KORUPSI merupakan suatu kejahatan yang sangat kompleks. Dari sudut politik, korupsi merupakan faktor yang mengganggu dan mengurangi kredibilitas pemerintah. Dari sudut ekonomi, korupsi merupakan salah satu faktor yang menimbulkan kerugian keuangan negara dalam jumlah besar. Dari sudut budaya, korupsi merusak moral dan karakter bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur.

Secara teoritis, kejahatan perbankan khususnya pembobolan dan penjarahan bank didorong oleh motif untuk menguntungkan pribadi bankir dengan cara merugikan bank dan masyarakat.

Dalam kenyataannya praktek ini pernah dan selalu akan terjadi di belahan dunia manapun, baik di negara maju maupun negara berkembang. Praktik tersebut selalu terjadi ketika kesempatan untuk melakukannya terbuka.

Secara empiris, tindak pidana korupsi perbankan melalui penipuan, pembobolan dan penjarahan seringkali terjadi di Indonesia. Hampir setiap tahun hal tersebut terjadi baik yang menimpa bank besar maupun bank kecil. Baik yang dilakukan oleh pihak dalam bank maupun pihak luar bank. Baik yang dilakukan oleh pemilik bank maupun oleh pegawai bank.

Tindak kejahatan yang dilakukan pun semakin beragam dan kompleks. Dari mulai pembobolan kartu kredit, pemalsuan kartu ATM, pemindahbukuan secara ilegal, transfer fiktif, surat tagihan bodong, NCD fiktif sampai kredit fiktif.

Baca Juga: Awasi Potensi Kecurangan Pilkada

Kejahatan yang relatif kecil dan dilakukan oleh pegawai rendahan biasanya terjadi karena kelemahan dalam sistem prosedur di dalam bank. Kejahatan besar yang dilakukan manajemen puncak dan pemilik bank biasanya bukan karena kelemahan prosedur internal, tetapi lebih diakibatkan kelemahan karakter bankir.

Terlepas dari siapapun yang melakukannya, praktek pembobolan dan korupsi perbankan adalah sangat berbahaya karena dapat menggoyahkan keamanan sistem keuangan dan kepercayaan publik terhadap perbankan nasional. Karena itu penegakan hukum dan tindakan preventif menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya tindak kejahatan perbankan.

Tak sedikit kasus perbankan juga terjadi di Maluku.

Sebut saja, kasus pembobolan uang nasabah yang dilakukan Faradiba Yusuf. Kala itu, Faradiba Yusuf selaku mantan Direktur Pemasaran BNI Cabang Ambon senilai Rp58,95 miliar.

Kemudian tindak pidana penggelapan karena membobol dana Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Modern Ekspress sebesar Rp73 miliar yang dilakukan  Denny adalah mantan Kasi Akunting Kantor Pusat Operasional (KPO) di PT BPR Modern Express, Alexander Gerald Pieterz selaku anggota Dewan Komisaris PT BPR Modern Express, serta empat mantan Direksi bank swasta tersebut Walter Dave Engko, Tjance Saija, Frank Harry Titaheluw dan Vronsky Calvin Sahetapy. Kini mereka sementara menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Ambon.

Kini kasus yang sama juga terjadi pada Bank BRI Ambon.  Penyidik Kejati Maluku sementara menggarap keterangan saksi untuk menggali borok kredit fiktif pada bank tersebut.

Olehnya untuk menghindari maraknya korupsi di perbankan maka studi modus korupsi di sektor perbankan harus dilakukan dengan tujuan untuk  mengklasifikasikan antara kejahatan perbankan umum dengan tindak pidana korupsi pada sektor perbankan; mendapatkan gambaran awal – yang sebisa mungkin menyeluruh – tentang potensi dan kondisi kejahatan perbankan termasuk korupsi pada lembaga perbankan termasuk korupsi pada lembaga perbankan; memetakan potensi terjadinya kejahatan perbankan dan korupsi yang mungkin terjadi pada sektor perbankan serta modus operandinya;  mendapatkan gambaran awal yang dari waktu ke waktu bisa digunakan sebagai data pembanding dengan kondisi di masa depan; mencari akar masalah atas potensi terjadinya kejahatan perbankan dan korupsi pada sektor perbankan serta menyusun masukan yang dapat digunakan untuk menghindari terjadinya kejahatan perbankan dan korupsi pada sektor perbankan. (*)