Masa Depan Pendidikan Indonesia: Harapan dan Tantangan Presiden Prabowo
Masa Depan Pendidikan Indonesia: Harapan dan Tantangan Presiden Prabowo
PIDATO perdana Presiden Prabowo Subianto sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2024 yang berdurasi 51 menit 56 detik, 3.200 kata, dan 22.389 karakter merupakan narasi sangat memukau dan memberikan harapan. Pidatonya mirip William Wilberforce (1759-1883), anggota parlemen Inggris; Emmeline Pankhurst (1858-1928), politikus Inggris; Abraham Lincoln (1809-1865), Presiden Amerika Serikat; dan Subhas Chandra Bose (1897-1945), seorang nasionalis India penentang otoritas Inggris di India yang mampu mengubah dunia dengan orasinya.
Namun, tantangan yang harus dihadapi Presiden Prabowo tidaklah mudah. Hemat saya, masalah kebocoran anggaran, swasembangan pangan, teknologi ilmu penguatan yang memperkuat hilirisasi, serta misi ambisius Presiden Prabowo dengan target pertumbuhan ekonomi 8% per tahun, sebetulnya memiliki inti masalah pada sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Berbicara SDM berarti berbicara pendidikan. Perlu keberanian untuk membangun dunia pendidikan Indonesia ke depan. Saya yakin Presiden punya keberanian untuk melakukan itu. Ada dua kata yang paling sering beliau sebutkan dalam pidatonya, yakni kata ‘rakyat’ (terulang 22 kali) dan ‘berani’ (terulang 25 kali).
Mampukah Presiden Prabowo membangun pendidikan Indonesia menuju generasi Indonesia Emas 2045? Naguib Mahfouz, sastrawan Mesir peraih Nobel Sastra 1988, pernah mengatakan bahasa adalah jiwa.
Baca Juga: Absensi dan Merubah: Makna yang Keliru, Tetapi Lazim DigunakanMari kita lihat apa yang diperlukan untuk pendidikan Indonesia ke depan demi mempersiapkan generasi Indonesia Emas 2045.
Pertama, masih terlalu banyak manusia Indonesia yang belum merasakan bangku sekolah. Angkanya sangat besar, 23,78%. Data Ditjen Dukcapil Kemendagri hingga semester I 2024, jumlah penduduk Indonesia sebesar 282.477.584 jiwa. Data Kemendikbudristek semester ganjil 2023/2024, jumlah murid Indonesia hanya 53,14 juta.
Dari angka tersebut, mayoritas di bangku SD yakni sebesar 24,04 juta murid. Lalu SMP 9,97 juta murid, SMA 5,32 juta murid, SMK 5,08 juta murid, TK 3,74 juta murid, kelompok bermain (KB) 2,44 juta murid, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) 1,6 juta jiwa, dan satuan PAUD sejenis (SPS) sebanyak 614.033 murid.
Sangat memprihatinkan terdapat 66,07 juta jiwa, atau setara dengan 23,78 % anak Indonesia, tidak mengenyam bangku sekolah. Lebih memprihatinkan lagi, rasio SDM Indonesia dengan pendidikan S-2 hanya 0,45% dan S-3 hanya 0,03% (jika digabung 0,49%) terhadap populasi Indonesia.
Angka ini jauh di bawah negara benchmark seperti Malaysia yang mencapai 2,43%. Negara maju seperti Amerika Serikat 9,8%. Masih terlalu jauh mengejar mimpi Indonesia menjadi negara maju. Tentu bukan mustahil. Inilah tantangan SDM pendidikan era Presiden Prabowo. Banyak yang harus kita lakukan dan benahi jika ingin menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh pada 2030 dan keempat di dunia pada 2050.
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi per tahun 8% dan cita-cita membangun generasi Indonesia Emas 2045, harus ada pembenahan SDM manusia Indonesia. Apalagi ambisi Presiden kita swasembada pangan. Ini syarat utamanya ialah SDM. Tentu bukan sekadar angka kuantitaf, tapi juga kualitas untuk menguraikan human depelopment index Indonesia. Misalnya, perlu memperbanyak orang-orang cerdas Indonesia seperti Sigit Santoso. MV3 Garuda Limousine, alias Maung Garuda, adalah mobil produksi PT Pindad karya anak bangsa doktor jebolan Massachusetts Institute of Technology/MIT) itu.
Problematika pendidikan Indonesia yang kedua, acap kali tata kurikulum, kebijakan, dan aturan serta peta jalan pendidikan Indonesia tidak ajek atau berubah-ubah. Memang kita harus selalu merespons perubahan dengan cerdas, apalagi dunia pendidikan. Perubahan yang diharapkan ialah perubahan substantif, bukan administratif.
Jika pembangunan dan terobosan kemajuan ekonomi bangsa sangat ditentukan stabilitas keamanan, pun kemajuan pendidikan memerlukan stabilitas kebijakan. Stabilitas kebijakan pendidikan Indonesia berdasarkan nilai-nilai luhur ketuhanan, jati diri bangsa, budaya, dan kearifan lokal.
Hingga pendidikan kita bisa menjadi ketahanan sumber daya integritas dari banyak kebocoran praktik koruptif. Dunia pendidikan Indonesia hari ini butuh penguatan kelembagaan dan penguatan misi. Sejatinya pendidikan itu adalah investasi terbesar suatu bangsa, bukan beban. Suatu saat Indonesia akan menuai hasil investasi pendidikan ini.
Problematika bangsa kita amat banyak. Tapi yakinlah kunci pengurainya ialah pendidikan. Visi dan misi Presiden Prabowo menjadikan kembali Indonesia sebagai macan Asia, bahkan berperan lebih aktif di dunia internasional, menjadi sebuah kebanggaan dan harapan putra-putri Indonesia.
Problematika ketiga ialah kemerdekaan inovasi. Jika dianalogikan, pendidikan Indonesia saat ini seperti rumah yang atapnya bocor. Tentu dengan kondisi seperti itu, debu dan kotoran akan masuk, terlebih jika musin hujan. Membersihkan lantai yang kotor tentu benar. Namun, hal itu tidak menyelesaikan masalah.
Yang harus diselesaikan pertama kali justru membereskan atap yang bocor tersebut. Acap kali kita mengubah aturan administratif, tapi membereskan masalah substansi seperti bocornya atap agak canggung kita lakukan. Negara seperti Amerika Serikat sangat liberal. Tapi pemerintah memberikan kemerdekaan dan peran yang sangat besar kepada dunia pendidikan. Politik tidak mencampuri urusan pendidikan.
Kita lihat bagaimana kerasnya politik di AS, tapi kekuasaan tidak campur tangan berlebihan dalam urusan kemerdekaan dan kemandirian kampus. Bangsa kita belum menempatkan pendidikan pada posisi ketatanegaraan seperti apa sehingga acap kali dunia pendidikan kita mudah latah ketika ada dinamika elite kekuasaan. Sejatinya negara memberikan tempat dan budget agar pendidikan Indonesia bisa kompetitif. Ketika atap dunia pendidkan sudah ajek, tidak bocor, maka kemerdekaan inovasi bisa dilakukan.
Problematika keempat ialah pemanfaatan diaspora. Saat ini banyak sekali manusia hebat Indonesia di luar negeri yang enggan pulang ke Tanah Air. Hal itu karena gerak aturan kita yang kurang responsif. Banyak sekali yang sudah associate professor bahkan profesor dengan banyak paten yang dimiliki enggan pulang ke Indonesia.
Sudah lama kita memiliki lembaga konversi ijazah luar negeri. Namun, tampaknya kita belum memiliki lembaga konversi prestasi. Saat ini, data pelajar dan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri berjumlah 60 ribu. Sebanyak 15 ribu di antaranya belajar di Mesir.
Misi internasional Pak Prabowo pun harus memperkuat peran Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam rangka pemanfaatan diaspora dan manusia hebat Indonesia di luar negeri. Peran Atdikbud sangat vital dalam melakukan kerja sama pendidkan serta promosi bahasa dan budaya Indonesia.
Alhamdulillah, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia telah disetujui dibuka di Universitas Al-Azhar Al-Syarif Mesir. Prodi ini akan menjadi program studi bahasa dan sastra Indonesia pertama di Timur Tengah. Dukungan penuh dari pemerintah RI sangat diharapkan. Semangat dan cita-cita Presiden Prabowo adalah impian insan akademik Indonesia, yakni terbebas dari kebodohan, kemiskinan, dan korupsi, serta mencapai swasembada pangan, target pertumbuhan ekonomi 8% per tahun, juga terwujudnya generasi emas Indonesia di 2045. Abdul Muta”ali, (Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di Kairo)
Tinggalkan Balasan