Makanan Bergizi dan Kebangkitan Diversifikasi Pangan
HARI Gizi Nasional, 25 Januari 2025, yang mengusung tema Pilih makanan bergizi untuk keluarga sehat, diyakni dapat menghidupi cita-cita pemerintahan Prabowo Subianto untuk memutar mesin roda program makan bergizi gratis (MBG). Program MBG patut didukung karena dapat membantu meningkatkan kecerdasan kognitif anak bangsa ke depan untuk mewujudkan Indonesia emas 2045.
Program MBG yang sudah berjalan sejak 6 Januari 2025 akan menghidupkan spiritualitas tema Hari Pangan Sedunia 2024 Right to foods for a better life and a better future untuk mengingatkan Jangan tinggalkan siapa pun (Leave no one behind/LNOB). Sebuah komitmen tegas dari semua negara nggota PBB, termasuk Indonesia, untuk memberantas kemiskinan dalam segala bentuknya.
Hak atas pangan
Selama 10 tahun terakhir, krisis pangan menghampiri negeri agraris ini karena dipicu lambatnya gerakan mesin diversifikasi pangan, perubahan iklim global, dan perdagangan pangan yang kian liberal. Dampaknya, pemerintah belum mampu memenuhi hak atas pangan (right to foods) yang berbasis sumber daya pangan lokal nonberas kepada rakyatnya.
Lantas, mengapa pemerintah kerap abai terhadap diversifikasi pangan? Ia sesungguhnya dapat berperan penting sebagai bumper atau penyanggah krisis pangan dan menjadi mesin pendorong swasembada pangan untuk progam nasional MBG.
Baca Juga: Pendidikan Kedokteran Transformasional Berbasis KomunitasSayangnya, pasar pangan di Indonesia kian dibanjiri pangan impor yang harganya relatif lebih murah. Hal itu membuat usaha kecil di bidang pangan lokal kian terpuruk dan petani swadaya mengalami proses pemiskinan. Meski teknologi pertanian di era globalisasi ini makin maju, petani lokal belum mampu mengaksesnya dengan baik. Mutu produknya kalah bersaing dengan pangan impor.
Pembangunan lumbung pangan dalam model food estate di sejumlah daerah belum mampu mencegah bangkrutnya usaha pertanian lokal. Ketersediaan pangan berbasis sumber daya lokal belum dikelola melalui lumbung pangan beragam dan bergizi untuk memberi solusi.
Sejatinya, ketersedian pangan beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) di lumbung-lumbung pangan di perdesaan, selain mengurangi pangan impor (food mile) yang sangat mahal, menjaga keamanan pangan juga membuka lapangan kerja baru. Program itu memberikan pilihan leluasa untuk merancang kebijakan pengelolaan produksi, distribusi, dan konsumsi pangan serta bermuara pada kekuatan kedaulatan pangan (food sovereignty).
Masyarakat yang masih mengalami defisit konsumsi pangan beragam akan semakin sulit mendapatkan asupan gizi seimbang di tengah penurunan daya beli masyarakat. Pemberian MBG sebagai bantalan gizi kepada 82,9 juta jiwa anak sekolah harus tepat sasaran dan tepat bahan baku, yakni pangan lokal untuk menghidupkan ekonomi kerakyatan. Harapan itu untuk menghindari penurunan mutu gizi makanan yang dikonsumsi dan mencegah penurunan mutu sumber daya manusia anak bangsa pada masa datang serta melibatkan petani lokal.
Tingkat konsumsi protein hewani, selain protein nabati yang berasal dari kelompok kacang-kacangan dan biji-bijian, harus mendapat perhatian karena memberi arti penting dalam tata kelola pangan, yakni untuk memenuhi hak-hak masyarakat di bidang pangan dan gizi, khususnya anak balita dan ibu hamil terlindungi dari defisit pangan dan gizi untuk menahan laju peningkatan angka stunting (tengkes, bertubuh pendek) di tengah bangsa ini.
Bahkan ketika kita memasuki krisis pangan global, pelanggaran HAM di bidang pemenuhan gizi harus dihindari. Presiden Prabowo Subianto patut berkerja keras menyusun langkah-langkah strategis berbasis diversifikasi konsumsi pangan untuk mengantisipasi dan mengakhiri krisis pangan global berkelanjutan. Restriksi pangan yang kian marak dilakukan sejumlah negara pengekspor komoditas pangan menjadi alasan utama membangun lumbung-lumbung pangan di setiap desa di Tanah Air untuk percepatan penurunanan prevalensi stunting pada balita dan penyedia bahan baku MBG dari produk pangan lokal.
Desa B2SA
Dampak krisis pangan global ditengarai akan menetaskan proses lost generation atau ‘generasi yang hilang’. Kecerdasan anak yang mengalami stunting terampas oleh defisit pangan yang kembali bersemayam di negeri agraris ini dan mestinya disikapi sebagai ancaman ketahanan nasional yang amat serius. Menginisasi strategi baru pengelolaan desa untuk menghadapi krisis pangan menjadi kata kunci utama memperkuat pilar diversifikasi pangan. Membanguan desa pangan beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) sebagai bumper swasembada pangan amat tepat untuk mewujudkan Indonesia berdaulat pangan.
Keberhasilan program MBG berkelanjutan dapat dilakukan melalui perwujudan desa B2SA yang menyediakan bantalan pangan sumber protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Landasan kebijakannya sudah jelas, yaitu Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 yang mewajibkan minimal 20% atau Rp13,6 triliun Dana Desa 2022 untuk ketahanan pangan (A Halim Iskandar, 2022).
Kebijakan yang merekognisi ketahanan pangan desa ini akan memadukan proses pertanian on farm, pascapanen, dan proses primer sederhana yang dikelola oleh badan usaha milik desa atau koperasi setempat. Keberhasilannya dapat mempercepat pemenuhan gizi kepada kelompok 1.000 hari pertama dalam kehidupan (HPK) yang diyakini sangat penting untuk tumbuh kembang anak. Dampak kurang gizi sejak masa kandungan hingga anak berumur dua tahun tidak kelihatan dalam jangka pendek, tapi ketika sudah di usia dewasa berpotensi terkena berbagai penyakit.
Data terkini Kemenkes menunjukkan persentase penderita stunting dan wasting masih tinggi meski sudah banyak upaya dilakukan pemerintah menurunkan. Alan Berg, sekitar 35 tahun lampau dalam bukunya Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional, mengingatkan program perbaikan gizi harus dilihat sebagai invesatasi SDM. Setiap dolar yang digunakan untuk perbaikan gizi, misalnya, akan memberikan keuntungan puluhan dolar sebab angka droop out sekolah yang amat merugikan dapat dicegah.
Masalah gizi di Indonesia bukan semata disebabkan oleh kurangnya produksi pangan. Persoalan utama selain kemiskinan yang memicu tumpulnya daya beli wong cilik juga didorong oleh faktor perilaku masyarakat yang bias dalam memilih, mengolah, dan menyajikan makanan. Pengetahuan mereka tentang gizi keluarga relatif masih kurang sehingga membutuhkan literasi pangan dan gizi melalui pangan B2SA seperti termaktub dalam Perpres Nomor 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
Secara faktual, di berbagai daerah masih kerap ditemukan kasus gizi kurang meski secara ekonomi memiliki rupiah untuk membeli makanan. Namun, minimnya pemahaman terhadap pangan B2SA mendorong munculnya kembali kasus gizi kurang dan menjadi sebuah fenomena puncak dari gunung es. Persoalan itu harus segera ditangani untuk menyelamatkan gunung esnya, yaitu janin, ibu hamil, dan bayi dengan usia 1.000 hari pertama sebelum mereka menjadi generasi hilang (lost generarion). Ketika harga pangan semakin menjauh dari daya beli masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan, kecukupan gizi harus dipastikan ketersediaannya (Sibuea, 2022).
Masalah konsumsi protein dan kekurangan gizi harus segera diatasi satu per satu agar sejalan dengan paradigma sehat menuju Indonesia emas 2045. Pemerintah jangan abai terhadap potensi bahan pangan lokal yang sangat beragam dan bergizi yang sangat besar. Keberagaman itu bisa digunakan untuk memasok bahan baku untuk program MBG jika pemerintah berhasil mewujudkan lumbung pangan B2SA di setiap desa.
Ke depan, mutu SDM anak bangsa harus semakin baik untuk membawa warga negeri ini menguasai ilmu pengetahun dan teknologi secara lebih cerdas. Pangan beragam bergizi seimbang dan aman berbasis sumber daya lokal menjadi pilar swasembada pangan yang berdaulat dan mandiri untuk mengurangi berbagai pangan impor secara signifikan. Muaranya ialah MBG berbuah manis untuk Indonesia emas 2045. Selamat Hari Gizi Nasional.
oleh: Posman Sibuea (Guru Besar Teknoagroindustri Pangan di prodi teknologi hasil pertanian dan Dekan Fakultas Pertanian Unika Santo Thomas Medan)
Tinggalkan Balasan