AMBON, Siwalimanews –  Ahli Kimia Anorganik pada Fakultas MIPA Universitas  Pattimura, Profesor Yusthinus Male mengingatkan pemerintah daerah di Maluku tidak menutup mata terhadap maraknya aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Gunung Botak Kabupaten Buru.

Male mengaku, masifnya penggunaan bahan kimia merkuri dan sianida di Gunung Botak sangat berdampak luas tidak hanya lingkungan, tetapi sektor kesehatan,  perikanan, ekonomi, sosial budaya dan lainnya.

Saat ini salah satu sektor yang sudah mulai terasa dampaknya yakni sektor perikanan. Dimana sejumlah Negara mulai menolak impor ikan tuna dari Indonesia dengan alasan  konsentrasi merkuri pada ikan tuna Indonesia telah melampaui ambang batas.

Hal itu diungkapkan Male kepada wartawan usai dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Kimia Anorganik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Pattimura Rabu (7/12).

Male dikukuhkan dalam Rapat Terbuka Luar Biasa Senat Universitas Pattimura yang dipimpin Ketua Senat, Profesor Simon Nirahua. Menurutnya, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menyebabkan PETI dengan menggunakan merkuri berdampak pada berbagai sektor salah satunya perikanan.

Baca Juga: Tak Ditempati Gubernur, Pemprov Tetap Anggarkan Biaya Perawatan Rumdis

“Sejumlah negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak impor ikan dari Indonesia. Ikan yang dimaksud adalah tuna yang merupakan komoditi utama  yang berasal dari perairan Maluku. Konsentrasi merkuri pada ikan-ikan di Maluku telah melampaui ambang batas yang ditetapkan,” ujar Male.

Atas dasar itu ia menghimbau kepada Pemerintah Provinsi Maluku dan kabupaten/kota jangan menutup mata terhadap aktivitas PETI di Maluku. Masifnya penggunaan bahan kimia sianida dan merkuri di Maluku disebabkan hasil riset membuktikan bahan baku sianida dan merkuri  yakni sinabar  yang terdapat di Desa Luhu Seram Bagian Barat kandungannya sanga berkualitas di dunia,

Pasokan bahan baku merkuri dan sianida terbesar didunia juga berasal dari Maluku. Karena itu jika kedepan tidak diantisipasi oleh pemerintah dalam hal pengawasan dan penegakan hukum, bukan tidak mungkin kasus Minamata di Jepang akan dialami masyarakat Maluku khusus di Pulau Buru.

“Belajar dari pengalaman kasus Minamata di Jepang. Dampaknya tidak sekarang, tetapi harus menunggu 10-20 tahun baru merasakannya. Jadi, kasihan anak-anak cucu kita yang akan merasakan dampak tersebut,” ungkapnya.

Pada orasi ilmiahnya, Male menyoroti tentang “Penataan Wilayah Pertambangan Rakyat untuk Meminimalisir Dampak Negatif PETI di Pulau Buru”.

“Tingginya minat pembeli merkuri dari Indonesia dikarenakan material sinabar dari Gunung Tembaga memiliki kandungan merkuri yang cukup tinggi. Padahal, material dari Gunung Tembaga akan terbawa aliran sungai sampai ke laut dan berpotensi mengkontaminasi ekosistem perairan. Hasil analisa kadar merkuri pada sedimen perairan laut di pesisir Teluk Piru menunjukan kadar merkuri cukup tinggi. Ini tentu saja membutuhkan perhatian lebih lanjut karena ekosistem Teluk Piru mirip dengan Teluk Kayeli di pulau Buru yakni kepadatan tumbuhan mangrove sehingga sangat berpotensi untuk terjadinya metabolism sinabar menjadi metal merkuri yang sangat beracun oleh aktivitas mikroba,” bebernya.

Sebagai orang Maluku, Male mengajak semua pihak  baik pemerintah maupun swasta untuk memikirkan konsekuensi dampak dari aktivitas PETI yang kian marak di sejumlah wilayah di Maluku.

Sementara itu, Rektor Universitas Pattimura, Profesor, M.J Sapteno dalam sambutannya pada acara pengukuhan tersebut meminta semua stakeholder tidak mengabaikan informasi ilmiah dari perguruan tinggi. “Jangan diabaikan, sebab berbicara bahan kimia ini mengarah kepada kehidupan berkelanjutan. Olehnya pemerintah daerah harus berkolaborasi dengan perguruan tinggi dan lainnya guna menghindari dampak negatif bagi masyarakat.(S-07)