan sebanyak 73% publik Jateng menilai pemprov cepat menangani covid-19. Jokowi memilih kebijakan PSBB yang lebih moderat untuk menyeimbangkan antara aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Alhasil, meskipun covid-19 melanda, perekonomian bisa berjalan dengan tetap adanya sejumlah pembatasan sosial. Sikap Ganjar yang lebih sejalan dengan Jokowi berbuah dukungan elektoral. Popularitas Ganjar naik perlahan-lahan dalam bursa calon presiden. Survei Indikator menunjukkan,
Ganjar menanjak ke peringkat kedua pada Mei 2020 dan meraih peringkat pertama pada Juli 2020. Padahal, pada Februari 2020, Ganjar masih berada di bawah Prabowo, Anies, dan Sandiaga. Survei Indo Barometer pada Januari 2020 juga menunjukkan urutan yang persis sama. Survei Median pada Februari 2020 bahkan menempatkan Ganjar jauh ke bawah lagi, setelah AHY dan Ridwan Kamil. Prabowo-Sandi menjadi rival Jokowi pada Pemilu 2019, tetapi kemudian bergabung ke pemerintahan Jokowi periode kedua. Anies yang sempat digadang-gadang sebagai cawapres Prabowo memilih fokus di DKI Jakarta dengan Gerindra merupakan partai pendukung utamanya. Tanpa kehadiran Jokowi yang bakal habis masa jabatannya, ketiga nama tersebut beredar memuncaki bursa capres. Pandemi memunculkan faktor Ganjar yang betul-betul merupakan pendatang baru dan langsung menyeruak ke posisi tertinggi. Ganjar dan Prabowo kemudian bersaing ketat mempertahankan posisi paling unggul. Dalam rentang Desember 2021 (survei SMRC) hingga Maret 2022 (survei Populi Center), elektabilitas Ganjar dan Prabowo terpaut tipis. Naiknya elektabilitas Ganjar membuat gusar elite PDIP yang condong untuk mendorong Puan Maharani maju nyapres sebagai pewaris trah Bung Karno.
Pernyataan Ganjar bahwa dirinya siap jika diusung ‘demi kepentingan bangsa dan negara’ diganjar dengan sanksi teguran lisan oleh DPP PDIP. Terakhir, Jokowi mengajak Ganjar menemani saat panen raya padi di Kebumen, bersama Prabowo. Tak pelak muncul wacana bahwa Jokowi bakal mendukung skenario Prabowo-Ganjar. PDIP disebut-sebut bersedia mencapreskan Ganjar, lebih-lebih setelah Megawati bertemu Jokowi di istana. Prabowo mengalami rebound, seperti ditunjukkan dari hasil survei Indikator pada Maret 2023. Survei New Indonesia Research & Consulting menunjukkan hal serupa, yakni fenomena kenaikan elektabilitas Prabowo dalam beberapa bulan terakhir. Dalam kunjungan ke beberapa daerah, Prabowo kerap mendampingi Jokowi yang notabene mantan rival dan mengakui keunggulan Jokowi dalam memimpin negara. Kepala BIN Budi Gunawan bahkan sempat melontarkan ungkapan bahwa sebagian aura Jokowi berpindah ke diri Prabowo. Sementara itu, Anies yang sebelumnya berada pada peringkat ketiga mengalami lonjakan elektabilitas pada Oktober 2022, ketika NasDem mendeklarasikan sebagai capres. Namun, kemudian turun lagi, seperti tergambar dalam survei Indikator, Litbang Kompas, dan Populi Center. Berbeda dengan Ganjar yang tak kunjung mendapat restu dari partainya, Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra posisinya lebih aman. Sementara itu, Anies rajin melakukan safari ke daerah-daerah dan bertemu dengan elite-elite politik.
Di luar tiga besar, nama-nama yang beredar dalam berbagai survei cenderung diunggulkan sebagai cawapres. Itu di antaranya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK), Menteri Pariwisata Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Ketua Umum Demokrat, dan Menteri BUMN Erick Thohir. Nama-nama lain yang kerap masuk radar survei ialah Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, mantan Panglima TNI Andika Perkasa, dan tentu saja para pimpinan partai, seperti Puan Maharani (PDIP), Airlangga Hartarto (Golkar), dan Muhaimin Iskandar (PKB). MI/Seno Dinamika koalisi partai politik Selain faktor elektabilitas tokoh dan dukungan partai politik, adanya ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% menjadi prasyarat signifikan bagi siapa yang bakal menjadi capres dan cawapres pasangannya yang diusung partai politik. Kecuali PDIP, partai-partai lain harus menggalang koalisi agar bisa memenuhi syarat PT tersebut. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) paling awal terbentuk pada Mei 2022 yang digagas Golkar, PAN, dan PPP. Di antara ketiga partai anggota KIB, Golkar memiliki kursi paling banyak di DPR dan elektabilitas tertinggi. Tidak mengherankan jika Golkar bersikeras mengunggulkan ketua umumnya sebagai capres yang bakal diusung sebagai capres koalisi. Persoalannya, nama Airlangga selalu berada pada posisi papan bawah dalam survei-survei. Survei Y-Publica menunjukkan elektabilitas Airlangga bergerak di kisaran 1% saja dalam setahun ke belakang. Nasib PAN dan PPP lebih tidak menentu lagi. Survei SMRC menunjukkan raihan elektabilitas kedua partai pasca-Pemilu 2019 tidak pernah menembus ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4%. Demikian pula dengan pimpinan partainya, nyaris nihil dukungan di berbagai survei. PPP bahkan sempat mengalami gonjang-ganjing ketika Suharso Monoarfa digusur dari jabatan ketua umum. Plt Ketua Umum PPP kini dijabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Mardiono. Karena itu, baik PAN maupun PPP, membuka peluang bagi tokoh-tokoh di luar partai untuk diusung sebagai capres dari KIB. Nama-nama yang menguat antara lain Ganjar, Anies, Erick, dan RK. PPP juga disebut-sebut ingin membajak Sandiaga, sedangkan Gerindra bulat mengusung Prabowo. Wacana lain yang berkembang, KIB merupakan sekoci bagi Jokowi untuk mengusung Ganjar. Sebelumnya Golkar dan PAN getol mendorong skenario perpanjangan masa jabatan tiga periode yang jelas-jelas menabrak konstitusi. Berselang tiga bulan dari terbentuknya KIB, Gerindra dan PKB membangun Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Berbeda dengan KIB yang cenderung menahan diri untuk menyebut nama, Gerindra mematok Prabowo sebagai capres, sedangkan PKB ngotot mengusung Muhaimin Iskandar. Karena itu, setiap kali Prabowo menjajaki peluang berpasangan dengan tokoh-tokoh lain, PKB dan Cak Imin selalu bereaksi keras. Misalnya, Prabowo melihat peluang menggaet Khofifah untuk memperkuat basis pemilih di Jawa Timur dari kalangan nahdiyin. Atau terakhir dengan Ganjar. Sementara itu, koalisi yang penuh drama ialah Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang dibentuk untuk mengusung Anies. Koalisi itu diinisiasi NasDem, partai yang masuk pemerintahan, sedangkan Anies menjadi antitesis bagi program-program Jokowi. Nama Anies mulai digulirkan NasDem dalam rakernas Juni 2022, selain nama-nama seperti Ganjar dan Andika. Anies resmi dideklarasikan di NasDem Tower pada awal Oktober 2022 atau beberapa minggu menjelang berakhirnya masa jabatan sebagai gubernur. Deklarasi dan safari Anies memperkuat identifikasi publik terhadap NasDem sehingga NasDem yang paling berpeluang mengambil ceruk pendukung Anies. Terbukti, berdasarkan survei Litbang Kompas Januari 2023, NasDem berhasil mendapatkan coattail effect sehingga elektabilitasnya melonjak. Sebaliknya, dengan Demokrat dan PKS yang kehilangan basis pemilih dari kalangan pendukung Anies. Alhasil, rencana untuk bersama-sama mendeklarasikan Anies masih ditimbang secara matang. Semula tim kecil dari ketiga partai menjadwalkan deklarasi pada November 2022, tetapi urung dilakukan. Elite NasDem juga kerap bersilang pendapat dengan Demokrat dan PKS soal siapa cawapres pasangan Anies. Demokrat bersikeras menjagokan AHY, sedangkan PKS menggulirkan nama Aher yang pernah menjabat Gubernur Jawa Barat dua periode.
Baca Juga: Ramadan Bulan LiterasiAHY belum pernah memegang jabatan publik apa-apa dan kalah ketika mencalonkan diri sebagai gubernur pada putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2017.
Kedua partai memutuskan mengumumkan pencapresan Anies sendiri-sendiri pada Februari 2023. Memasuki bulan puasa, tim kecil berkumpul di sekretariat bersama dan memublikasikan piagam berisi poin-poin kesepakatan mendukung Anies yang ditandatangani ketua umum ketiga partai. Arah politik menuju 2024 Politik Indonesia pascareformasi mengalami kompleksitas dengan berlakunya multipartai di tengah sistem presidensialisme, atau yang disebut Hanta Yuda (2013) sebagai ‘presidensialisme setengah hati’, memaksa partai-partai dan kekuatan politik untuk memilih beragam bentuk kompromi. Banyaknya partai tidak serta-merta mencirikan perbedaan ideologis yang signifikan, tetapi mengarah pada politik kartel, seperti ditengarai Kuskridho Ambardi (2009). Alih-alih berkompetisi, partai-partai cenderung bekerja sama secara kolektif demi menjaga sumber daya dari negara (rent-seeking). Koalisi yang terbangun sangat cair dan tidak didasarkan pada platform yang jelas. Partai-partai nasionalis bisa dengan mudah menjalin kerja sama dengan partai-partai berbasis agama. Pakar politik Asia Tenggara Andreas Ufen (2006) menilai Indonesia tengah mengadopsi model Filipina. Dalam praktiknya, kerja sama di antara partai bersifat jangka pendek atau tidak bertahan lama. Partai atau kekuatan politik yang sebelumnya bersaing dalam pemilu bisa saja kemudian bergabung ke gerbong partai-partai pendukung pemerintah. Pada Pemilu 2004, Golkar yang sebelumnya bergabung dalam Koalisi Kebangsaan tetapi kalah, akhirnya bergabung ke pemerintahan SBY. Yang paling ekstrem tentu saja keputusan Prabowo dan Sandiaga masuk ke kabinet Jokowi setelah sebelumnya kalah dalam Pilpres 2019.
Dari pengalaman masa SBY dan Jokowi, setelah memenangi pemilu, koalisi harus diperluas untuk memperbesar dukungan dari DPR. Karena itu, janji Jokowi untuk membangun koalisi yang ramping tetap saja berujung pada koalisi yang gemuk, menyisakan segelintir partai-partai oposisi. Kemunculan Jokowi dalam panggung politik nasional memperlihatkan perbedaan dari politik lama yang didominasi elite partai. Benjamin Blend (2014) yang menulis buku Man of Contradictions mengulas Jokowi sebagai sosok di luar partai, tetapi berhasil mengalahkan tokoh sekaliber Prabowo. Fenomena political outsider seperti Jokowi diikuti dengan gelombang kebangkitan tokoh-tokoh baru hasil dari pilkada langsung dan mendulang popularitas luas dari publik. Sebut saja Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang sekarang menjadi Menteri Sosial, RK di Bandung, dan Bima Arya Sugiarto di Bogor. Menghangatnya situasi politik ditandai dengan terbentuknya koalisi-koalisi yang bertujuan memenangi pemilu, baik legislatif maupun pilpres. Aksi Jokowi meng-endorse tokoh-tokoh yang berpeluang menjadi capres ialah cara untuk mendapatkan konfigurasi paling ideal. Jokowi terus berupaya memastikan bahwa pemerintahan baru kelak bisa meneruskan program-program yang telah diletakkan landasannya. Wacana penggabungan KIB dan KIR ke koalisi besar merupakan upaya untuk memperkuat garansi terhadap kepemimpinan baru.
Di dalamnya terdapat tokoh-tokoh, seperti Prabowo, Airlangga, dan Erick yang saat ini menjadi figur-figur menentukan dalam pemerintahan. Para all president’s men itu terbukti bekerja keras mewujudkan visi Jokowi untuk memajukan Indonesia dan diharapkan dapat melanjutkannya. Merger koalisi tersebut juga menjadi tren kebangkitan Jokowi sebagai king maker yang independen terhadap tokoh-tokoh elite, seperti Megawati dan Surya Paloh (SP). Pembentukan koalisi besar akan menyisakan poros PDIP dan KPP atau berpotensi terbentuknya tiga pasangan capres-cawapres. Gesekan dengan PDIP setelah batalnya gelaran Piala Dunia U-20 mencerminkan kehati-hatian Jokowi. Penolakan Ganjar terhadap tim Israel menjadi batu ujian bagi Jokowi yang sebelumnya begitu percaya dengan sosok ‘berambut putih’ itu. Jika Piala Dunia saja bisa digagalkan, bagaimana nasib IKN. Meskipun begitu, kompromi sangat mungkin terjadi.
PDIP berkeinginan untuk menciptakan hattrick sehingga tidak tertutup kemungkinan merger dengan koalisi besar KIB dan KIR membentuk koalisi yang jauh lebih besar lagi. Seperti halnya Megawati yang ingin membuat rekor memenangkan PDIP tiga kali berturut-turut, SP juga ingin mendongkrak NasDem menjadi partai papan atas. Terbukti, strategi mencapreskan Anies berbuah lonjakan elektabilitas yang sangat signifikan. Pada awalnya keputusan NasDem untuk mengusung Anies memang sempat membuat goncanan di internal. Perubahan sikap NasDem sebagai partai nasionalis untuk merebut basis pendukung Anies menunjukkan betapa cairnya politik. NasDem juga tidak terlalu ambil pusing jika menteri-menterinya di-reshuffle. Setelah pemilu, nanti bisa saja NasDem bakal bergabung lagi ke pemerintahan. Siapa pun yang menang dalam pilpres, tampaknya NasDem tetap diuntungkan sebagai partai yang paling konsisten mendukung Anies. Pada akhirnya kalkulasi politik yang akan menentukan ujung dari pembentukan koalisi dan siapa capres-cawapres yang bakal berlaga pada pemilu mendatang. Hal itu juga akan menentukan format politik dan lanskap Indonesia ke depan, apakah mampu mencapai visi menjadi negara maju. Oleh: Endang Tirtana Pemerhati Politik.
Tinggalkan Balasan