Manula dan Vaksinasi Covid-19
PERASAAN haru memang berbeda makna dengan perasaan sedih. Keharuan muncul pada saat saya menyaksikan barisan manusia usia lanjut (manula) atau orang-orang lanjut usia (lansia) yang mengantre untuk memperolah vaksin covid-19. Namun, kini muncul kesedihan. Pasalnya, Kementerian Kesehatan menyebut adanya penurunan capaian jumlah vaksinasi harian virus korona di Indonesia. Salah satu penyebabnya ialah masih banyaknya warga lansia yang enggan datang ke fasilitas kesehatan. Sejumlah upaya untuk menstimulasi warga lansia agar lebih banyak lagi yang mau disuntik vaksin tampaknya belum memberikan hasil positif.
Minimnya animo para manula untuk menerima vaksin, saya khawatirkan, dapat melipatgandakan tingkat risiko mereka terhadap covid-19. Silaturahim Lebaran, kunjungan ke tempat wisata, dan berbagai aktivitas luar ruangan, serta interaksi sosial yang dilakukan para manula saat dan pasca-Idul Fitri, ditambah lagi mutasi virus, membuat kelompok usia tersebut semakin rentan menjadi korban pandemi.Kementerian Kesehatan memang tidak memberikan penjelasan tentang penyebab keengganan para manula itu. Namun, sebagai sesama warga lansia, saya cukup berempati bahwa keengganan itu boleh jadi disebabkan kurang memadainya dukungan keluarga agar sang manula dapat divaksin. Asumsi itu pernah terlihat dalam sebuah tayangan berita di layar kaca: seorang ibu yang sudah lansia menolak divaksin dengan alasan bahwa ia masih harus meminta persetujuan anaknya.Di rumah, saya beruntung memiliki istri yang cerewetnya minta ampun kalau sudah menyikapi masalah virus korona.
Seluruh petugas penjaga rumah kami diwajibkan tegas ke seluruh tamu agar mencuci tangan mereka sebelum memasuki pekarangan. Itu biasa. Yang luar biasa ialah tamu-tamu kami harus difoto saat mereka sedang mencuci tangan dan foto-fotonya harus dikirimkan real-time ke istri saya. Satu-dua orang yang berkunjung ke rumah kami memang ada yang mengeluhkan protokol kesehatan semacam itu. Namun, saya yakin sikap agak berlebihan hari ini jauh lebih baik daripada menyepelekan virus. Anggap saja, seperti judul novel klasik karya Toelis Soetan Sati, peraturan ketat di rumah kami ialah prosedur ‘sengsara membawa nikmat’. Bagaimana dengan warga lansia?Beberapa waktu lalu, saya menulis sebuah artikel tentang vaksinasi bagi anak. Di dalam tulisan itu saya mengajak masyarakat untuk melihat pengabaian vaksin bagi anak sebagai bentuk pelanggaran UU Perlindungan Anak.Konkretnya membiarkan anak tak tervaksin dapat disetarakan sebagai pelanggaran hak anak atas kesehatan. Apabila gagasan itu dapat diterima, orangtua atau wali yang secara sengaja tidak memvaksin anak mereka sesungguhnya juga dapat dikenai sanksi pidana.
Anggaplah kita masih memerlukan waktu bertahun-tahun sebelum dapat menegakkan hukum pidana dalam masalah vaksinasi bagi anak.Namun, saat ini juga semestinya ada ikhtiar keperdataan yang dapat ditegakkan demi kepentingan terbaik bagi anak. Misalnya, hakim dapat mempertimbangkan riwayat vaksin anak sebagai salah satu kriteria penentuan kuasa asuh atas anak dari orangtua yang bercerai. Juga, pantas kiranya, apabila murid baru diwajibkan untuk menyertakan riwayat vaksin sebagai kelengkapan pendaftaran sekolah.Kontras dengan hal itu, hingga saat ini belum pernah ada wacana di ruang publik tentang bagaimana mempersoalkan secara lebih serius pada para manula yang tidak menjalani vaksinasi. Padahal, bertitik tolak dari asumsi (sekaligus empati) saya di alinea terdahulu tulisan ini, sangat mungkin bahwa kendala bagi warga lansia untuk divaksin bersumber dari keluarga para manula itu sendiri, yaitu menurunnya kemampuan warga lansia untuk membuat keputusan atas diri mereka sendiri ternyata tidak dikompensasi kesiapan atau kesungguhan anak-anak mereka untuk memenuhi kebutuhan kesehatan orangtua mereka. Termasuk, imunitas dalam menghadapi pandemi covid-19. Ini satu hal.Hal lain, Indonesia sendiri tampaknya belum memiliki perangkat hukum yang diadakan khusus bagi warga lansia. Hukum tentang manula memang bukan merupakan kemutlakan, betapa pun Indonesia telah sejak sekian tahun silam memiliki peraturan perundangan-undangan tentang anak.
Di Mahkamah Agung pun terdapat semacam komisi khusus yang membidangi masalah anak. Demikian pula Polri yang mengadakan unit remaja, anak, dan wanita serta unit perlindungan perempuan dan anak.Uniknya, American Bar Association memiliki Komisi Hukum dan Manula (Commision on Law and Aging). Komisi itu, menghasilkan sebuah kompilasi statuta perlindungan ‘orang dewasa’ dari berbagai negara bagian di ‘Negeri Paman Sam’. Sebutan yang tercantum memang ‘orang dewasa’, tetapi–sekali lagi–seluruh statuta itu dikhususkan bagi warga lansia. Lebih jauh, beberapa negara bagian ternyata juga membuat hukum yang terpisah (spesifik) tentang manula di masyarakat umum, manula di pusat layanan kesehatan, manula dengan disabilitas, dan lain-lain.
Baca Juga: Ancaman Kebebasan Pers di Era InternetDengan mengacu pada sekian banyak statuta itu, dan membawanya ke tema tulisan ini, dapat dipastikan bahwa anggota keluarga dewasa yang abai untuk mengikutsertakan individu lansia dalam program vaksinasi covid-19 sama artinya dengan telah melakukan penelantaran. Alabama Code 38-9-2, misalnya, mendefinisikan penelantaran (neglect) sebagai kegagalan pengasuh (caregiver) untuk menyediakan makanan, tempat bermukim, pakaian, layanan medis, dan pemeliharaan kesehatan bagi orang yang tidak mampu merawat dirinya sendiri.Anggaplah, sebagai ganti vaksinasi, manula dikurung di dalam rumah. Alasannya ialah agar manula tersebut tidak terpapar oleh virus korona. Meski masuk akal, perlakuan sedemikian rupa justru dapat masuk klasifikasi kekerasan psikologis (emotional abuse).Kombinasi antara penelantaran, kekerasan, dan eksploitasi diistilahkan sebagai perlakuan salah terhadap ‘orang dewasa’ (adult maltreatment). PersetujuanPara pegiat perlindungan anak mengenal istilah persetujuan (consent). Anak dipandang sebagai individu yang belum dikenai consent sebagai salah satu kriteria untuk menilai perbuatan mereka.
UU Perlindungan Anak, sebagaimana amanat Konvensi Hak Anak, memang menggarisbawahi hak anak untuk didengar pendapatnya, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan kematangannya. Namun, tidak ada keharusan untuk selalu menyetujui pendapat anak. Barulah setelah anak-anak beranjak dewasa (sejak usia 18 tahun), pada diri mereka akan melekat elemen consent terkait dengan apa yang ingin mereka lakukan dan tidak mereka lakukan (tentu saja dengan batasan-batasan tertentu).Yang mengecilkan hati ialah begitu memasuki usia lanjut, consent itu kembali raib. Itulah yang menjadi penjelasan teoretis tentang warga lansia, yang tetap mewajibkan adanya persetujuan dari anaknya sebelum disuntik vaksin.Keindividuan sang warga lansia seolah tanggal.
Betapa pun ia memiliki khazanah pengetahuan yang cukup, usia lanjut memosisikan dirinya sebagai insan yang tak lagi memiliki kapasitas untuk menentukan hal-hal yang dipandangnya sebagai kebaikan, setidaknya bagi dirinya sendiri. Apa penyebab hilangnya kapasitas itu? Barangkali ialah ketergantungan hidup sang manula itu pada pihak lain, dalam hal ini terutama ialah anak-anaknya sendiri.Tulisan ini saya akhiri dengan satu disclaimer: sejatinya tidak ada yang keliru, pada saat para manula bergantung pada anak atau pihak lain yang bertalian darah dengannya. Namun, manakala ketergantungan itu mencabut kapasitas sang manula sehingga–misalnya–menghalanginya menjalani vaksinasi covid-19, nyatalah pada titik itu dibutuhkan kehadiran negara untuk memastikan bahwa para manula di Tanah Air tetap harus berdaya demi kesehatan, kesejahteraan, dan hidup mereka sendiri. Semoga.( Seto Mulyadi, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma)
Tinggalkan Balasan